Minggu, 19 Februari 2023

Bermimpi Kembali tentang Malam

Hari ini aku kembali bermimpi tentang malamku. 

Kami menghabiskan waktu bersama. 

Saling bicara. 

Saling beri perhatian yang sama.

Berjalan bersama, saling bergandengan tangan, 

duduk bersama di sebuah taman.. 

Kucurahkan semua rasa.. 

Kukatakan, 

Kali ini kusiap melepas semua, 

hanya untuknya.. 

Rangkul aku malam, 

Genggam erat tanganku.. 

Hanya dirimu yang kumau.. 

Sebaliknya ku bertanya padamu, 

bersediakah kau melepasnya untuk bersamaku? 

Selasa, 23 Oktober 2018

Cahaya

Terlalu lama rasa ini berharap
Pada cahaya yang tak mungkin kudapat.
Apa aku harus mundur bertahap
Menghapus semua kenangan yang lama menetap

IAP Novinasari
2018

Kamis, 15 September 2016

Bung.. Bung.. Lihatlah..

Bung.. Bung...
Lihatlah negeri ini
Semakin banyak luka di sekujur tubuhnya,
Warnanya merah, dan banyak memar

Bung, pasti bertanya
Siapa pelakunya?
Siapa yang tega melukainya hingga seperti ini?
Pelakunya tak lain tak bukan
Ialah orang Indonesia, Bung
Orang Indonesia yang mengaku berintelektualitas,
Orang Indonesia yang mengaku pelayan rakyat,
tapi memperkosa kekayaan negeri ini

Bung.. Bung..
Lihatlah negeri ini
Hampir semua kekayaan dan hasil alamnya
dilahap oleh orang-orang asing
Padahal, dulu Bung dan lainnya
Susah payah mengusir mereka,
Sekarang malah dipersilahkan dan dibiarkan

Bung.. Bung..
Lihatlah negeri ini
Kearifan lokal, budaya, adat-istiadatnya
Perlahan mulai terkikis
Orang Indonesia hanya bisa menonton,
mempersilakan, bahkan menukarnya dengan lembaran bernilai

Bung.. Bung..
Lihatlah negeri ini
Lihatlah!
Banyak yang mengaku berbangsa Indonesia,
berjiwa nasionalis,
tapi ternyata jiwanya kapitalis

Denpasar 2016

I.A.Pt.Novinasari

Jumat, 27 November 2015

Bersama Hujan

Entah kenapa, aku selalu nyaman bersama hujan. Hujan yang rintiknya datang tiba-tiba. Bersamanya, semua kegundahan bisa tersampaikan. Bersamanya, semua pertanyaan seolah mendapat jawaban. Bersamanya, senyum dan tawa selalu hadir. Entah kenapa, aku selalu nyaman bersamanya, bersama hujan yang rintiknya datang tiba-tiba.

Aku selalu bertanya, hingga kini. Perasaan apa ini? Kenyamanan apa ini? Mengapa rasanya begitu melambungkanku ke atas langit? Kepergiannya pun menimbulkan rasa yang aku pun sendiri tak tahu itu apa. Perasaan apa ini? Kesedihan apa ini? Mengapa rasanya begitu menjatuhkanku ke dasar bumi yang paling dalam?

Ada yang tahu apa itu?
Disebut apakah itu?

Minggu, 14 September 2014

Salah Menafsirkan

Dia kembali datang,
tapi kini dengan tampilan yang tak biasa..
Dia menawarkanku sebuah tarian..
Aku terima,
namun rupanya aku salah menafsirkan..
Aku terlalu hanyut
dalam tarian pemujaan..
Iya, tarian pemujaan..
Ragaku seperti haus akan setiap gerakan yang dicontohkannya..
Mataku nakal tak kala melihat setiap gerakan matanya..
Pikiranku menerobos batas kebenaran..

Salah..
Iya, ini kesalahan..
Aku salah menafsirkan..


