Bung.. Bung.. Lihatlah..
Bung.. Bung...
Lihatlah negeri ini
Semakin banyak luka di sekujur tubuhnya,
Warnanya merah, dan banyak memar
Bung, pasti bertanya
Siapa pelakunya?
Siapa yang tega melukainya hingga seperti ini?
Pelakunya tak lain tak bukan
Ialah orang Indonesia, Bung
Orang Indonesia yang mengaku berintelektualitas,
Orang Indonesia yang mengaku pelayan rakyat,
tapi memperkosa kekayaan negeri ini
Bung.. Bung..
Lihatlah negeri ini
Hampir semua kekayaan dan hasil alamnya
dilahap oleh orang-orang asing
Padahal, dulu Bung dan lainnya
Susah payah mengusir mereka,
Sekarang malah dipersilahkan dan dibiarkan
Bung.. Bung..
Lihatlah negeri ini
Kearifan lokal, budaya, adat-istiadatnya
Perlahan mulai terkikis
Orang Indonesia hanya bisa menonton,
mempersilakan, bahkan menukarnya dengan lembaran bernilai
Bung.. Bung..
Lihatlah negeri ini
Lihatlah!
Banyak yang mengaku berbangsa Indonesia,
berjiwa nasionalis,
tapi ternyata jiwanya kapitalis
Denpasar 2016
I.A.Pt.Novinasari
Tampilkan postingan dengan label Sastra. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sastra. Tampilkan semua postingan
Kamis, 15 September 2016
Jumat, 27 November 2015
Bersama Hujan
Entah kenapa, aku selalu nyaman bersama hujan. Hujan yang rintiknya datang tiba-tiba. Bersamanya, semua kegundahan bisa tersampaikan. Bersamanya, semua pertanyaan seolah mendapat jawaban. Bersamanya, senyum dan tawa selalu hadir. Entah kenapa, aku selalu nyaman bersamanya, bersama hujan yang rintiknya datang tiba-tiba.
Aku selalu bertanya, hingga kini. Perasaan apa ini? Kenyamanan apa ini? Mengapa rasanya begitu melambungkanku ke atas langit? Kepergiannya pun menimbulkan rasa yang aku pun sendiri tak tahu itu apa. Perasaan apa ini? Kesedihan apa ini? Mengapa rasanya begitu menjatuhkanku ke dasar bumi yang paling dalam?
Ada yang tahu apa itu?
Disebut apakah itu?
Aku selalu bertanya, hingga kini. Perasaan apa ini? Kenyamanan apa ini? Mengapa rasanya begitu melambungkanku ke atas langit? Kepergiannya pun menimbulkan rasa yang aku pun sendiri tak tahu itu apa. Perasaan apa ini? Kesedihan apa ini? Mengapa rasanya begitu menjatuhkanku ke dasar bumi yang paling dalam?
Ada yang tahu apa itu?
Disebut apakah itu?
Kamis, 19 Juni 2014
Naskah Drama “Ketika Kentongan Dipukul di Bale Banjar”
(Sebuah Adaptasi dari Cerpen Karya Nyoman Rasta Sindhu)
Babak 1
Latar : Halaman Rumah
Gung Gde Lila (Pagi Hari)
Tokoh : Made Otar
Seorang Lelaki Tua
Suatu hari yang terik di kota Denpasar, datanglah
seorang lelaki paruh baya menuju sebuah rumah sembari terpogoh-pogoh…
Made Otar : Om Swastyastu
(sembari mengetuk pintu gerbang khas bali)
Lelaki Tua :
Om Swastyastu, wenten napi nggih? (sembari membukakan pintu)
Made Otar :
Apakah Tu Nak Agung ada? (sembari sedikit menunduk)
Lelaki Tua :
Wenten pak, ada perlu apa nggih?
Made Otar : Niki pak, saya Made
Otar… Saya diutus oleh keluarga di Puri
untuk mengajak Tu Nak Agung pulang ke Puri...
