Tampilkan postingan dengan label Sastra. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sastra. Tampilkan semua postingan

Kamis, 15 September 2016

Bung.. Bung.. Lihatlah..

Bung.. Bung...
Lihatlah negeri ini
Semakin banyak luka di sekujur tubuhnya,
Warnanya merah, dan banyak memar

Bung, pasti bertanya
Siapa pelakunya?
Siapa yang tega melukainya hingga seperti ini?
Pelakunya tak lain tak bukan
Ialah orang Indonesia, Bung
Orang Indonesia yang mengaku berintelektualitas,
Orang Indonesia yang mengaku pelayan rakyat,
tapi memperkosa kekayaan negeri ini

Bung.. Bung..
Lihatlah negeri ini
Hampir semua kekayaan dan hasil alamnya
dilahap oleh orang-orang asing
Padahal, dulu Bung dan lainnya
Susah payah mengusir mereka,
Sekarang malah dipersilahkan dan dibiarkan

Bung.. Bung..
Lihatlah negeri ini
Kearifan lokal, budaya, adat-istiadatnya
Perlahan mulai terkikis
Orang Indonesia hanya bisa menonton,
mempersilakan, bahkan menukarnya dengan lembaran bernilai

Bung.. Bung..
Lihatlah negeri ini
Lihatlah!
Banyak yang mengaku berbangsa Indonesia,
berjiwa nasionalis,
tapi ternyata jiwanya kapitalis

Denpasar 2016

I.A.Pt.Novinasari

Jumat, 27 November 2015

Bersama Hujan

Entah kenapa, aku selalu nyaman bersama hujan. Hujan yang rintiknya datang tiba-tiba. Bersamanya, semua kegundahan bisa tersampaikan. Bersamanya, semua pertanyaan seolah mendapat jawaban. Bersamanya, senyum dan tawa selalu hadir. Entah kenapa, aku selalu nyaman bersamanya, bersama hujan yang rintiknya datang tiba-tiba.

Aku selalu bertanya, hingga kini. Perasaan apa ini? Kenyamanan apa ini? Mengapa rasanya begitu melambungkanku ke atas langit? Kepergiannya pun menimbulkan rasa yang aku pun sendiri tak tahu itu apa. Perasaan apa ini? Kesedihan apa ini? Mengapa rasanya begitu menjatuhkanku ke dasar bumi yang paling dalam?

Ada yang tahu apa itu?
Disebut apakah itu?

Kamis, 19 Juni 2014

Naskah Drama “Ketika Kentongan Dipukul di Bale Banjar”



(Sebuah Adaptasi dari Cerpen Karya Nyoman Rasta Sindhu)

Babak 1
Latar    : Halaman Rumah Gung Gde Lila (Pagi Hari)
Tokoh   : Made Otar
             Seorang Lelaki Tua

Suatu hari yang terik di kota Denpasar, datanglah seorang lelaki paruh baya menuju sebuah rumah sembari terpogoh-pogoh…
Made Otar    : Om Swastyastu (sembari mengetuk pintu gerbang khas bali)
Lelaki Tua  : Om Swastyastu, wenten napi nggih? (sembari membukakan pintu)
Made Otar    : Apakah Tu Nak Agung ada? (sembari sedikit menunduk)
Lelaki Tua    : Wenten pak, ada perlu apa nggih?
Made Otar    : Niki pak, saya Made Otar… Saya diutus oleh keluarga di Puri
untuk  mengajak Tu Nak Agung pulang ke Puri...
Lelaki Tua    : Oh nggih… Sebentar saya panggilkan… silahkan duduk di bale
bengong di sana.. (sembari menunjuk arah bale bengong)
Seketika Seorang Lelaki Tua masuk ke dalam rumah menemui Gung Gde Lila….


Babak 2
Latar    : Ruang Tamu Gung Gde Lila (Pagi Hari)
Tokoh   : Gung Gde Lila
              Seorang Lelaki Tua

Lelaki Tua : Permisi Tuan (sembari memberi penghormatan. Maaf menggangu, ada tamu yang ingin mencari Tuan…. Gung Gde Lila: Siapa yang mencari saya di pagi-pagi begini? Menggangu waktu sarapanku saja… Huft (sembari memegang Koran dan menggerutu)
Lelaki Tua : Begini Tuan, katanya dia merupakan utusan puri… Hmmmm (sembari sedikit mengingat sesuatu) kalau tidak salah namanya Made Otar….
Gung Gde Lila :  Made Otar???!  Ada apa gerangan ia datang kemari??!! (Sembari terkejut dan sedikit bingung) Suruh dia masuk… (sembari menggerakkan tangan) 
Lelaki Tua       : Baik Tuan…. (sembari berjalan mundur menuju pintu)

Babak 3
Latar    : Halaman Rumah Gung Gde Lila (Pagi Hari)
Tokoh   : Made Otar
             Seorang Lelaki Tua

Lelaki Tua  : Bapak silahkan masuk ke dalam, Tuan Gung De Lila sudah menunggu di dalam. Mari masuk…
Made Otar   : Baiklah… (sembari mengikuti Seorang Lelaki Tua tersebut masuk ke dalam rumah)

       Babak 4
Latar    : Ruang Tamu Gung Gde Lila (Pagi Hari)
Tokoh   : Gung Gde Lila
             Made Otar
             Seorang Lelaki Tua

