Tampilkan postingan dengan label Sosok. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sosok. Tampilkan semua postingan

Rabu, 18 Juni 2014

Senja yang Tak Pernah Lupa

Ilustrasi Kakek Pedagang Asongan

Syukuri apa yang ada
Hidup adalah anugerah
Tetap jalani hidup ini
Melakukan yang terbaik
…       
(Petikan syair lagu D’Masiv berjudul “Jangan Menyerah”) 

     MENTARI pagi masih malu untuk menampakkan senyumnya. Namun, langkah ringkih Ibrahim sudah siap untuk memulai menyongsong masa depan. Masa depan yang diharapkan lebih baik dari hari sebelumnya sekalipun usia senja sudah menggerogotinya.
     Ibrahim, seorang pedagang acung berusia 70 tahun yang menjajakan makanan dan minuman ringan di seputaran Jalan Diponegoro, Denpasar. Biasanya ia berdagang di seputaran dekat tempat tinggalnya di Nusa Kambangan. Namun, pagi itu tampak berbeda. Ia mencoba mengadu peruntungannya di Jalan Diponegoro, sembari berharap hari itu menjadi hari yang lebih baik dari hari-hari sebelumnya.
     Sudah hampir lima dasawarsa, kakek yang kulitnya penuh keriput ini menjejakkan langkahnya di Pulau Dewata. Awal petualangannya di pulau dewata ini bermula pada tahun 1966. Saat itu, ia bersama kawannya, Abdullah, memantapkan hati untuk pergi meninggalkan kampungnya di Lombok Timur. Ia menumpang truk yang membawa sayur-mayur untuk menuju Bali. Dengan modal Rp 125,- Ibrahim muda dan kawannya terpaksa angkat kaki dari pulau yang dijuluki pulau seribu masjid itu. Bukan tanpa alasan, saat itu sedang terjadi “operasi sapu bersih PKI” oleh tentara. Ia memang bukan anggota PKI ataupun anggota ormas yang sepaham dengan PKI. Namun, ia takut dituduh sebagai PKI dan dihukum mati lantaran ia bekerja di ladang pertanian milik seorang gembong PKI di Lombok Timur.
      Sebenarnya Ibrahim tak kuasa meninggalkan kampung halamannya karena istrinya sedang hamil tua dan seorang anak lelakinya baru berusia 1,5 tahun. Batinnya bergejolak. Kebimbangan menghantui pikiran dan hatinya. Namun, keadaannlah yang memaksanya untuk bertindak demikian. Ia berharap di tempat yang baru, ia dapat bertahan hidup dan membawa pulang setumpuk cahaya kebahagiaan untuk keluarganya.
    Sesampainya di Denpasar, Ibrahim muda linglung, bingung menentukan apa yang harus ia lakukan. Denpasar pada awal 1966, merupakan sebuah kota yang sedang bergolak antara tetap pada rezim lama atau ikut pada orde yang baru. Ibrahim muda ketika itu menumpang tinggal di kontrakan familinya yang bekerja sebagai buruh bangunan di Denpasar. Ia kemudian diajak oleh familinya untuk bekerja sebagai buruh bangunan. Penghasilanya yang pas-pasan membuat ia memutar otak agar bisa bertahan di kota besar, seperti Denpasar dan mengirimkan sebagian rezekinya kepada keluarganya di kampung halaman. Ia memutar otak, dan akhirnya ia memutuskan untuk menanggalkan profesinya sebagai buruh bangunan guna menjadi pedagang acung yang menjajakan makanan dan miuman ringan. 
     Modal hasil jerih payahnya sebagai buruh bangunan, ia pergunakan untuk memulai berjualan. Ibrahim memberanikan diri untuk melakukan pekerjaan yang sebelumnya belum pernah ia lakukan. Waktu itu, ia berjualan di sekitar Penjara Denpasar (sekarang menjadi pusat Pertokoan Kertawijaya). Banyak pembeli dagangannya merupakan keluarga para penghuni penjara yang kebetulan menjenguk keluarganya di Penjara dan para petugas.
    Tahun 1990-an merupakan tahun yang begitu berarti bagi Ibrahim. Kenapa? Karena pada dekade tersebut penghasilan yang ia terima dapat dikatakan cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