Lelaki Tua : Oh nggih… Sebentar saya panggilkan… silahkan duduk di bale
bengong di sana.. (sembari menunjuk arah bale bengong)
untuk mengajak Tu Nak Agung pulang ke Puri...
Lelaki Tua : Oh nggih… Sebentar saya panggilkan… silahkan duduk di bale
bengong di sana.. (sembari menunjuk arah bale bengong)
Seketika Seorang
Lelaki Tua masuk ke dalam rumah menemui Gung Gde Lila….
Babak 2
Latar : Ruang Tamu
Gung Gde Lila (Pagi Hari)
Tokoh : Gung Gde Lila
Seorang Lelaki Tua
Lelaki Tua : Permisi Tuan (sembari memberi
penghormatan. Maaf menggangu, ada tamu yang ingin mencari
Tuan…. Gung Gde Lila:
Siapa yang mencari saya di pagi-pagi begini? Menggangu waktu sarapanku saja… Huft (sembari
memegang Koran dan menggerutu)
Lelaki Tua : Begini Tuan, katanya dia merupakan utusan
puri… Hmmmm (sembari sedikit mengingat sesuatu) kalau tidak salah namanya Made Otar….
Gung Gde Lila : Made Otar???! Ada apa gerangan ia datang kemari??!! (Sembari terkejut dan sedikit bingung) Suruh dia masuk… (sembari menggerakkan
tangan)
Lelaki Tua : Baik Tuan…. (sembari berjalan mundur
menuju pintu)
Babak 3
Latar : Halaman Rumah
Gung Gde Lila (Pagi Hari)
Tokoh : Made Otar
Seorang Lelaki Tua
Lelaki Tua : Bapak silahkan masuk ke dalam, Tuan Gung
De Lila sudah menunggu di dalam. Mari masuk…
Made Otar : Baiklah… (sembari mengikuti
Seorang Lelaki Tua tersebut masuk ke dalam rumah)
Babak 4
Latar : Ruang Tamu
Gung Gde Lila (Pagi Hari)
Tokoh : Gung Gde Lila
Made Otar
Seorang Lelaki Tua
Made Otar
Seorang Lelaki Tua
Lelaki Tua :
Ini tuan tamunya.. (sembari menunjuk Made Otar)
Gung
Gde Lila : Oh ya… Silahkan duduk
Paman Otar… (sembari menyilahkan duduk) pak, tolong
buatkan minuman, kemudian urus babi-babi yang merusak kebun pisang saya…
Lelaki Tua : Inggih Tuan….
(sembari menyembah)
Made
Otar : (sembari duduk
di lantai)
Gung
Gde Lila : Bagaimana Paman Otar
kabarnya? Gerangan apa yang membawa Paman berkunjung ke rumah saya?
Made
Otar : Kabar saya baik…
Namunnn… Hmmm… (agak sedikit bingung) Maaf sebelumnya jikalau saya sedikit lancang dalam berkata.. Taapiii Pulanglah ke Puri Tu Nak
Agung… (sembari menatap penuh arti kepada Gung Gde Lila kemudian menunduk)
Lelaki Tua : (sembari menaruh minuman
lalu pergi meninggalkan ruangan)
Made
Otar : Bagaimanapun juga
beliau adalah Ajin Tu Nak Agung pula Lupakanlah segala yang telah lalu…. (sedikit tersendat)
Gung
Gde Lila : (sembari acuh tak
acuh dan terpaku melihat ke luar jendela rumah)
Made
Otar : Tu Nak Agung…. Tiga
hari lagi beliau akan dipelebonkan… Dan tahukah Tu Nak Agung…. (sembari
menghela nafas) Bahwa ketika beliau menghembuskan nafas terakhir.. Beliau terus menerus memanggil nama Tu Nak Agung… Sungguh itu sungguh! (sembari meyakinkan
Tu Nak Agung) Saya sudah cukup lama memarekan di Puri Tu. Saya tahu sifat-sifat
beliau. Beliau adalah orang yang keras,namun sesungghnya beliau cepat
memaafkan orang.