Lelaki Tua      : Ini tuan tamunya.. (sembari menunjuk Made Otar)
Gung Gde Lila : Oh ya… Silahkan duduk Paman Otar… (sembari menyilahkan duduk) pak, tolong buatkan minuman, kemudian urus babi-babi yang merusak kebun pisang saya…
Lelaki Tua      : Inggih Tuan…. (sembari menyembah)   
Made Otar      : (sembari duduk di  lantai)     
Gung Gde Lila  : Bagaimana Paman Otar kabarnya? Gerangan apa yang membawa Paman berkunjung ke rumah saya?
Made Otar   : Kabar saya baik… Namunnn… Hmmm… (agak sedikit bingung) Maaf sebelumnya jikalau saya sedikit lancang dalam berkata.. Taapiii Pulanglah ke Puri Tu Nak Agung… (sembari menatap penuh arti kepada Gung Gde Lila kemudian menunduk)
Lelaki Tua       : (sembari menaruh minuman lalu pergi meninggalkan ruangan)
Made Otar   : Bagaimanapun juga beliau adalah Ajin Tu Nak Agung  pula Lupakanlah segala yang telah lalu…. (sedikit tersendat)
Gung Gde Lila  : (sembari acuh tak acuh dan terpaku melihat ke luar jendela rumah)
Made Otar     : Tu Nak Agung…. Tiga hari lagi beliau akan dipelebonkan… Dan tahukah Tu Nak Agung…. (sembari menghela nafas) Bahwa ketika beliau menghembuskan nafas terakhir.. Beliau terus menerus memanggil nama Tu Nak Agung… Sungguh itu sungguh! (sembari meyakinkan Tu Nak Agung) Saya sudah cukup lama memarekan di Puri Tu. Saya tahu sifat-sifat beliau. Beliau adalah orang yang keras,namun sesungghnya beliau cepat memaafkan orang.
Gung Gde Lila: (sembari terdiam, acuh tak acuh dan sembari mencabut cambangnya yang tumbuh tak teratur)
Made Otar     : (sembari memperbaiki ikatan antong anduknya yang hampir lepas) Dan beliau menyerahkan cincin bermata bangsing itu kepada saya, dan beliau minta agar cincin ini saya serahkan kepada Tu.. Beliau minta menghendaki agar Tu Nak Agung memakai cincin ini sebagai pertanda bahwa beliau sesungguhnya telah memaafkan Tu nak Agung (sembari menunjukkan cincin kepada Tu Nak Agung)
Gung Gde Lila: (tetap diam membisu dan acuh tak acuh)                                 
Made Otar  : (Wah Ternyata Gung Gde Lila masih kekeh terhadap pendiriannya ya-berkata dalam hati) Ya sudah Tu Nak Agung kalau begitu saya pamit pulang… Permisi (sembari mundur menuju pintu) 
Gung Gde Lila : (tetap diam membisu dan acuh tak acuh)                                 

Kemudian Gung Lila duduk merenung, ia merasa benar-benar sendiri. Tidak ada orang lain yang mendampinginya sejak tiga hari lalu, ketika Made Otar datang ke rumahnya itu. Dan ia merasa sendiri lagi, ketika ia sadar bahkan hari ini adalah hari pelebon ayahnya, seperti yang telah disampaikan oleh Made Otar. Istrinya masih menangis dalam kamar. Sejak Made Otar datang, istrinya selalu menyarankan agar ia memaafkan keluarga, terutama ayahnya. Istrinya mendesaknya agar ia pulang waktu pelebon ayahnya, akan tetapi Gung Lila masih tetap pada pendirinanya. Malah ia ingat kejadian tiga tahun lalu, ketika ia melarikan Sulastri, dan bahkan tidak memperoleh restu lagi dari orang tua dan keluarganya sendiri……

      Babak 5
Latar    : Bale Pamancingah Puri (Malam Hari)
Tokoh   : Anak Agung Gde (Ayah Gung Gde Lila)
     Gung Gde Lila
           
Anak Agung Gde : Kalau kau memilih gadis, pilihlah gadis yang baik… Jangan pilih gadis macam begitu (sembari memegang tongkat)
Gung Gde Lila    : Hah?! Macam apa pula maksud ayahanda? (sembari bingung)
Anak Agung Gde : Ya macam begitu, seperti istrimu itu! (sembari membentak keras dan menmpar  pipi Gung Gde Lila)
Gung Gde Lila     : (sembari menangkis dan menangis) Bilang terus terang ayah.. Ayah menghendaki seorang menantu dari Kasta Bangsawan juga kan??!! Bilang terus terang ayah…
Anak Agung Gde  : (sembari terdiam sebentar kemudian menampakkan  wajah emosi dengan nafas yang turun-naik dan memegang tongkat) Kalau kau mau kawin, kawinlah.. Tapi nama ayah kau sebut-sebut dalam perkawinanmu itu.. Dan apa bila kau telah kawin nanti, sejak saat itulah kau tak kuanggap lagi sebagai anakku dan keturunanmu sebagai warihku lagi!! Mengerti!!?? Dan ingat jangan menginjak lagi Puri ini!!!
Gung Gde Lila    : (sembari tersentak kaget dan melangkah menuju kori dan berteriak) Ya! saya mengerti, dan saya akan kawin… Saya sudah siap memikul akibatnya.. Saya tidak akan menginjak lagi Puri ini!!

Keputusan  telah diambil… Ia melarikan Sulastri, namun ia ingat kini bagaimana perkawinan itu jadi ricuh pada mulanya. Ketika itu desas-desus tersebar bahwa Gung Lila akan melarikan Sulastri, keluarga Sulastri sudah bersiap-siap untuk mempertahankan Sulastri, dan mereka juga sudah mendengar bahwa keluarga besar Puri tidak merestui perkawinan itu, serta sikap keluarga besar Puri yang kolot membuat keluarga Sulastri tersinggung..