     “Enak zaman Bapak Harto (Soeharto-pen), saya sehari dapat ada Rp 15.000 kotor, bersihnya saya dapat Rp 9.000” tutur Ibrahim polos. Dari hasil tersebut, ia dapat mengirimkan setengahnya kepada keluarganya di Lombok ataupun mudik ke kampung halamannya setiap hari raya Idul Fitri datang. 
     Sayangnya, era Reformasi yang digadang-gadang oleh berbagai kalangan intelektual dapat mengubah nasib bangsa Indonesia, tak dirasakan oleh kaum kecil, seperti Ibrahim. Penghasilan yang didapatkannya tak jauh berbeda ketika zaman Soeharto berkuasa, bahkan semakin menurun. Apalagi laju kenaikan harga-harga kebutuhan pokok yang semakin mencekik bagi kaum marjinal, salah satunya seperti yang dialami oleh kakek berbaju kemeja kedodoran warna biru kotak-kotak dan celana kedodoran ini..
     Setiap hari, dari pagi menyongsong hingga larut malam, kakek yang bertubuh renta dan beruban itu melangkahkan kakinya berjualan makanan dan minuman ringan. Ibrahim memanggul wadah tempat untuk menaruh makanan dan minuman ringan. Berat wadah itu tidak boleh diremehkan tetapi Ibrahim tetap kuat menahan beban itu di bahunya. Meski keringat bercucuran, panas matahari membakar kulitnya, kakek yang mengenakan topi lusuh itu tetap semangat dan pantang menyerah menjajakan makanan dan minuman ringan. Penghasilan yang didapat dari usaha pantang menyerahnya itu belum cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya di Kota Denpasar. Makan saja, Ibrahim mengalami kesulitan. Ditambah lagi ia harus patungan bersama teman-temannya untuk membayar biaya kos.
      “Kalau sekarang cuma dapat Rp 30.000, Rp. 40.000 paling banyak Rp 60.000 sehari. Tapi itu kotor. Bersih cuma dapat Rp 10.000-Rp 15.000.” tutur kakek itu polos sepolos sorotan matanya yang sayu. Hal itu membuatnya semakin pusing dan sulit untuk membantu keluarganya, “Ya sekarang kalau ada lebihan saja bisa mengirim uang ke Lombok. Pulang saja sudah jarang. Lima tahun sudah saya tidak pulang.” tutur Ibrahim lugu.
     Walau cobaan silih berganti menimpanya, ia tetap bersyukur kepada Sang Pencipta dengan segala nikmat yang telah diberikan-Nya. Ia percaya bahwa segala hal yang terjadi pada dirinya sudah digariskan oleh-Nya. Tak pernah sedikitpun terlintas dalam benaknya untuk marah atas nasibnya. Ibrahim tetap ramah dan memberikan senyum terindahnya pada dunia dan Sang Pemberi Nafas Kehidupan.
     Ketika panggilan adzan dzuhur berkumandang, Ibrahim segera meninggalkan dagangannya. Ia menitipkan daganganya pada salah satu toko di Pertokoan Kertawijaya untuk bergegas menuju masjid terdekat, yaitu Masjid Suci. Tak ada kekhawatiran sedikitpun dalam dirinya kalau dagangan dan kotak uangnya itu akan “dijahili”. Dengan langkah ringkihnya, ia menuju masjid. Dalam perjalannya menuju masjid, tak lupa ia menghampiri para pedagang, baik pedagang acung maupun para pemilik warung di sekitar tempat ia berjualan, yang beragama Islam, untuk menuju masjid guna bersama-sama menunaikan panggilan-Nya. Namun apa daya, usaha Ibrahim untuk mengajak para kawan-kawannya sesama pedagang sia-sia belaka. Tak jarang hardikan ia terima dari para sesama pedagang yang lebih memilih untuk tetap mengurus keduniawian ketimbang memenuhi panggilan Sang Pencipta. “Yang ngasih rejeki itu Allah, jadi saya harus berterima kasih kepada Beliau yang sudah ngasih saya rejeki.” tutur Ibrahim.
     Inilah Ibrahim, sosok yang tak pernah kenal lelah untuk terus berjuang melawan kemiskinan yang makin lama semakin menggerogoti usia rentanya. Terus bersyukur dan menjalani kewajiban kepada-Nya adalah sebuah sikap yang dewasa ini sudah sangat jarang kita temukan di lingkungan masyarakat yang semakin hedonis oleh kegemeralapan dunia. Ibrahim, sebuah renungan bagi kita semua.

