Kamis, 23 Januari 2014

Variasi Bahasa Bali Berdasarkan Keetnisan dan Usia (Artikel)



Ilustrasi Bali
Bali, sebuah pulau sekaligus salah satu provinsi di Indonesia dengan delapan kabupaten dan satu kota, dihuni oleh tidak hanya etnis Bali yang notabene sebagai etnis asal melainkan juga etnis pendatang, seperti etnis Jawa, etnis Bugis, etnis Madura, dan  lain-lain. Salah satu kabupaten yang ada di Bali sekaligus menjadi salah satu  pusat ekonomi Bali ialah Kabupaten Badung. Peran sentral tersebut ditambah perannya sebagai daerah pariwisata membuat Badung menjadi tujuan masyarakat dari berbagai daerah di Bali, dan masyarakat pendatang dari berbagai daerah, baik dalam maupun luar negeri.
   Etnis Bali yang mendiami pulau ini menggunakan bahasa Bali dalam percakapan sehari-hari. Bahasa Bali merupakan salah satu dari sejumlah bahasa daerah yang mempunyai suatu keunikkan. Bahasa Bali sebagai bahasa daerah terdiri dari beberapa dialek, yaitu dialek Buleleng, Karangasem, Klungkung, Bangli, Gianyar, Badung, Tabanan dan Jembrana (Zulyani Hidayah, 1999).
   Kini bahasa Bali sebagai bahasa ibu etnik Bali tidak hanya dituturkan oleh etnis Bali melainkan juga etnis pendatang, seperti etnis Jawa, etnis Bugis, etnis Madura, dan lain-lain. Etnis pendatang yang dapat menuturkan bahasa Bali biasanya sudah lama berada di Bali atau lahir hingga besar di Bali. Bahasa Bali yang dituturkan oleh etnik pendatang memiliki kekhasan karena dituturkan masih dengan dialek etnis masing-masing. Misalnya, etnis Jawa yang dapat berbahasa Bali, menuturkan bahasa Bali dengan masih memperlihatkan dialek dari daerahnya. Pengaruh budaya dan bahasa daerah masing-masing tentu ikut mewarnai bahasa Bali yang dipakai sehingga melahirkan variasi bahasa. Pada masing-masing etnis terdapat pula variabel sosial, seperti usia yang juga berpengaruh pada bahasa yang dipakai (Dhanawaty, 2008).
Seperti dikatakan oleh Wolfram terdapat variabel-variabel linguistik yang distribusinya berbeda berdasarkan status sosial. Perbedaan usia, terutama yang berkaitan dengan generasi, sangat besar pengaruhnya terhadap bahasa karena pemakaian bahasa seseorang sangat dipengaruhi oleh teman sebaya (peer group)-nya. Terkait dengan etnis non-Bali, perbedaan kelompok usia tidak saja mempengaruhi bahasa Bali yang digunakan, tetapi dapat diasumsikan juga mempengaruhi pilihan bahasa mereka.

Rabu, 15 Januari 2014

I Gusti Putu Wisnu, Sang Pahlawan yang Terlupakan (Feature)



Mayor Wisnu

Anda pasti sudah tahu Jalan Mayor Wisnu yang terletak di seputaran Kayumas-Kota Denpasar atau mungkin Bandara Mayor Wisnu yang ada di Buleleng. Namun, tahukah Anda, Siapakah sebenarnya Mayor Wisnu?

Mayor Wisnu merupakan salah satu dari sekian banyak para pejuang kemerdekaan Indonesia yang seakan-akan terlupakan oleh para generasi muda Bali. Beliau dilahirkan di Klungkung pada tahun 1919, dengan nama I Gusti Putu Wisnu. Ayahnya, I Gusti Nyoman Oka adalah seorang ambtenaar (pegawai pemerintah Hindia Belanda-pen) yang berasal dari Banjar Penataran, Buleleng. Di Klungkunglah Wisnu kecil tumbuh besar hingga pada tahun 1926, Wisnu kecil masuk HIS (Hollands Inlandsche School-SD Belanda-pen) di Denpasar dan lulus pada 1933. Setelah lulus HIS, Wisnu remaja kemudian melanjutkan ke MULO (Meer UItgebreed Leger Onderwijs-SMP Belanda-pen) di Malang. Namun, ketika Wisnu remaja duduk di kelas 3, ia terpaksa meninggalkan bangku sekolah yang sangat ia cintai. Oleh karena ibunya meninggal dunia.