Babak 6
Latar    : Jalan Desa (Siang Hari)
Tokoh   : Nyoman Partha
             Nengah Wirya

Nengah Wirya  : Man be tawang Gung Lila melaibin Sulastri?
Nyoman Partha: Saje to Ngah??!! Nyen wak orin??? (sembari terkejut)
Nengah Wirya : Ae, seken man.. Rage man berita uli Putu Kapat, Parekan Purine…
Nyoman Partha : Beh gawat to.. Pedalem keluargane Gurun Gede…
Nengah Wirya   : Ae to be, pedalem ie.. mih lanjut ke carik.. Megae malu?
Nyoman Partha : Mih.. Ayo nae…

Babak 7
Latar    : Ruang Tamu Rumah Lastri (Sore Hari)
Tokoh   : Gurun Gede (Ayah Lastri)
             Sulastri

Gurun Gede: Lastri, mulai hari ini kau tidak boleh kawin dengan Gung Lila (sembari
duduk memegang pundak Lastri).. kau urungkan saja niat untuk kawin dengan Gung
Gde Lila, kau kan sudah mendengar keputusan keluarganya bukan? Semua itu
merendahkan derajat keluarga kita. Kita punya derajat, walau bukan derajat
bangsawan.. Kita punya derajat, yaitu derajat bangsawan (sembari sedikit geram
dan kesal)
Sulastri      :   Tapi keputusan itu bukan keputusan Gung Gde Lila ayah… (sembari mengiba)
Gurun Gede :   Ya.. Ya.. Ya… ayah tahu, tapi akan kau bawa ke mana wajahmu apabila kau kawin dengannya?? Bila ternyata tak ada seorangpun keluarganya yang bersedia menjenguk dan menyelesaikan perkawinanmu? (sembari berdiri dan mengacungkan jari)
Sulastri        :     Tapi ayah??? (sembari berusaha mengiba)
Gurun Gede  :     Ssstt.. Sudahlah anakku… Dengarkanlah perkataanku…
Sulastri        :    (sembari menangis pergi meninggalkan ruangan)

Setelah perdebatan itu Sulastri memutuskan untuk menjumpai Gung Gde Lila di sekolahnya dan melarikan diri waktu itu juga..

Babak 8
Latar    : Koridor Sekolah dan Ruang Kelas (Pagi dan Siang Hari)
Tokoh   : Gung Gde Lila
             Sulastri

Sulastri        :    Bli Gung… Maukah kau memperjuangkan cinta kita?? (sembari memegang tangan  Gung Gde Lila)
Gung Gde Lila: Tentu saja Lastri mengapa? Apakah kau meragukanku? Aku sudah menentang keluargaku, terutama ayahku, bukankah kau tahu itu Lastri?
Sulastri          :   Bukan begitu Bli Gung.. Aku sangat percaya akan ketulusan cintamu.. Hmm Namunnn… Bagaimana kita kan melanjutkan cinta kita ke jenjang perkawinan jika tembok restu menghadang??
Gung Gde Lila :   Lastri sayang… (sembari memegang kepala dan memeluk Lastri) Tenang saja.. Kita pasti akan kawin.. Aku sudah merencanakan pelarian kita, kita akan kawin lari. Sahabatku Made Sukarya sudah menyiapkan semuanya, mobil, rumahnya sebagai  tempat persembunyian kita untuk sementara waktu sembari menunggu penyelesaian dari keluarga kita… Apakah kau mau Lastri?
Sulastri          :   Iya Bli Gung.. Aku kan ikut ke manapun Bli Gung pergi… Aku cinta padamu Bli Gung (sembari tersenyum)
Gung Gde Lila :   Aku juga cinta padamu Lastri, aku ingin bahagia bersamamu… (sembari tersenyum)

Kedua belah pihak keluarga heboh. Pada awalnya masing masing bersikeras, tidak mau menyelesaikan perkawinan itu antar keluarga. Namun, akhirnya ketika keluarga Sulastri menerima ancaman dari Sulastri, bahwa apabila ia didiamkan begitu saja, maka ia akan bunuh diri. Ayahnya yang merasa iba pada anak satu-satunya itu datang juga ke tempat persembunyiannya itu dan akhirnya merestui hubungan perkawinan mereka. Perkawinan yang berlangsung tanpa orangpun yang hadir dari pihak keluarga Puri dan diwakilkan oleh sahabatnya Gung Gde Lila yaitu Made Sukarya..

Babak 9
Latar    : Ruang Tamu dan Ruang Keluarga Rumah Gung Gde Lila (Pagi Hari)
Tokoh   : Gung Gde Lila
              Sulastri
              Made Otar

Istrinya masih menangis di dalam kamar. Ketika itu datang Made Otar untuk menyampaikan pesan dari keluarga Puri…
Made Otar    :  Tu Nak Agung pulanglah ke Puri Tu Nak Agung… Ajin Tu Nak Agung akan di  Pelebon sore nanti.. Maafkalah Ajin Tu Nak Agung.. Janganlah menaruh dendam  pada orang tua sendiri (sembari menatap penuh arti pada Gung Gde Lila)
Gung Gde Lila: (sembari menatap dengan sinis) Kenapa tidak mereka saja yang datang kemari??!!! Kenapa harus melalui engkau Paman Otar!!?? Dulu ketika saya kawin.. Mereka  bersikeras untuk tidak datang, dan membuangku dari Puri.. Maka sekarangpun saya  tidak akan mau pulang ke Puri lagi. Sampaikan kata-kata itu! (sembari berdiri  dengan geram dan kesal)
Made Otar : (sembari tertunduk dan mengiba) Ttttaaa…  ppppiii… Ggguuunggg Ggddeeee… Ini adalah kesempatan terakhir bagi Gung Gde untuk menghormati beliau..
Gung Gde Lila:  Kan sudah ku bilang Paman Otar.. Sekali tidak mau ya tidak kan mau!! Sebagai seorang Ksatrya pantang bagiku untuk menarik ucapanku.. Camkan itu paman!!  (sembari berdiri dengan geram dan mengacungkan jari ke atas)
Made Otar   : Maaf Gung Gde.. Saya hanya menyampaikan pesan dari keluarga Puri saja… Kalau begitu keputusan Gung Gde saya akan sampaikan kepada keluarga Puri… Saya  permisi dulu kembali ke Puri..