Ida I Dewa Agung Istri Kanya, Wanita Besi Sang Srikandi Perang Kusamba (Feature)

Ilustrasi Ida I Dewa Agung Istri Kanya sedang Memimpin Pasukan Klungkung


Anda pasti tahu srikandi perang Aceh Tjoet Nja’ Dhien atau Tjoet Meutia, lalu Raden Ayu Serang yang dikenal dengan nama Nyi Ageng Serang dari Jawa. Namun, tahukah Anda siapakah sebenarnya Ida I Dewa Agung Istri Kanya?
Ida I Dewa Agung Istri Kanya merupakan salah satu dari sekian banyak para srikandi kemerdekaan Indonesia yang seakan-akan terlupakan oleh para generasi muda Bali. Ia merupakan saudara perempuan dari Dewa Agung, Raja Klungkung yang dijuluki oleh pihak kolonialis Belanda sebagai “wanita besi” karena kegigihannya dalam melawan Belanda pada Perang Kusamba tahun 1849.
Perang Kusamba terjadi setelah benteng Goa Lawah dan Kusamba jatuh ke tangan Belanda, ketika invasi Belanda ke Bali Selatan untuk menguasai Bali. Bersama Anak Agung Ketut Agung dan Anak Agung Made Sangging, Ida I Dewa Agung Istri Kanya memimpin pasukan dan rakyat Klungkung dalam menghadapi serangan penjajah. Pada 25 Mei 1849, pasukan Klungkung yang dipimpin oleh Ida I Dewa Agung Istri Kanya menyerang kemah pasukan Belanda yang dipimpin oleh Mayor Jenderal A.V. Michiels (Perwira Belanda yang berhasil mengalahkan Pangeran Diponegoro di Jawa dan Tuanku Imam Bondjol di Minang). Serangan yang dipimpin oleh Ida I Dewa Agung Istri Kanya membuat pertahanan Belanda di Kusamba kocar-kacir. Kepanikan ini membuat Mayor Jenderal A.V. Michiels tak bisa membedakan mana pasukannya, yaitu Batalyon XIII dan mana pasukan Klungkung. Dalam pertempuran tersebut Mayor Jenderal A.V. Michiels tertembak tepat di paha kanan oleh senjata api cannoners milik pasukan Klungkung yang membuat paha kanannya hancur.
Mayor Jenderal A.V. Michiels tak bisa meneruskan pertempuran dan dievakuasi ke Padang Bai. Mayor Jenderal A.V. Michiels kemudian digantikan sementara oleh Letnan Kolonel van Swieten. Di bawah pimpinan Letnan Kolonel van Swieten, pasukan Belanda kemudian ditarik dari palagan Kusamba menuju Padang Bai. Hal ini serta merta membuat Ida I Dewa Agung Istri Kanya memimpin dan memerintahkan pasukan Klungkung menyerang rombongan pasukan Belanda yang mundur tersebut.
Akibat tembakan dari pasukan Klungkung pimpinan Ida I Dewa Agung Istri Kanya, Mayor Jenderal A.V. Michiels tak dapat ditolong oleh tim dokter Belanda hingga akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya pada 25 Mei 1849 pukul 23.00. Kematiannya membuat moril pasukan Belanda seketika runtuh, sehingga mereka menarik diri dari Klungkung. Kematiannya juga menambah panjang deretan korban dipihak Belanda selama perang tersebut menjadi 11 orang perwira dan bintara serta 28 orang luka-luka. Sekitar 800 orang pasukan Klungkung gugur sebagai kusuma bangsa dalam mempertahankan kemerdekaan. Berhasilnya pasukan Klungkung di bawah Ida I Dewa Agung Istri Kanya membuat namanya harum sebagai srikandi kemerdekaan bangsa, terutama kedaulatan Kerajaan Klungkung.
Pasca Perang Kusamba 1849 dan setelah Raja Klungkung Dewa Agung Putra, saudara laki-lakinya wafat pada 1850, maka tampuk pemerintahan dipegang oleh Ida I Dewa Agung Istri Kanya selama kurang lebih 10 tahun. Selain memegang tampuk pemerintahan, Ida I Dewa Agung Istri Kanya mengisi waktu sebaga sastrawan dengan mengubah dan membuat kidung-kidung. Karya-karya yang terkenal, antara lain: Pralambang Bhasa Wewatekan dan Kidung Padem Warak yang mengisahkan peristiwa-peristiwa yang paling mengesankan dalam hidupnya. (Ida Ayu Putu Novinasari)

Rabu, 15 Januari 2014

I Gusti Putu Wisnu, Sang Pahlawan yang Terlupakan (Feature)



Mayor Wisnu

Anda pasti sudah tahu Jalan Mayor Wisnu yang terletak di seputaran Kayumas-Kota Denpasar atau mungkin Bandara Mayor Wisnu yang ada di Buleleng. Namun, tahukah Anda, Siapakah sebenarnya Mayor Wisnu?