Minggu, 22 Juni 2014

Animus 10R Essay Photo Pamerkan 1.562 Foto

Suasana Pameran Animus 10R Essay Photo

Denpasar
      Empat komunitas fotografi Bali yang terdiri atas Lingkara Photoart, Suku Analog, Lomonesia Bali, Jagir Photography menyelenggarakan pameran foto yang bertajuk Animus 10R Essay Photo Exhibition. Pameran yang berlangsung dari tanggal 20 – 30 Juni 2014 ini memamerkan foto-foto karya 35 fotografer Bali. Sebanyak 1.562 foto dipamerkan mulai pukul 09.00 – 23.00 WITA di Lingkara Photoart Gallery Jalan Merdeka IV No. 2 Renon-Denpasar.
       Animus 10R Essay Photo Exhibition yang didukung oleh JPPRO Bali terbuka bagi siapa saja yang ingin melihat sisi lain kehidupan Bali. JP Arsa, salah satu pendiri Lingkara Photoart, memaparkan bahwa animus 10R essay photo adalah bentuk keberanian menyampaikan sudut pandang personal tertentu yang jernih dan langsung, serta mencoba untuk menganalisa. Melalui pameran ini diharapkan dapat memicu tumbuhnya kerja kolektif dari komunitas-komunitas kreatif di Bali, tidak terbatas pada komunitas fotografi saja sehingga akan tumbuh ide-ide segar dan regenerasi anggota komunitas. Ketika ditanya mengenai alasan pemilihan foto berukuran 10R menjadi ketentuan foto yang dipamerkan, Arsa dengan terbuka memberikan penjelasan bahwa foto ukuran 10R adalah ukuran favorit keluarga. “Foto ukuran 10R menjadi ukuran favorit, biasanya sebagai foto dokumentasi keluarga yang terpajang di ruangan,” tutur Arsa yang dijumpai di Lingkara Photoart Gallery pada hari Jumat (20/6/2014) lalu.
     Pameran ini adalah pameran yang kesekian kali diadakan, namun kali ini tema yang diangkat lebih beragam, mulai dari keseharian, sosial, lingkungan, hingga difabelitas. Para fotografer dibebaskan untuk berekspresi lewat kacamata lensa mereka. Tak hanya itu, Animus 10R Essay Photo Exhibition menawarkan konsep pameran foto yang berbeda dari biasanya. Penempatan foto-foto beribu kisah itu bisa dikatakan unik karena tidak hanya memanfaatkan tembok untuk memajang hasil karya 35 fotografer Bali, tetapi juga memajang foto di vespa, pohon, dan sebagainya. Uniknya lagi, para fotografer yang terlibat dalam acara ini tidak hanya fotografer profesional, ada yang berprofesi sebagai pegawai kantor, penjaga pantai, pegawai pembersih kolam renang, tukang tattoo, arsitek, mahasiswa, dan lain-lain.
     Respon masyarakat terhadap pameran ini sangat bagus. Pameran ini mampu menyedot perhatian penikmat seni di Bali, khususnya penikmat seni fotografi. Hal ini tampak dari banyaknya pengunjung yang datang untuk melihat hasil jepretan para fotografer Bali. Bahkan, pengunjung yang datang tidak hanya pengunjung lokal, tetapi juga para wisatawan asing. Ari, salah satu pengunjung pameran Animus 10R Essay Photo Exhibition, mengaku sangat terkesima dengan foto-foto yang dipamerkan. “Foto-foto yang dipamerkan semua bagus sampai pangling ngeliatnya. Konsepnya juga beda, terus foto-foto yang dipajang itu unik ada soal penyandang tunarungu, tunanetra, seng penutup bangunan, pokoknya bagus deh,” ujar Ari yang dijumpai saat melihat-lihat beragam foto yang dipamerkan (20/6/2014). Selepas berkeliling melihat beragam foto, para pengunjung diminta mengisi buku kunjungan untuk membubuhkan komentar atau menceritakan pengalaman mereka mengunjungi pameran ini. (dayu)

Kamis, 19 Juni 2014

Naskah Drama “Ketika Kentongan Dipukul di Bale Banjar”