Gung
Gde Lila: (sembari terdiam,
acuh tak acuh dan sembari mencabut cambangnya yang tumbuh tak teratur)
Made
Otar : (sembari
memperbaiki ikatan antong anduknya yang hampir lepas) Dan beliau menyerahkan cincin bermata bangsing itu kepada saya, dan beliau minta agar cincin ini saya
serahkan kepada Tu.. Beliau minta menghendaki agar Tu Nak Agung memakai cincin
ini sebagai pertanda bahwa beliau sesungguhnya telah memaafkan Tu nak Agung
(sembari menunjukkan cincin kepada Tu Nak Agung)
Gung
Gde Lila: (tetap diam membisu
dan acuh tak acuh)
Made
Otar : (Wah Ternyata
Gung Gde Lila masih kekeh terhadap pendiriannya ya-berkata dalam hati) Ya
sudah Tu Nak Agung kalau begitu saya pamit pulang… Permisi (sembari mundur menuju pintu)
Gung Gde Lila : (tetap diam membisu dan acuh tak acuh)
Gung Gde Lila : (tetap diam membisu dan acuh tak acuh)
Kemudian Gung Lila duduk merenung, ia merasa
benar-benar sendiri. Tidak ada orang lain yang mendampinginya sejak tiga hari
lalu, ketika Made Otar datang ke rumahnya itu. Dan ia merasa sendiri lagi, ketika ia sadar bahkan hari ini adalah hari pelebon ayahnya, seperti
yang telah disampaikan oleh Made Otar. Istrinya masih menangis dalam kamar.
Sejak Made Otar datang, istrinya selalu menyarankan agar ia memaafkan keluarga,
terutama ayahnya. Istrinya mendesaknya agar ia pulang waktu pelebon ayahnya,
akan tetapi Gung Lila masih tetap pada pendirinanya. Malah ia ingat kejadian
tiga tahun lalu, ketika ia melarikan Sulastri, dan bahkan tidak memperoleh
restu lagi dari orang tua dan keluarganya sendiri……
Babak 5
Latar : Bale
Pamancingah Puri (Malam Hari)
Tokoh : Anak Agung Gde
(Ayah Gung Gde Lila)
Gung Gde Lila
Anak
Agung Gde : Kalau kau memilih gadis,
pilihlah gadis yang baik… Jangan pilih gadis macam begitu (sembari memegang tongkat)
Gung Gde
Lila : Hah?! Macam apa pula
maksud ayahanda? (sembari bingung)
Anak
Agung Gde : Ya macam begitu, seperti
istrimu itu! (sembari membentak keras dan menmpar pipi Gung Gde Lila)
Gung Gde
Lila : (sembari menangkis dan
menangis) Bilang terus terang ayah.. Ayah menghendaki seorang menantu dari
Kasta Bangsawan juga kan??!! Bilang terus terang ayah…
Anak
Agung Gde : (sembari terdiam sebentar
kemudian menampakkan wajah emosi dengan
nafas yang turun-naik dan memegang tongkat) Kalau kau mau kawin, kawinlah..
Tapi nama ayah kau sebut-sebut dalam perkawinanmu itu.. Dan apa bila kau telah
kawin nanti, sejak saat itulah kau tak kuanggap lagi sebagai anakku dan
keturunanmu sebagai warihku lagi!! Mengerti!!?? Dan ingat jangan
menginjak lagi Puri ini!!!
Gung Gde
Lila : (sembari tersentak kaget
dan melangkah menuju kori dan berteriak) Ya! saya mengerti, dan saya
akan kawin… Saya sudah siap memikul akibatnya.. Saya tidak akan menginjak lagi
Puri ini!!