Kembali Gung Gde Lila termangu diam seperti itu. Kini terbayang di hadapannya, bahwa sebentar lagi apabila matahari sudah condong ke ufuk barat, upacara pelebon ayahnya dimulai tanpa kehadirannya sebagai putra satu-satunya.

Gung Gede Lila : (berbicara dalam hati) sebenarnya aku ingin pulang dan memaafkan ayah.. Tapii.. Keluargaku belumlah memaafkanku.. Mereka hanya menyuruhku untuk pulang tanpa mengucapkan maaf padaku.. 

Sembari termangu diam, teringat kembali Gung Gde Lila ketika anaknya berumur tiga bulan dan harus dibuatkan sekedar upacara tanpa uang sepeserpun. Karena kemiskinan dan kekurangan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Namun hatinya pantang untuk meminta bantuan kepada keluarganya, malah keluarganya sering mengejek bila bertemu di muka jalan. Dan demikianlah hidupnya telah berlangsung dari pinjam sana-sini, dengan sedikit bantuan dari keluarga Sulastri. Waktu anaknya diupacarai pun telah terjadi kegoncangan jiwa sperti yang dialami sekarang. Ketika upacara selesai beberapa orang dari keluarga Sulastri tidak bersedia ikut makan paridan bebantennya, sebagai pertanda mereka mau merestui perkawinan mereka, walaupun orang tua Sulastri dan beberapa orang misannya bersikap biasa. Gung Gde Lila merasa tersinggung atas perlakuan itu, karena sebagai darah bangsawan seharusnya semua orang tanpa kecuali boleh memakan paridan itu, sebab itu dibuat untuk seorang anak bangsawan walaupun beribu sudra namun tetap berdarah bangsawan sebab ayahnya bangsawan.

Babak 10
Latar    : Ruang Keluarga Rumah Gung Gde Lila
Tokoh   : Gung Gde Lila
             Sulastri

Sedang Istrinya pun selalu ingin pulang ke Puri dan meminta maaf kepada keluarga Puri dan sebaliknya. Namun… Gung Gde Lila tetap pada pendiriannya.. Dan Sekarang pun istrinya minta diantar ke Puri..
Sulastri           : Mari kita pulang.. (sembari memohon)
Gung Gde Lila  : Pulang ke mana lagi Lastri? Kita kan sudah berada di rumah… (sembari bingung)
Sulastri           : Ke Puri..
Gung Gde Lila  : Aku bukan keluarga Puri lagi… (sembari duduk di atas kursi)
Sulastri      : Tapi beliau ayahmu sendiri Bli Gung.. Sebentar lagi akan dipelebonkan. Hampir sebagian besar penghuni Kota Denpasar ini akan melihat. Dan bahkan ku dengar  juga bahwa  upacara ini akan difilmkan oleh beberapa turis asing.. Apakah Bli Gung  tidak malu pada keluarga Puri sebagai putra terbesar dan yang sepentasnya bertanggung jawab terhadap jalannya upacara? (sembari memeluk Gung Gde Lila)
Gung Gde Lila : Aku bukan anaknya lagi Lastri!!  (sembari berdiri dan masuk ke kamar)
Sulastri          : (sembari bersimpuh dan menangis tersedu-sedu) Blii Guunggg jangan begitu Bli Gung Gde.. Jangan….

Matahari sudah condong ke arah barat. Sebentar lagi arakan wadah mayat ayahnya akan lewat pintu rumahnya. Dan sepanjang jalan dari Puri menuju ke kuburan akan penuh sesak oleh orang-orang yang akan menonton pembakaran..  Dengan tiba-tiba ia merasa seperti di buru oleh suara-suara sorak-sorai para pengusung bade yang gegap gempita. Gung Gde Lila merenung di beranda depan. Matanya kosong menatap langit, dan ketika bunyi kentongan dipukul di Bale Banjar, dadanya berdetak bahwa sebentar lagi anggota banjarnya akan ikut serta dalam upacara. Namun kenapa ia sendiri tidak?

Babak 11
Latar    : Ruang Keluarga Rumah Gung Gde Lila
Tokoh   : Gung Gde Lila
             Sulastri
     Anak Gung Gde Lila

Ketika kentongan dipukul untuk kedua kalinya, istrinya kembali memohon dengan mata basah dan suara yang serak..
Sulastri          : Bli Gung marilah kita pulang.. Kita malu pada tetangga..
Gung De Lila: Kalau kau mau pulang.. Pulanglah sendiri!!! (sembari membentak)
Sulastri          : Ya!! Saya akan ke Puri (sembari pergi menuju kori)

Dengan dada panas Gung Gde Lila memandang kepergian istrinya di balik kori, serta panggilan anaknya yang baru bisa mengucapkan kata “papa” tidak di balasnya. Ia hanya sanggup memejamkan matanya ketika arakan lewat di depan rumahnya serta suara para pengusung yang gegap gempita itu semakin riuh juga sampai akhirnya menghilang di kejauhan. Sesuatu telah menggetarkan jantungnya..