Mayor Wisnu merupakan salah satu dari sekian banyak para pejuang kemerdekaan Indonesia yang seakan-akan terlupakan oleh para generasi muda Bali. Beliau dilahirkan di Klungkung pada tahun 1919, dengan nama I Gusti Putu Wisnu. Ayahnya, I Gusti Nyoman Oka adalah seorang ambtenaar (pegawai pemerintah Hindia Belanda-pen) yang berasal dari Banjar Penataran, Buleleng. Di Klungkunglah Wisnu kecil tumbuh besar hingga pada tahun 1926, Wisnu kecil masuk HIS (Hollands Inlandsche School-SD Belanda-pen) di Denpasar dan lulus pada 1933. Setelah lulus HIS, Wisnu remaja kemudian melanjutkan ke MULO (Meer UItgebreed Leger Onderwijs-SMP Belanda-pen) di Malang. Namun, ketika Wisnu remaja duduk di kelas 3, ia terpaksa meninggalkan bangku sekolah yang sangat ia cintai. Oleh karena ibunya meninggal dunia.

Setelah itu, bersama sahabatnya Pak Rai (I Gusti Ngurah Rai-pen) memasuki kursus kadet militer Belanda di Gianyar dan lulus dengan pangkat 2e Leutnant (Tweede Leutnant/Letnan Dua-pen). Kemudian Pemuda Wisnu bertugas di Korps Prayodha Singaraja. Sayangnya ia harus menutup karir kemiliteran Belandanya ketika Jepang masuk ke Bali.

Pada masa pendudukan Jepang, pemerintah pendudukan Jepang membuat sebuah pendidikan militer untuk para pribumi yang dinamakan PETA (Pembela Tanah Air-pen). Pemuda Wisnu pun bergabung dan mengikuti pendidikan militer di Ringshitai Singaraja, bersama Kemal Idris (kelak Pangdam Siliwangi-pen), Pak Rai, dan Pak Pindha (I  Gusti Ngurah Pindha, kelak Wagub Bali-pen). Pemuda Wisnu yang sudah dikenal dengan panggilan “Pak”, lulus dengan pangkat Chudanco (setara Kapten-pen).

Pasca Proklamasi Kemerdekaan, Pak Wisnu bergabung dengan TKR (Tentara Keamanan Rakyat-pen), dan diangkat sebagai Komandan Batalyon I TKR Sunda Kecil. Kemudian bersama Pak Rai, beliau ke Yogyakarta untuk menerima petunjuk-petunuk dari Mabes TKR dan meminta bantuan dalam rangka menghadapi Belanda di Bali. Dan sewaktu beliau kembali ke Bali, ternyata pasukan Belanda sudah mendarat di Bali pada bulan Februari 1946. Ketika itu, pasukan TKR Sunda Kecil tercerai berai dan terpencar. Pak Wisnu bersama Pak Rai dan pemimpin pejuan lainnnya segara berusaha untuk mempersatukan pasukannya kembali. 
Selanjutnya, Pak Wisnu diangkat sebagai Kepala Staf TKR (Resimen) Sunda Kecil. Beliau senantiasa setia mendampingi komandannya (Pak Rai-pen) melakukan perang gerilya, menggempur kedudukan tentara NICA (Netherlands Indies Civil Administration-pen) di hutan-hutan, desa, maupun kota di seluruh Bali. Setelah pertempuran di Tanah Aron-Karangasem, pasukan TKR (Resimen) Sunda Kecil sempat terpecah-pecah lagi dan diperintahkan kembali ke daerah masing-masing, karena kehabisan amunisi. Kemudian, karena tidak berhasil menyebrang kembali ke Jawa, Pak Wisnu dan Pak Rai, serta beberapa kawan pejuang lainnya berusaha untuk mendapatkan senjata dan peluru-peluru di Bali. Usaha itu berhasil dengan direbutnya dan diambilnya amunisi di Tangsi Polisi NICA Tabanan. Namun sialnya, tindakan itu diketahui oleh Belanda. Pasukan Pak Rai yang dijuluki Ciung Wanara dikepung dan digempur habis-habisan oleh NICA dengan mengerahkan seluruh kekuatannya. Dan pada hari yang naas, 20 November 1946, pasukan Ciung Wanara yang bertempur dengan semangat puputan dihancurkan oleh NICA. Pak Wisnu pun beserta Pak Rai dan 94 anak buahnya, gugur sebagai kusuma bangsa. Dan pertempuran tersebut dikenal oleh masyarakat sebagai Pertempuran Puputan Margarana.