(Sebuah Adaptasi dari Cerpen Karya Nyoman Rasta Sindhu)

Babak 1
Latar    : Halaman Rumah Gung Gde Lila (Pagi Hari)
Tokoh   : Made Otar
             Seorang Lelaki Tua

Suatu hari yang terik di kota Denpasar, datanglah seorang lelaki paruh baya menuju sebuah rumah sembari terpogoh-pogoh…
Made Otar    : Om Swastyastu (sembari mengetuk pintu gerbang khas bali)
Lelaki Tua  : Om Swastyastu, wenten napi nggih? (sembari membukakan pintu)
Made Otar    : Apakah Tu Nak Agung ada? (sembari sedikit menunduk)
Lelaki Tua    : Wenten pak, ada perlu apa nggih?
Made Otar    : Niki pak, saya Made Otar… Saya diutus oleh keluarga di Puri
untuk  mengajak Tu Nak Agung pulang ke Puri...
Lelaki Tua    : Oh nggih… Sebentar saya panggilkan… silahkan duduk di bale
bengong di sana.. (sembari menunjuk arah bale bengong)
Seketika Seorang Lelaki Tua masuk ke dalam rumah menemui Gung Gde Lila….


Babak 2
Latar    : Ruang Tamu Gung Gde Lila (Pagi Hari)
Tokoh   : Gung Gde Lila
              Seorang Lelaki Tua

Lelaki Tua : Permisi Tuan (sembari memberi penghormatan. Maaf menggangu, ada tamu yang ingin mencari Tuan…. Gung Gde Lila: Siapa yang mencari saya di pagi-pagi begini? Menggangu waktu sarapanku saja… Huft (sembari memegang Koran dan menggerutu)
Lelaki Tua : Begini Tuan, katanya dia merupakan utusan puri… Hmmmm (sembari sedikit mengingat sesuatu) kalau tidak salah namanya Made Otar….
Gung Gde Lila :  Made Otar???!  Ada apa gerangan ia datang kemari??!! (Sembari terkejut dan sedikit bingung) Suruh dia masuk… (sembari menggerakkan tangan) 
Lelaki Tua       : Baik Tuan…. (sembari berjalan mundur menuju pintu)

Babak 3
Latar    : Halaman Rumah Gung Gde Lila (Pagi Hari)
Tokoh   : Made Otar
             Seorang Lelaki Tua

Lelaki Tua  : Bapak silahkan masuk ke dalam, Tuan Gung De Lila sudah menunggu di dalam. Mari masuk…
Made Otar   : Baiklah… (sembari mengikuti Seorang Lelaki Tua tersebut masuk ke dalam rumah)

       Babak 4
Latar    : Ruang Tamu Gung Gde Lila (Pagi Hari)
Tokoh   : Gung Gde Lila
             Made Otar
             Seorang Lelaki Tua