Keputusan telah diambil… Ia melarikan Sulastri, namun ia ingat kini bagaimana perkawinan itu jadi ricuh pada mulanya. Ketika itu desas-desus tersebar bahwa Gung Lila akan melarikan Sulastri, keluarga Sulastri sudah bersiap-siap untuk mempertahankan Sulastri, dan mereka juga sudah mendengar bahwa keluarga besar Puri tidak merestui perkawinan itu, serta sikap keluarga besar Puri yang kolot membuat keluarga Sulastri tersinggung..
Babak 6
Latar : Jalan Desa
(Siang Hari)
Tokoh : Nyoman Partha
Nengah Wirya
Nengah Wirya : Man be tawang Gung Lila
melaibin Sulastri?
Nyoman Partha:
Saje to Ngah??!! Nyen wak orin??? (sembari terkejut)
Nengah Wirya : Ae, seken man.. Rage man berita
uli Putu Kapat, Parekan Purine…
Nyoman Partha :
Beh gawat to.. Pedalem keluargane Gurun Gede…
Nengah Wirya :
Ae to be, pedalem ie.. mih lanjut ke carik.. Megae malu?
Nyoman Partha :
Mih.. Ayo nae…
Babak 7
Latar : Ruang Tamu
Rumah Lastri (Sore Hari)
Tokoh : Gurun Gede
(Ayah Lastri)
Sulastri
Gurun Gede:
Lastri, mulai hari ini kau tidak boleh kawin dengan Gung Lila (sembari
duduk memegang pundak Lastri).. kau urungkan saja niat untuk kawin dengan Gung
Gde Lila, kau kan sudah mendengar keputusan keluarganya bukan? Semua itu
merendahkan derajat keluarga kita. Kita punya derajat, walau bukan derajat
bangsawan.. Kita punya derajat, yaitu derajat bangsawan (sembari sedikit geram
dan kesal)
duduk memegang pundak Lastri).. kau urungkan saja niat untuk kawin dengan Gung
Gde Lila, kau kan sudah mendengar keputusan keluarganya bukan? Semua itu
merendahkan derajat keluarga kita. Kita punya derajat, walau bukan derajat
bangsawan.. Kita punya derajat, yaitu derajat bangsawan (sembari sedikit geram
dan kesal)
Sulastri : Tapi keputusan itu
bukan keputusan Gung Gde Lila ayah… (sembari mengiba)
Gurun Gede : Ya.. Ya.. Ya… ayah tahu, tapi
akan kau bawa ke mana wajahmu apabila kau kawin dengannya?? Bila ternyata tak
ada seorangpun keluarganya yang bersedia menjenguk dan menyelesaikan
perkawinanmu? (sembari berdiri dan mengacungkan jari)
Sulastri : Tapi ayah??? (sembari
berusaha mengiba)
Gurun Gede : Ssstt.. Sudahlah anakku…
Dengarkanlah perkataanku…
Sulastri : (sembari menangis
pergi meninggalkan ruangan)
Setelah perdebatan itu Sulastri memutuskan untuk menjumpai Gung Gde Lila di sekolahnya dan melarikan diri waktu itu juga..
Babak 8
Latar : Koridor
Sekolah dan Ruang Kelas (Pagi dan Siang Hari)
Tokoh : Gung Gde Lila
Sulastri
Sulastri : Bli Gung… Maukah kau
memperjuangkan cinta kita?? (sembari memegang tangan Gung Gde Lila)
Gung Gde Lila: Tentu saja Lastri mengapa? Apakah
kau meragukanku? Aku sudah menentang keluargaku, terutama ayahku, bukankah kau
tahu itu Lastri?
Sulastri : Bukan begitu Bli Gung.. Aku sangat percaya
akan ketulusan cintamu.. Hmm Namunnn… Bagaimana kita kan melanjutkan cinta
kita ke jenjang perkawinan jika tembok restu menghadang??