Setelah itu, bersama sahabatnya Pak Rai (I Gusti Ngurah Rai-pen) memasuki kursus kadet militer Belanda di Gianyar dan lulus dengan pangkat 2e Leutnant (Tweede Leutnant/Letnan Dua-pen). Kemudian Pemuda Wisnu bertugas di Korps Prayodha Singaraja. Sayangnya ia harus menutup karir kemiliteran Belandanya ketika Jepang masuk ke Bali.

Pada masa pendudukan Jepang, pemerintah pendudukan Jepang membuat sebuah pendidikan militer untuk para pribumi yang dinamakan PETA (Pembela Tanah Air-pen). Pemuda Wisnu pun bergabung dan mengikuti pendidikan militer di Ringshitai Singaraja, bersama Kemal Idris (kelak Pangdam Siliwangi-pen), Pak Rai, dan Pak Pindha (I  Gusti Ngurah Pindha, kelak Wagub Bali-pen). Pemuda Wisnu yang sudah dikenal dengan panggilan “Pak”, lulus dengan pangkat Chudanco (setara Kapten-pen).

Pasca Proklamasi Kemerdekaan, Pak Wisnu bergabung dengan TKR (Tentara Keamanan Rakyat-pen), dan diangkat sebagai Komandan Batalyon I TKR Sunda Kecil. Kemudian bersama Pak Rai, beliau ke Yogyakarta untuk menerima petunjuk-petunuk dari Mabes TKR dan meminta bantuan dalam rangka menghadapi Belanda di Bali. Dan sewaktu beliau kembali ke Bali, ternyata pasukan Belanda sudah mendarat di Bali pada bulan Februari 1946. Ketika itu, pasukan TKR Sunda Kecil tercerai berai dan terpencar. Pak Wisnu bersama Pak Rai dan pemimpin pejuan lainnnya segara berusaha untuk mempersatukan pasukannya kembali. 
Selanjutnya, Pak Wisnu diangkat sebagai Kepala Staf TKR (Resimen) Sunda Kecil. Beliau senantiasa setia mendampingi komandannya (Pak Rai-pen) melakukan perang gerilya, menggempur kedudukan tentara NICA (Netherlands Indies Civil Administration-pen) di hutan-hutan, desa, maupun kota di seluruh Bali. Setelah pertempuran di Tanah Aron-Karangasem, pasukan TKR (Resimen) Sunda Kecil sempat terpecah-pecah lagi dan diperintahkan kembali ke daerah masing-masing, karena kehabisan amunisi. Kemudian, karena tidak berhasil menyebrang kembali ke Jawa, Pak Wisnu dan Pak Rai, serta beberapa kawan pejuang lainnya berusaha untuk mendapatkan senjata dan peluru-peluru di Bali. Usaha itu berhasil dengan direbutnya dan diambilnya amunisi di Tangsi Polisi NICA Tabanan. Namun sialnya, tindakan itu diketahui oleh Belanda. Pasukan Pak Rai yang dijuluki Ciung Wanara dikepung dan digempur habis-habisan oleh NICA dengan mengerahkan seluruh kekuatannya. Dan pada hari yang naas, 20 November 1946, pasukan Ciung Wanara yang bertempur dengan semangat puputan dihancurkan oleh NICA. Pak Wisnu pun beserta Pak Rai dan 94 anak buahnya, gugur sebagai kusuma bangsa. Dan pertempuran tersebut dikenal oleh masyarakat sebagai Pertempuran Puputan Margarana.

Selasa, 07 Januari 2014

Ada Apa dengan Kaki Tanganku? (Puisi)


Ilustrasi Kaki dan Tangan

Hingga kini,
aku tak habis pikir..
Tiap kali aku menonton kotak hitam di pojok ruangan,
selalu terpampang wajah wakil-wakil rakyat
yang kebelinger lembaran-lembaran bernilai itu.
Entah apa yang ada di pikiran mereka,
katanya berintelektualitas,
katanya memperjuangkan nasib rakyat,
Namun nyatanya…
hak rakyat pun diperkosa tanpa pandang bulu..
Ada apa dengan kaki tanganku yang duduk di kursi langit sana?
sudah butakah hati mereka?
eling pak, bu..


Ida Ayu Putu Novinasari~