Lelaki Tua      : Ini tuan tamunya.. (sembari menunjuk Made Otar)
Gung Gde Lila : Oh ya… Silahkan duduk Paman Otar… (sembari menyilahkan duduk) pak, tolong buatkan minuman, kemudian urus babi-babi yang merusak kebun pisang saya…
Lelaki Tua      : Inggih Tuan…. (sembari menyembah)   
Made Otar      : (sembari duduk di  lantai)     
Gung Gde Lila  : Bagaimana Paman Otar kabarnya? Gerangan apa yang membawa Paman berkunjung ke rumah saya?
Made Otar   : Kabar saya baik… Namunnn… Hmmm… (agak sedikit bingung) Maaf sebelumnya jikalau saya sedikit lancang dalam berkata.. Taapiii Pulanglah ke Puri Tu Nak Agung… (sembari menatap penuh arti kepada Gung Gde Lila kemudian menunduk)
Lelaki Tua       : (sembari menaruh minuman lalu pergi meninggalkan ruangan)
Made Otar   : Bagaimanapun juga beliau adalah Ajin Tu Nak Agung  pula Lupakanlah segala yang telah lalu…. (sedikit tersendat)
Gung Gde Lila  : (sembari acuh tak acuh dan terpaku melihat ke luar jendela rumah)
Made Otar     : Tu Nak Agung…. Tiga hari lagi beliau akan dipelebonkan… Dan tahukah Tu Nak Agung…. (sembari menghela nafas) Bahwa ketika beliau menghembuskan nafas terakhir.. Beliau terus menerus memanggil nama Tu Nak Agung… Sungguh itu sungguh! (sembari meyakinkan Tu Nak Agung) Saya sudah cukup lama memarekan di Puri Tu. Saya tahu sifat-sifat beliau. Beliau adalah orang yang keras,namun sesungghnya beliau cepat memaafkan orang.
Gung Gde Lila: (sembari terdiam, acuh tak acuh dan sembari mencabut cambangnya yang tumbuh tak teratur)
Made Otar     : (sembari memperbaiki ikatan antong anduknya yang hampir lepas) Dan beliau menyerahkan cincin bermata bangsing itu kepada saya, dan beliau minta agar cincin ini saya serahkan kepada Tu.. Beliau minta menghendaki agar Tu Nak Agung memakai cincin ini sebagai pertanda bahwa beliau sesungguhnya telah memaafkan Tu nak Agung (sembari menunjukkan cincin kepada Tu Nak Agung)
Gung Gde Lila: (tetap diam membisu dan acuh tak acuh)                                 
Made Otar  : (Wah Ternyata Gung Gde Lila masih kekeh terhadap pendiriannya ya-berkata dalam hati) Ya sudah Tu Nak Agung kalau begitu saya pamit pulang… Permisi (sembari mundur menuju pintu) 
Gung Gde Lila : (tetap diam membisu dan acuh tak acuh)                                 

Kemudian Gung Lila duduk merenung, ia merasa benar-benar sendiri. Tidak ada orang lain yang mendampinginya sejak tiga hari lalu, ketika Made Otar datang ke rumahnya itu. Dan ia merasa sendiri lagi, ketika ia sadar bahkan hari ini adalah hari pelebon ayahnya, seperti yang telah disampaikan oleh Made Otar. Istrinya masih menangis dalam kamar. Sejak Made Otar datang, istrinya selalu menyarankan agar ia memaafkan keluarga, terutama ayahnya. Istrinya mendesaknya agar ia pulang waktu pelebon ayahnya, akan tetapi Gung Lila masih tetap pada pendirinanya. Malah ia ingat kejadian tiga tahun lalu, ketika ia melarikan Sulastri, dan bahkan tidak memperoleh restu lagi dari orang tua dan keluarganya sendiri……

      Babak 5
Latar    : Bale Pamancingah Puri (Malam Hari)
Tokoh   : Anak Agung Gde (Ayah Gung Gde Lila)
     Gung Gde Lila
           
Anak Agung Gde : Kalau kau memilih gadis, pilihlah gadis yang baik… Jangan pilih gadis macam begitu (sembari memegang tongkat)
Gung Gde Lila    : Hah?! Macam apa pula maksud ayahanda? (sembari bingung)
Anak Agung Gde : Ya macam begitu, seperti istrimu itu! (sembari membentak keras dan menmpar  pipi Gung Gde Lila)
Gung Gde Lila     : (sembari menangkis dan menangis) Bilang terus terang ayah.. Ayah menghendaki seorang menantu dari Kasta Bangsawan juga kan??!! Bilang terus terang ayah…
Anak Agung Gde  : (sembari terdiam sebentar kemudian menampakkan  wajah emosi dengan nafas yang turun-naik dan memegang tongkat) Kalau kau mau kawin, kawinlah.. Tapi nama ayah kau sebut-sebut dalam perkawinanmu itu.. Dan apa bila kau telah kawin nanti, sejak saat itulah kau tak kuanggap lagi sebagai anakku dan keturunanmu sebagai warihku lagi!! Mengerti!!?? Dan ingat jangan menginjak lagi Puri ini!!!
Gung Gde Lila    : (sembari tersentak kaget dan melangkah menuju kori dan berteriak) Ya! saya mengerti, dan saya akan kawin… Saya sudah siap memikul akibatnya.. Saya tidak akan menginjak lagi Puri ini!!