Gung Gde Lila : Lastri sayang… (sembari memegang kepala dan memeluk Lastri) Tenang saja.. Kita pasti akan kawin.. Aku sudah merencanakan pelarian
kita, kita akan kawin lari. Sahabatku Made Sukarya sudah menyiapkan semuanya,
mobil, rumahnya sebagai tempat persembunyian kita untuk sementara waktu sembari
menunggu penyelesaian dari keluarga kita… Apakah kau mau Lastri?
Sulastri : Iya Bli Gung.. Aku kan ikut ke manapun Bli
Gung pergi… Aku cinta padamu Bli Gung (sembari tersenyum)
Gung Gde Lila : Aku juga cinta padamu Lastri, aku ingin bahagia bersamamu… (sembari tersenyum)
Kedua belah pihak keluarga heboh. Pada awalnya masing masing bersikeras, tidak mau menyelesaikan perkawinan itu antar keluarga. Namun, akhirnya ketika keluarga Sulastri menerima ancaman dari Sulastri, bahwa apabila ia didiamkan begitu saja, maka ia akan bunuh diri. Ayahnya yang merasa iba pada anak satu-satunya itu datang juga ke tempat persembunyiannya itu dan akhirnya merestui hubungan perkawinan mereka. Perkawinan yang berlangsung tanpa orangpun yang hadir dari pihak keluarga Puri dan diwakilkan oleh sahabatnya Gung Gde Lila yaitu Made Sukarya..
Babak 9
Latar : Ruang Tamu
dan Ruang Keluarga Rumah Gung Gde Lila (Pagi Hari)
Tokoh : Gung Gde Lila
Sulastri
Made Otar
Istrinya masih menangis di dalam kamar. Ketika itu datang
Made Otar untuk menyampaikan pesan dari keluarga Puri…
Made Otar : Tu Nak Agung pulanglah ke
Puri Tu Nak Agung… Ajin Tu Nak Agung akan di Pelebon sore nanti.. Maafkalah
Ajin Tu Nak Agung.. Janganlah menaruh dendam pada orang tua sendiri (sembari menatap penuh arti pada Gung Gde Lila)
Gung Gde Lila: (sembari menatap dengan sinis)
Kenapa tidak mereka saja yang datang kemari??!!! Kenapa harus melalui engkau
Paman Otar!!?? Dulu ketika saya kawin.. Mereka bersikeras untuk tidak datang,
dan membuangku dari Puri.. Maka sekarangpun saya tidak akan mau pulang ke Puri
lagi. Sampaikan kata-kata itu! (sembari berdiri dengan geram dan kesal)
Made Otar : (sembari tertunduk dan
mengiba) Ttttaaa… ppppiii… Ggguuunggg Ggddeeee… Ini adalah kesempatan terakhir
bagi Gung Gde untuk menghormati beliau..
Gung Gde Lila: Kan sudah ku bilang Paman Otar..
Sekali tidak mau ya tidak kan mau!! Sebagai seorang Ksatrya pantang
bagiku untuk menarik ucapanku.. Camkan itu paman!! (sembari berdiri dengan geram dan mengacungkan jari ke atas)
Made Otar : Maaf Gung Gde.. Saya hanya
menyampaikan pesan dari keluarga Puri saja… Kalau begitu keputusan Gung Gde
saya akan sampaikan kepada keluarga Puri… Saya permisi dulu kembali ke Puri..
Kembali Gung Gde Lila termangu diam seperti itu. Kini
terbayang di hadapannya, bahwa sebentar lagi apabila matahari sudah condong ke
ufuk barat, upacara pelebon ayahnya dimulai tanpa kehadirannya sebagai putra
satu-satunya.
Gung Gede Lila :
(berbicara dalam hati) sebenarnya aku ingin pulang dan memaafkan ayah..
Tapii.. Keluargaku belumlah memaafkanku.. Mereka hanya menyuruhku untuk pulang
tanpa mengucapkan maaf padaku..