TAMAT


Ida Ayu Putu Novinasari

Rabu, 18 Juni 2014

Senja (Puisi)


Ilustrasi Senja

Senja menggeliat melukiskan saga di langit,
kuning, jingga, merah, dan ungu berbaur menjadi objek cantik
Sungguh menakjubkan lukisan di langit itu,
Andai di negaraku perbedaan warna itu menyatu indah,
tanpa pandang suku, ras, agama, status sosial ekonomi
Pasti keindahannya dapat membuat senja tidak enak diri.

Senja selalu membuatku kagum,
akan keragaman yang tercipta sempurna meskipun berbeda warna
Sekaligus ia membuatku sangat rindu,
akan Bhinneka Tunggal Ika yang serasa dikikis waktu
Tindih menindih,
gencet menggencet.

Senja melambungkan harapanku setinggi angkasa
akan terciptanya vasudewam kutum bakam
di tanahku yang tercinta,
Indonesia.

Ida Ayu Putu Novinasari~

Selasa, 07 Januari 2014

Ada Apa dengan Kaki Tanganku? (Puisi)


Ilustrasi Kaki dan Tangan

Hingga kini,
aku tak habis pikir..
Tiap kali aku menonton kotak hitam di pojok ruangan,
selalu terpampang wajah wakil-wakil rakyat
yang kebelinger lembaran-lembaran bernilai itu.
Entah apa yang ada di pikiran mereka,
katanya berintelektualitas,
katanya memperjuangkan nasib rakyat,
Namun nyatanya…
hak rakyat pun diperkosa tanpa pandang bulu..
Ada apa dengan kaki tanganku yang duduk di kursi langit sana?
sudah butakah hati mereka?
eling pak, bu..


Ida Ayu Putu Novinasari~

Rabu, 13 November 2013

Goresan Pena Terakhir Ayah (Cerpen)