Keputusan  telah diambil… Ia melarikan Sulastri, namun ia ingat kini bagaimana perkawinan itu jadi ricuh pada mulanya. Ketika itu desas-desus tersebar bahwa Gung Lila akan melarikan Sulastri, keluarga Sulastri sudah bersiap-siap untuk mempertahankan Sulastri, dan mereka juga sudah mendengar bahwa keluarga besar Puri tidak merestui perkawinan itu, serta sikap keluarga besar Puri yang kolot membuat keluarga Sulastri tersinggung..

Babak 6
Latar    : Jalan Desa (Siang Hari)
Tokoh   : Nyoman Partha
             Nengah Wirya

Nengah Wirya  : Man be tawang Gung Lila melaibin Sulastri?
Nyoman Partha: Saje to Ngah??!! Nyen wak orin??? (sembari terkejut)
Nengah Wirya : Ae, seken man.. Rage man berita uli Putu Kapat, Parekan Purine…
Nyoman Partha : Beh gawat to.. Pedalem keluargane Gurun Gede…
Nengah Wirya   : Ae to be, pedalem ie.. mih lanjut ke carik.. Megae malu?
Nyoman Partha : Mih.. Ayo nae…

Babak 7
Latar    : Ruang Tamu Rumah Lastri (Sore Hari)
Tokoh   : Gurun Gede (Ayah Lastri)
             Sulastri

Gurun Gede: Lastri, mulai hari ini kau tidak boleh kawin dengan Gung Lila (sembari
duduk memegang pundak Lastri).. kau urungkan saja niat untuk kawin dengan Gung
Gde Lila, kau kan sudah mendengar keputusan keluarganya bukan? Semua itu
merendahkan derajat keluarga kita. Kita punya derajat, walau bukan derajat
bangsawan.. Kita punya derajat, yaitu derajat bangsawan (sembari sedikit geram
dan kesal)
Sulastri      :   Tapi keputusan itu bukan keputusan Gung Gde Lila ayah… (sembari mengiba)
Gurun Gede :   Ya.. Ya.. Ya… ayah tahu, tapi akan kau bawa ke mana wajahmu apabila kau kawin dengannya?? Bila ternyata tak ada seorangpun keluarganya yang bersedia menjenguk dan menyelesaikan perkawinanmu? (sembari berdiri dan mengacungkan jari)
Sulastri        :     Tapi ayah??? (sembari berusaha mengiba)
Gurun Gede  :     Ssstt.. Sudahlah anakku… Dengarkanlah perkataanku…
Sulastri        :    (sembari menangis pergi meninggalkan ruangan)

Setelah perdebatan itu Sulastri memutuskan untuk menjumpai Gung Gde Lila di sekolahnya dan melarikan diri waktu itu juga..

Babak 8
Latar    : Koridor Sekolah dan Ruang Kelas (Pagi dan Siang Hari)
Tokoh   : Gung Gde Lila
             Sulastri

Sulastri        :    Bli Gung… Maukah kau memperjuangkan cinta kita?? (sembari memegang tangan  Gung Gde Lila)
Gung Gde Lila: Tentu saja Lastri mengapa? Apakah kau meragukanku? Aku sudah menentang keluargaku, terutama ayahku, bukankah kau tahu itu Lastri?
Sulastri          :   Bukan begitu Bli Gung.. Aku sangat percaya akan ketulusan cintamu.. Hmm Namunnn… Bagaimana kita kan melanjutkan cinta kita ke jenjang perkawinan jika tembok restu menghadang??
Gung Gde Lila :   Lastri sayang… (sembari memegang kepala dan memeluk Lastri) Tenang saja.. Kita pasti akan kawin.. Aku sudah merencanakan pelarian kita, kita akan kawin lari. Sahabatku Made Sukarya sudah menyiapkan semuanya, mobil, rumahnya sebagai  tempat persembunyian kita untuk sementara waktu sembari menunggu penyelesaian dari keluarga kita… Apakah kau mau Lastri?
Sulastri          :   Iya Bli Gung.. Aku kan ikut ke manapun Bli Gung pergi… Aku cinta padamu Bli Gung (sembari tersenyum)
Gung Gde Lila :   Aku juga cinta padamu Lastri, aku ingin bahagia bersamamu… (sembari tersenyum)