Sembari termangu diam, teringat kembali Gung Gde Lila ketika anaknya berumur tiga bulan dan harus dibuatkan sekedar upacara tanpa uang sepeserpun. Karena kemiskinan dan kekurangan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Namun hatinya pantang untuk meminta bantuan kepada keluarganya, malah keluarganya sering mengejek bila bertemu di muka jalan. Dan demikianlah hidupnya telah berlangsung dari pinjam sana-sini, dengan sedikit bantuan dari keluarga Sulastri. Waktu anaknya diupacarai pun telah terjadi kegoncangan jiwa sperti yang dialami sekarang. Ketika upacara selesai beberapa orang dari keluarga Sulastri tidak bersedia ikut makan paridan bebantennya, sebagai pertanda mereka mau merestui perkawinan mereka, walaupun orang tua Sulastri dan beberapa orang misannya bersikap biasa. Gung Gde Lila merasa tersinggung atas perlakuan itu, karena sebagai darah bangsawan seharusnya semua orang tanpa kecuali boleh memakan paridan itu, sebab itu dibuat untuk seorang anak bangsawan walaupun beribu sudra namun tetap berdarah bangsawan sebab ayahnya bangsawan.
Babak 10
Latar : Ruang
Keluarga Rumah Gung Gde Lila
Tokoh : Gung Gde Lila
Sulastri
Sedang Istrinya pun selalu ingin pulang ke Puri dan meminta
maaf kepada keluarga Puri dan sebaliknya. Namun… Gung Gde Lila tetap pada
pendiriannya.. Dan Sekarang pun istrinya minta diantar ke Puri..
Sulastri :
Mari kita pulang.. (sembari memohon)
Gung Gde Lila : Pulang ke mana lagi Lastri? Kita
kan sudah berada di rumah… (sembari bingung)
Sulastri :
Ke Puri..
Gung Gde Lila :
Aku bukan keluarga Puri lagi… (sembari duduk di atas kursi)
Sulastri : Tapi beliau ayahmu
sendiri Bli Gung.. Sebentar lagi akan dipelebonkan. Hampir sebagian besar penghuni Kota Denpasar ini akan melihat. Dan bahkan ku dengar juga bahwa upacara ini akan difilmkan oleh beberapa turis asing.. Apakah Bli Gung tidak
malu pada keluarga Puri sebagai putra terbesar dan yang sepentasnya bertanggung
jawab terhadap jalannya upacara? (sembari memeluk Gung Gde Lila)
Gung Gde Lila : Aku bukan anaknya lagi Lastri!! (sembari berdiri dan masuk ke kamar)
Sulastri : (sembari bersimpuh dan
menangis tersedu-sedu) Blii Guunggg jangan begitu Bli Gung Gde.. Jangan….
Matahari sudah condong ke arah barat. Sebentar lagi arakan
wadah mayat ayahnya akan lewat pintu rumahnya. Dan sepanjang jalan dari Puri
menuju ke kuburan akan penuh sesak oleh orang-orang yang akan menonton
pembakaran.. Dengan tiba-tiba ia merasa
seperti di buru oleh suara-suara sorak-sorai para pengusung bade yang
gegap gempita. Gung Gde Lila merenung di beranda depan. Matanya kosong menatap
langit, dan ketika bunyi kentongan dipukul di Bale Banjar, dadanya berdetak
bahwa sebentar lagi anggota banjarnya akan ikut serta dalam upacara. Namun
kenapa ia sendiri tidak?
Babak 11
Latar : Ruang
Keluarga Rumah Gung Gde Lila
Tokoh : Gung Gde Lila
Sulastri
Anak Gung Gde Lila
Ketika kentongan dipukul untuk kedua kalinya, istrinya
kembali memohon dengan mata basah dan suara yang serak..
Sulastri :
Bli Gung marilah kita pulang.. Kita malu pada tetangga..