Ilustrasi Goresan Pena
Sang surya telah berada di titik puncak langit. Menebarkan suhu yang tak sesejuk biasanya. Apalagi untuk para manusia yang tinggal di kota yang tidak pernah berhenti beraktivitas seperti Jakarta. Saat suasana terik yang enggan untuk bersahabat, Pak Ridho masih tetap berlalu lalang memanggul beberapa karung beras di punggungnya. Peluh yang bertetesan seperti sedang mandi itu tak dihiraukannya, meskipun dua buah kakinya mulai gemetaran karena belum memasukkan sebutir nasi pun ke dalam perutnya. Entah sudah berapa karung yang diangkatnya, tapi ia masih tetap bisa mengobarkan semangat pantang menyerah dalam dirinya mungkin karena ia teringat perkataan Anto, anak sulungnya kemarin pagi bahwa ia sampai kapan pun tak akan pernah mampu untuk menyekolahkan Anto hingga perguruan tinggi. Kata-kata yang dilontarkan Anto pun tak sewajarnya, sangat kasar dan penuh cacian.
“Bang Ridho, istirahat dulu Bang. Daritadi sepandang mata saya memandang, abang tidak henti-hentinya membawa karung beras di punggung abang. Jangan terlalu diporsir.” Kata Pak Ragil kepada Pak Ridho, ia adalah sahabat Pak Ridho sejak dulu di sekolah rakyat.
“Tidak apa, ini demi Anto putraku. Dia ingin bersekolah di tempat yang bagus, jadi aku harus bekerja lebih keras lagi,”
“Ya sudah bang, kalau begitu. Tapi jangan dipaksa bang, kalau capek istirahatlah.”
Tidak terasa hari sudah menunjukkan pukul 17.45, senja telah menampakkan dirinya, menghipnotis setiap mata dengan pencampuran warnanya yang indah. Dengan nafas yang tersengal-sengal dan peluh bercucuran membanjiri sekujur tubuh Pak Ridho pulang dengan membawa uang 45 ribu rupiah dan satu kotak martabak manis kesukaan anak-anaknya, termasuk Anto, berharap hati anaknya itu akan luluh dan tidak marah lagi.
Sesampainya di rumah, sebuah gubuk sederhana beralaskan tanah, Pak Ridho langsung memberikan martabak manis itu ke Anto, namun Anto seakan tidak sudi untuk mencicipinya. Pak Ridho hanya dapat mengelus dada, ia tidak sedikit pun kesal dengan perilaku anaknya itu. Karena martabak manis itu tidak mau dicicipi Anto, Pak Ridho pun memberikannya ke istri dan kedua adik Anto. Untunglah, tawa canda kedua anaknya yang lain mampu menghibur hatinya.
***
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali bahkan sebelum ayam jantan berkokok, Pak Ridho sudah berangkat kerja. Ia berjalan kaki menuju pasar. Seperti biasa, ia memang rutin bekerja menjadi kuli di pasar, kadang kalau ada proyek pembuatan rumah, ia biasa menjadi kuli bangunan. Tapi entah mengapa, hari itu kondisi pasar sedang sepi, hanya terlihat beberapa orang pembeli yang lalu lalang, mungkin karena harga-harga di pasar pada meroket tajam. Bukan salah pedagang sebenarnya karena kendali bukan di tangan mereka.
Pak Ridho hanya bisa terduduk lemas dengan tatapan menerawang. Dalam otaknya kebingungan menyelimuti karena kalau kondisi pasar seperti ini terus bagaimana nasib keluarganya. Saat dirinya sedang asik bergelut dengan kebingungannya, Pak Abil mengagetkannya. Pak Abil merupakan teman semasa dulu di bangku sekolah, tapi ia jauh lebih sukses dari Pak Ridho karena ia bekerja di Malaysia sebagai TKI. Pak Abil mengajak Pak Ridho untuk menjadi TKI dengan iming-iming penghasilan yang besar dan lingkungan kerja yang sangat nyaman.
Awalnya Pak Ridho terasa berat untuk meninggalkan keluarganya, namun setelah ia berpikir cukup lama, ia pun bersedia. Setelah mereka berbincang cukup lama, mereka melangkahkan kaki menuju tempat penyalur TKI yang sebelumnya sudah memberangkatkan Pak Abil dengan selamat sentosa.
Sesampainya disebuah rumah beralaskan keramik berwarna merah, mereka langsung menuju ke sebuah ruangan dengan minim penerangan, bahkan udara pun seakan sulit untuk berlalu lalang. Di sana Pak Ridho berjumpa dan berbicara membuat perjanjian hitam di atas putih dengan bos agen penyalur TKI itu.
***
Tidak terasa sudah seminggu sejak penandatangan surat perjanjian kerja itu disepakati, kini tiba saatnya Pak Ridho berangkat menuju Hongkong. Istri dan kedua anaknya meneteskan air mata berat melepaskan keberangkatan sosok yang mereka cintai. Namun anehnya, Anto malah enggan mengantarkan bapaknya meskipun hanya di depan rumah. Meskipun demikian, Pak Ridho tidak berkecil hati, ia tetap semangat untuk mendapatkan uang yang banyak supaya bisa memberikan nafkah finansial kepada istri dan anak-anaknya.
Setelah perjalanan yang melelahkan, Pak Ridho dan beberapa TKI lainnya akhirnya sampai di Bandara. Mereka diajak ke sebuah rumah sederhana dan di sana mereka diberikan pengarahan oleh Suri, penanggung jawab agen penyalur TKI. Mereka juga diajarkan sedikit bahasa Cina dialek Hokkian. Usai diberikan pengarahan dan pengajaran, Pak Ridho dan beberapa TKI lainnya langsung didistribusikan ke rumah-rumah orang-orang Hongkong untuk menjadi pembantu. Pak Ridho sendiri bekerja sebagai tukang kebun dan pembantu di sebuah rumah besar dengan majikan yang kaya raya. Namun kehidupan Pak Ridho tidak berjalan mulus.
Majikan Pak Ridho yang bernama Tan Tjoen An meskipun kaya raya, kelakuannya sangat tidak manusiawi, bahkan istri dan anak semata wayangnya juga demikian. Bayangkan saja, Pak Ridho hanya diberikan makan 1x sehari itupun tanpa lauk, hanya kuah sop. Tidur pun, Pak Ridho tidak di kamar dengan alas kasur yang semestinya, ia tidur di lantai dapur. Gaji juga tidak seberapa, hanya 150ribu apabila dirupiahkan. Kekejaman dan penganiayaan sering diterima Pak Ridho. Pak Ridho yang sangat sabar hanya dapat menahan rasa sakit yang diterimanya, baik fifik maupun mental.
***
Sampai suatu ketika, saat Pak Ridho menunaikan ibadahnya yaitu sholat. Ia dilarang, kitab sucinya diambil secara paksa dan diinjak-injak. Pak Ridho yang tidak terima akan perlakuan keji majikannya itu lantas mengambil sikap. Ia merasa terhina akibat perlakuan kasar sang majikan, seakan-akan harga dirinya diinjak. Ketika itu terpasang sebuah samurai milik majikannya di dinding berwarna putih menyala. Pak Ridho lantas mengambil pedang Tiongkok itu dan langsung menebas leher sang majikan hingga berlumuran darah.
Setelah kejadian yang berlangsung singkat tersebut, Pak Ridho tersadar akan perbuatannya yang sangat keji dengan membunuh majikannya. Pandangan matanya terus tertuju pada tubuh Tuan Tan yang telah terbujur kaku dan bersimbah darah. Rasa bersalah dan berdosa mengahantui benaknya, sesaat ia teringat akan keluarganya di kampong. Seketika ia mengambil secarik kertas yang tergeletak di atas meja, ia pun kemudian menulis surat permintaan maaf kepada keluarga Tuan Tan dan keluarganya di kampong. “Maafkan saya atas perbuatan keji yang telah saya lakukan ini. Saya terpaksa melakukannya karena untuk membela harga diri dan keyakinan saya….
Anto anakku, maafkan ayah… Ayah tidak bisa membahagiakan dirimu, ayah ingin kau menjadi anak yang berguna. Jaga keluargamu, terutama Ibu dan adik-adikmu..
Selamat tinggal
Ayahmu-Ridho”
Setelah menulis surat tersebut, Pak Ridho kembali mengambil pedang yang telah ia gunakan untuk membunuh Tuan Tan. Seketika ia menghujamkan pedang itu ke dirinya sendiri sebagai rasa bersalah dan berdosanya.



SEKIAN

Rabu, 14 Agustus 2013

Ditikam Saudara Sendiri (Cerpen)