Kedua belah pihak keluarga heboh. Pada awalnya masing masing bersikeras, tidak mau menyelesaikan perkawinan itu antar keluarga. Namun, akhirnya ketika keluarga Sulastri menerima ancaman dari Sulastri, bahwa apabila ia didiamkan begitu saja, maka ia akan bunuh diri. Ayahnya yang merasa iba pada anak satu-satunya itu datang juga ke tempat persembunyiannya itu dan akhirnya merestui hubungan perkawinan mereka. Perkawinan yang berlangsung tanpa orangpun yang hadir dari pihak keluarga Puri dan diwakilkan oleh sahabatnya Gung Gde Lila yaitu Made Sukarya..

Babak 9
Latar    : Ruang Tamu dan Ruang Keluarga Rumah Gung Gde Lila (Pagi Hari)
Tokoh   : Gung Gde Lila
              Sulastri
              Made Otar

Istrinya masih menangis di dalam kamar. Ketika itu datang Made Otar untuk menyampaikan pesan dari keluarga Puri…
Made Otar    :  Tu Nak Agung pulanglah ke Puri Tu Nak Agung… Ajin Tu Nak Agung akan di  Pelebon sore nanti.. Maafkalah Ajin Tu Nak Agung.. Janganlah menaruh dendam  pada orang tua sendiri (sembari menatap penuh arti pada Gung Gde Lila)
Gung Gde Lila: (sembari menatap dengan sinis) Kenapa tidak mereka saja yang datang kemari??!!! Kenapa harus melalui engkau Paman Otar!!?? Dulu ketika saya kawin.. Mereka  bersikeras untuk tidak datang, dan membuangku dari Puri.. Maka sekarangpun saya  tidak akan mau pulang ke Puri lagi. Sampaikan kata-kata itu! (sembari berdiri  dengan geram dan kesal)
Made Otar : (sembari tertunduk dan mengiba) Ttttaaa…  ppppiii… Ggguuunggg Ggddeeee… Ini adalah kesempatan terakhir bagi Gung Gde untuk menghormati beliau..
Gung Gde Lila:  Kan sudah ku bilang Paman Otar.. Sekali tidak mau ya tidak kan mau!! Sebagai seorang Ksatrya pantang bagiku untuk menarik ucapanku.. Camkan itu paman!!  (sembari berdiri dengan geram dan mengacungkan jari ke atas)
Made Otar   : Maaf Gung Gde.. Saya hanya menyampaikan pesan dari keluarga Puri saja… Kalau begitu keputusan Gung Gde saya akan sampaikan kepada keluarga Puri… Saya  permisi dulu kembali ke Puri..

Kembali Gung Gde Lila termangu diam seperti itu. Kini terbayang di hadapannya, bahwa sebentar lagi apabila matahari sudah condong ke ufuk barat, upacara pelebon ayahnya dimulai tanpa kehadirannya sebagai putra satu-satunya.

Gung Gede Lila : (berbicara dalam hati) sebenarnya aku ingin pulang dan memaafkan ayah.. Tapii.. Keluargaku belumlah memaafkanku.. Mereka hanya menyuruhku untuk pulang tanpa mengucapkan maaf padaku.. 