Gung De Lila:
Kalau kau mau pulang.. Pulanglah sendiri!!! (sembari membentak)
Sulastri :
Ya!! Saya akan ke Puri (sembari pergi menuju kori)
Dengan dada panas Gung Gde Lila memandang kepergian istrinya
di balik kori, serta panggilan anaknya yang baru bisa mengucapkan kata
“papa” tidak di balasnya. Ia hanya sanggup memejamkan matanya ketika arakan
lewat di depan rumahnya serta suara para pengusung yang gegap gempita itu
semakin riuh juga sampai akhirnya menghilang di kejauhan. Sesuatu telah
menggetarkan jantungnya..
TAMAT
Ida Ayu Putu Novinasari
Rabu, 18 Juni 2014
Senja (Puisi)
![]() |
Ilustrasi Senja |
Senja menggeliat melukiskan saga di
langit,
kuning, jingga, merah, dan ungu berbaur
menjadi objek cantik
Sungguh menakjubkan lukisan di langit
itu,
Andai di negaraku perbedaan warna itu
menyatu indah,
tanpa pandang suku, ras, agama,
status sosial ekonomi
Pasti keindahannya dapat membuat
senja tidak enak diri.
Senja selalu membuatku kagum,
akan keragaman yang tercipta sempurna
meskipun berbeda warna
Sekaligus ia membuatku sangat rindu,
akan Bhinneka Tunggal Ika yang serasa
dikikis waktu
Tindih menindih,
gencet menggencet.
Senja melambungkan harapanku setinggi
angkasa
akan terciptanya vasudewam kutum
bakam
di tanahku yang tercinta,
Indonesia.
Ida Ayu Putu Novinasari~
Selasa, 07 Januari 2014
Ada Apa dengan Kaki Tanganku? (Puisi)
![]() |
Ilustrasi Kaki dan Tangan |
Hingga kini,
aku tak habis pikir..
Tiap kali aku menonton kotak hitam di
pojok ruangan,
selalu terpampang wajah wakil-wakil
rakyat
yang kebelinger lembaran-lembaran
bernilai itu.
Entah apa yang ada di pikiran mereka,
katanya berintelektualitas,
katanya memperjuangkan nasib rakyat,
Namun nyatanya…
hak rakyat pun diperkosa tanpa
pandang bulu..
Ada apa dengan kaki tanganku yang
duduk di kursi langit sana?
sudah butakah hati mereka?
eling pak, bu..
Ida Ayu Putu Novinasari~
Rabu, 13 November 2013
Goresan Pena Terakhir Ayah (Cerpen)
![]() |
Ilustrasi Goresan Pena |
“Bang
Ridho, istirahat dulu Bang. Daritadi sepandang mata saya memandang, abang tidak
henti-hentinya membawa karung beras di punggung abang. Jangan terlalu diporsir.”
Kata Pak Ragil kepada Pak Ridho, ia adalah sahabat Pak Ridho sejak dulu di
sekolah rakyat.
“Tidak
apa, ini demi Anto putraku. Dia ingin bersekolah di tempat yang bagus, jadi aku
harus bekerja lebih keras lagi,”
“Ya
sudah bang, kalau begitu. Tapi jangan dipaksa bang, kalau capek istirahatlah.”
Tidak
terasa hari sudah menunjukkan pukul 17.45, senja telah menampakkan dirinya,
menghipnotis setiap mata dengan pencampuran warnanya yang indah. Dengan nafas
yang tersengal-sengal dan peluh bercucuran membanjiri sekujur tubuh Pak Ridho pulang
dengan membawa uang 45 ribu rupiah dan satu kotak martabak manis kesukaan
anak-anaknya, termasuk Anto, berharap hati anaknya itu akan luluh dan tidak
marah lagi.