Ilustrasi Ditikam
 SETIAP aku melihat kotak hitam di pojok ruangan rumahku yang menampilkan gambar serta tangisan para TKI di negeri orang, aku selalu teringat akan kejadian yang membuat batinku berkecamuk. Kejadian yang tidak akan pernah aku lupakan seumur hidupku. Kejadian yang menyadarkanku bahwa ego hanya akan menjatuhkanmu dengan kasar ke jurang kesengsaraan. Kejadian yang seolah memukuliku hingga aku berjanji tak akan mengulanginya lagi. Aku masih ingat dengan jelas bagaimana cerita, alur, setting, tokoh-tokoh yang terlibat di dalam kejadian itu. Kejadian yang terjadi 3 tahun yang lalu itu saat usiaku 17 tahun  rupanya masih meninggalkan jejak yang cukup dalam pada batinku.
“Nek kowe ra gelem bayar, kowe bakal tak lebokke kantor polisi!”, ucap Pak Hendry dengan volume tinggi, seorang rentenir yang tidak punya hati sama sekali. Bagaimana tidak, keluargaku hanya meminjam 2 juta rupiah untuk biaya adik-adikku opname di rumah sakit sebulan yang lalu, tapi kini sudah beranak menjadi 4 juta rupiah.
“Tapi Pak, maaf kami belum ada uang pak. Untuk makan saja kami susah, bagaimana bisa kami membayar utang kami berikut bunga yang mencekik itu. Kami minta sedikit waktu lagi, pasti kami bayar”. Ayahku memohon sambil menundukkan kepalanya di kaki rentenir tak punya hati itu.
“Baiklah. Tapi aku hanya memberikan kalian waktu selama 2 minggu. Jika kalian tidak mampu melunasi utang-utang kalian, polisi akan siap membawa sampeyan ke jeruji besi. Ingat HANYA 2 MINGGU!”. Pak Hendry pun melangkahkan kakinya pergi meninggalkan gubuk kami tanpa meminum kopi hitam hangat buatan ibuku. Seketika itu juga wanita yang telah melahirkanku dengan susah payah menangis. Mungkin karena terlalu banyak beban dalam hatinya.
Dari balik pintu kamarku ini, aku melihat dengan jelas bagaimana gurat kebingungan yang luar biasa terpancar dari wajah kedua orang tuaku. Dari balik pintu kamarku ini pula, aku hanya bisa terdiam sambil memikirkan bagaimana cara membayar utang-utang kedua orangtuaku. Aku sendiri belum bekerja, masih tercatat sebagai salah satu siswi di sebuah sekolah rakyat, yang tidak perlu mengeluarkan rupiah sepeser pun. Kebingunganku membuatku ingin mencari udara segar di luar rumah, siapa tahu ada solusi bagi permasalahan ini pikirku. Apalagi mendadak suasana di dalam rumah membuatkan panas.
Saat aku berjalan-jalan di pinggiran sawah dekat rumahku, aku bertemu dengan Pak Kasim dan Bu Ainun. Mereka adalah agen penyalur TKW yang sangat terkenal di desaku, dan mereka adalah teman baik kedua orangtuaku. Aku diajak berbincang dengan mereka, dan aku pun menceritakan permasalah yang sedang menimpa keluargaku. Mereka menawariku bekerja di Hongkong, dengan upah yang sangat menggiurkan. Bagaimana tidak, kata mereka upah bekerja sebulan di Hongkong kalau dirupiahkan sekitar 15 juta. Tidak hanya itu, mereka juga mau membayar lunas utang-utang orangtuaku jika aku mau ke Hongkong bersama mereka besok. Aku yang sangat kalut, tidak tahu harus mencari uang ke mana untuk menyelamatkan kedua orangtuaku, langsung saja mengiyakan dan menandatangi perjanjian bermaterai.
***
MALAM harinya, seperti biasa kami sekeluarga berkumpul untuk menyantap hidangan seadanya yang dengan tulus dibuatkan oleh ibuku. Menu kami malam ini adalah singkong. Maklum saja, penghasilan ayah yang seorang petani menggarap sawah milik tetangga hanya cukup untuk membeli singkong ini. Tidak seperti biasanya, ayah dan ibuku hanya diam sambil menyantap singkong rebus ini, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Aku yang tidak tenang melihat prilaku kedua orangtuaku ini, membuka kekakuan ini dengan sebuah pertanyaan. “Pak, Bu.. Tadi aku bertemu dengan Pakde Kasim dan Bude Ainun.”
“Lantas?” ucap ibuku pelan. “Mereka menawariku bekerja menjadi TKW di Hongkong, dan akan melunasi utang-utang kita. Ini uangnya.” Kataku sambil memperlihatkan uang 4 juta rupiah itu.
“Bapak tidak setuju kamu pergi, Ratih. Bapak tidak mau membebanimu. Pokoknya besok kamu kembalikan uang itu ke mereka. Biar Bapak yang mencari uang.”
“Tapi Pak???”, bantahku.
“Sudahlah, turuti perintah Bapakmu ini. Sana lekas tidur!”, ucap bapak dengan nada tinggi. Aku masuk ke kamar, tapi aku tidak tidur. Aku mengepak baju-bajuku. Aku ingin pergi ke Hongkong untuk membahagiakan keluargaku. Aku menulis surat yang isinya permohonan maafku karena aku tidak menuruti perintah bapakku. Dalam amplop itu, aku juga memasukkan uang 4 juta rupiah untuk melunasi utang ke rentenir itu. Setelah itu aku merebahkan tubuhku di kasur, berharap mimpiku kali ini akan lebih indah dan esok menjadi awal kesuksesanku.
***
SEBELUM orangtuaku terbangun dari tidurnya, kira-kira pukul 4 pagi, aku keluar pergi ke rumah Pakde Kasim dan Bude Ainun. Setibanya di sana, ternyata tak hanya aku yang bercita-cita sukses di Hongkong, ada Lastri, Surti, dan Tini. Bedanya keluarga mereka mengizinkan mereka menjadi TKW, sedangkan aku tidak. 
Setelah diberikan pengarahan sekitar 25 menit oleh Pakde Kasim, kami pun berangkat menuju Hongkong. Rencananya, kami akan dijadikan pembantu rumah tangga di sana. Semula aku tak sedikitpun menaruh curiga, karena Pakde Kasim dan Bude Ainun sangat baik padaku. Selama perjalanan, mereka mengajari kami sedikit bahasa Cina dialek Hokkian dan memberi kami kamus bahasa itu. Setibanya di Hongkong perlakuan mereka masih tetap sama bahkan cenderung memanjakan kami. Kami diajak makan ke sebuah restoran ternama, berbelanja beberapa pakaian dan kosmetik mahal. Kami tidak langsung disuruh bekerja, sudah 3 hari kami di Hongkong, hanya kegiatan-kegiatan itu saja yang kami lakukan.
Sampai pada akhirnya, aku, Lastri, Surti, dan Tini diajak Pakde Kasim dan Bude Ainun menemui seseorang bernama Lee, pria berusia sekitar 40 tahun dengan perawakan yang gemuk dan putih. Saat berkenalan dengannya pertama kali, tidak ada hal buruk, ia sangat sopan. Pakde dan Bude pun berbincang dengan Lee, membicarakan sesuatu yang aku tidak mengerti karena terbatasnya kosakata bahasa Cina dialek Hokkien yang aku kuasai. Dari raut mereka bertiga sepertinya mereka sangat senang, terlihat dari tawa yang mengemuka di raut wajah mereka. Usai berbincang, Pakde Kasim, Bude Ainun, dan Lee berjabat tangan. Entah apa maksud jabatan tangan itu. Tiba-tiba saja Pakde dan Bude berbicara kepada aku, Lastri, Surti, dan Tini. Mereka menyuruh kami untuk ikut bersama Lee, pria yang baru 30 menit aku mengenalnya. Semula kami menolak, tapi Pakde dan Bude membujuk kami dengan rayuan-rayuan maut. Mereka bilang Lee adalah majikan kami. Kami setuju dan ikut dengan Lee.
Namun alangkah tragisnya nasib kami, aku, Lastri, Surti, dan Tini malah diajak ke  salah satu tempat prostitusi terbesar di Hongkong bersama Lee. Parahnya lagi, kami ternyata dijual oleh Pakde Kasim dan Bude Ainun. Tega sekali Pakde Kasim dan Bude Ainun pikirku. Orang yang aku kira baik ternyata berhati iblis. Aku seperti ditikam saudara sendiri, sama-sama orang Indonesia tapi kejam. Pakde Kasim dan Bude Ainun yang awalnya sangat baik dan seolah-olah ingin membantu, ternyata mereka meludahi mukaku. Di sisi lain, aku sangat menyesal telah tidak mengindahkan perintah kedua orangtuaku yang melarangku untuk menjadi TKW.  Di tempat prostitusi itu, kami gadis-gadis lugu dari desa dijadikan budak pemuas nafsu laki-laki hidung belang di Hongkong, kami tidak boleh menolak 1 ajakan berkencan dengan lelaki manapun. Aku pernah menolak berhubungan intim dengan salah seorang lelaki Hongkong, dan aku langsung dihajar oleh anak-anak buah Lee. Tubuhku penuh lebam sangat sakit, namun tidak sesakit hatiku karena aku dijual oleh orang yang aku kira berhati malaikat. Entah sudah berapa lelaki yang meniduri ranjangku, meskipun tidak suka, aku harus mau menuruti nafsu-nafsu mereka.
Sampai akhirnya di suatu malam, tepat hari ke-21 aku di tempat prostitusi ini aku berhasil kabur, karena aku sudah tidak kuat lagi melayani nafsu-nafsu bejat itu. Sore harinya, aku membeli obat tidur di apotek dekat tempat prostitusi itu. Aku buatkan Lee dan beberapa anak buahnya jus pisang kesukaan mereka, dan saat itulah aku masukkan obat tidur itu. Saat mereka tertidur lelap, aku mengemasi barang-barangku. Aku mengajak Lastri, Surti, dan Tini, dan mereka bersedia. Kami bergegas mencari taksi dan menuju Bandara. Dengan uang seadanya, kami membeli tiket penerbangan menuju Indonesia. Setibanya di Indonesia, kami langsung menuju desa yang sangat kami cintai. Aku mencari kedua orangtuaku, dan langsung meminta maaf kepada mereka, menyesal karena aku tidak mengindahkan larangan mereka. Aku juga melaporkan Pakde Kasim dan Bude Ainun ke polisi atas tindakan memperdagangkan manusia, dan mereka dijebloskan ke jeruji besi yang dingin.