Sembari termangu diam, teringat kembali Gung Gde Lila ketika anaknya berumur tiga bulan dan harus dibuatkan sekedar upacara tanpa uang sepeserpun. Karena kemiskinan dan kekurangan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Namun hatinya pantang untuk meminta bantuan kepada keluarganya, malah keluarganya sering mengejek bila bertemu di muka jalan. Dan demikianlah hidupnya telah berlangsung dari pinjam sana-sini, dengan sedikit bantuan dari keluarga Sulastri. Waktu anaknya diupacarai pun telah terjadi kegoncangan jiwa sperti yang dialami sekarang. Ketika upacara selesai beberapa orang dari keluarga Sulastri tidak bersedia ikut makan paridan bebantennya, sebagai pertanda mereka mau merestui perkawinan mereka, walaupun orang tua Sulastri dan beberapa orang misannya bersikap biasa. Gung Gde Lila merasa tersinggung atas perlakuan itu, karena sebagai darah bangsawan seharusnya semua orang tanpa kecuali boleh memakan paridan itu, sebab itu dibuat untuk seorang anak bangsawan walaupun beribu sudra namun tetap berdarah bangsawan sebab ayahnya bangsawan.

Babak 10
Latar    : Ruang Keluarga Rumah Gung Gde Lila
Tokoh   : Gung Gde Lila
             Sulastri

Sedang Istrinya pun selalu ingin pulang ke Puri dan meminta maaf kepada keluarga Puri dan sebaliknya. Namun… Gung Gde Lila tetap pada pendiriannya.. Dan Sekarang pun istrinya minta diantar ke Puri..
Sulastri           : Mari kita pulang.. (sembari memohon)
Gung Gde Lila  : Pulang ke mana lagi Lastri? Kita kan sudah berada di rumah… (sembari bingung)
Sulastri           : Ke Puri..
Gung Gde Lila  : Aku bukan keluarga Puri lagi… (sembari duduk di atas kursi)
Sulastri      : Tapi beliau ayahmu sendiri Bli Gung.. Sebentar lagi akan dipelebonkan. Hampir sebagian besar penghuni Kota Denpasar ini akan melihat. Dan bahkan ku dengar  juga bahwa  upacara ini akan difilmkan oleh beberapa turis asing.. Apakah Bli Gung  tidak malu pada keluarga Puri sebagai putra terbesar dan yang sepentasnya bertanggung jawab terhadap jalannya upacara? (sembari memeluk Gung Gde Lila)
Gung Gde Lila : Aku bukan anaknya lagi Lastri!!  (sembari berdiri dan masuk ke kamar)
Sulastri          : (sembari bersimpuh dan menangis tersedu-sedu) Blii Guunggg jangan begitu Bli Gung Gde.. Jangan….

Matahari sudah condong ke arah barat. Sebentar lagi arakan wadah mayat ayahnya akan lewat pintu rumahnya. Dan sepanjang jalan dari Puri menuju ke kuburan akan penuh sesak oleh orang-orang yang akan menonton pembakaran..  Dengan tiba-tiba ia merasa seperti di buru oleh suara-suara sorak-sorai para pengusung bade yang gegap gempita. Gung Gde Lila merenung di beranda depan. Matanya kosong menatap langit, dan ketika bunyi kentongan dipukul di Bale Banjar, dadanya berdetak bahwa sebentar lagi anggota banjarnya akan ikut serta dalam upacara. Namun kenapa ia sendiri tidak?

Babak 11
Latar    : Ruang Keluarga Rumah Gung Gde Lila
Tokoh   : Gung Gde Lila
             Sulastri
     Anak Gung Gde Lila

Ketika kentongan dipukul untuk kedua kalinya, istrinya kembali memohon dengan mata basah dan suara yang serak..
Sulastri          : Bli Gung marilah kita pulang.. Kita malu pada tetangga..
Gung De Lila: Kalau kau mau pulang.. Pulanglah sendiri!!! (sembari membentak)
Sulastri          : Ya!! Saya akan ke Puri (sembari pergi menuju kori)

Dengan dada panas Gung Gde Lila memandang kepergian istrinya di balik kori, serta panggilan anaknya yang baru bisa mengucapkan kata “papa” tidak di balasnya. Ia hanya sanggup memejamkan matanya ketika arakan lewat di depan rumahnya serta suara para pengusung yang gegap gempita itu semakin riuh juga sampai akhirnya menghilang di kejauhan. Sesuatu telah menggetarkan jantungnya..

TAMAT


Ida Ayu Putu Novinasari