Selasa, 12 Maret 2013

Permohonan (Puisi)


1 kali
2 kali
3 kali
4 kali
5 kali
Cukup sudah!
Jangan lagi kau tambah
deretan luka dihatiku.
Jangan lagi kau percikan cuka
di atas luka mengangaku.
Aku ingin kau rawat diri ini.
Bukan malah kau ludahi!
Agar tak lagi penuh lebam.
Agar tak lagi berlumuran darah segar.
Agar tak lagi air sungai membanjiri Jakarta!
Maukah kau berjanji?
Tak akan lagi beradu kasih
dengan pelacur manapun.
Sekalipun ia rela tubuhnya
Kau cicipi tanpa perlu kau lunasi.

Senin, 18 Februari 2013

Rindu Akan Rasa Ikan Penggoyang Lidah (Puisi)

Ilustrasi Ikan


Satu-satunya ikan yang aku punya.
Telah diamah habis olehnya.
Tak ada sisanya.
Bahkan tumpukan tulang sedikit pun.
Aku lapar!
Rindu akan rasa ikan penggoyang lidah.
Tapi ke mana harus aku mencari.
Mengais tong sampahkah?
Atau
Pergi ke rumah saudagar kaya untuk menjadi pengemis?
Hah..
Entahlah.
Aku rasa tak mungkin.
Mana ada harimau
yang mau berbagi hidangannya
 untuk kucing kampung sepertiku.

-DT