Sesampainya
di rumah, sebuah gubuk sederhana beralaskan tanah, Pak Ridho langsung
memberikan martabak manis itu ke Anto, namun Anto seakan tidak sudi untuk
mencicipinya. Pak Ridho hanya dapat mengelus dada, ia tidak sedikit pun kesal
dengan perilaku anaknya itu. Karena martabak manis itu tidak mau dicicipi Anto,
Pak Ridho pun memberikannya ke istri dan kedua adik Anto. Untunglah, tawa canda
kedua anaknya yang lain mampu menghibur hatinya.
***
Keesokan
harinya, pagi-pagi sekali bahkan sebelum ayam jantan berkokok, Pak Ridho sudah
berangkat kerja. Ia berjalan kaki menuju pasar. Seperti biasa, ia memang rutin
bekerja menjadi kuli di pasar, kadang kalau ada proyek pembuatan rumah, ia
biasa menjadi kuli bangunan. Tapi entah mengapa, hari itu kondisi pasar sedang
sepi, hanya terlihat beberapa orang pembeli yang lalu lalang, mungkin karena
harga-harga di pasar pada meroket tajam. Bukan salah pedagang sebenarnya karena
kendali bukan di tangan mereka.
Pak
Ridho hanya bisa terduduk lemas dengan tatapan menerawang. Dalam otaknya
kebingungan menyelimuti karena kalau kondisi pasar seperti ini terus bagaimana
nasib keluarganya. Saat dirinya sedang asik bergelut dengan kebingungannya, Pak
Abil mengagetkannya. Pak Abil merupakan teman semasa dulu di bangku sekolah,
tapi ia jauh lebih sukses dari Pak Ridho karena ia bekerja di Malaysia sebagai
TKI. Pak Abil mengajak Pak Ridho untuk menjadi TKI dengan iming-iming
penghasilan yang besar dan lingkungan kerja yang sangat nyaman.
Awalnya
Pak Ridho terasa berat untuk meninggalkan keluarganya, namun setelah ia
berpikir cukup lama, ia pun bersedia. Setelah mereka berbincang cukup lama,
mereka melangkahkan kaki menuju tempat penyalur TKI yang sebelumnya sudah
memberangkatkan Pak Abil dengan selamat sentosa.
Sesampainya
disebuah rumah beralaskan keramik berwarna merah, mereka langsung menuju ke
sebuah ruangan dengan minim penerangan, bahkan udara pun seakan sulit untuk
berlalu lalang. Di sana Pak Ridho berjumpa dan berbicara membuat perjanjian
hitam di atas putih dengan bos agen penyalur TKI itu.
***
Tidak
terasa sudah seminggu sejak penandatangan surat perjanjian kerja itu disepakati,
kini tiba saatnya Pak Ridho berangkat menuju Hongkong. Istri dan kedua anaknya
meneteskan air mata berat melepaskan keberangkatan sosok yang mereka cintai.
Namun anehnya, Anto malah enggan mengantarkan bapaknya meskipun hanya di depan
rumah. Meskipun demikian, Pak Ridho tidak berkecil hati, ia tetap semangat
untuk mendapatkan uang yang banyak supaya bisa memberikan nafkah finansial
kepada istri dan anak-anaknya.
Setelah
perjalanan yang melelahkan, Pak Ridho dan beberapa TKI lainnya akhirnya sampai
di Bandara. Mereka diajak ke sebuah rumah sederhana dan di sana mereka
diberikan pengarahan oleh Suri, penanggung jawab agen penyalur TKI. Mereka juga
diajarkan sedikit bahasa Cina dialek Hokkian. Usai diberikan pengarahan dan
pengajaran, Pak Ridho dan beberapa TKI lainnya langsung didistribusikan ke
rumah-rumah orang-orang Hongkong untuk menjadi pembantu. Pak Ridho sendiri
bekerja sebagai tukang kebun dan pembantu di sebuah rumah besar dengan majikan
yang kaya raya. Namun kehidupan Pak Ridho tidak berjalan mulus.
Majikan
Pak Ridho yang bernama Tan Tjoen An meskipun kaya raya, kelakuannya sangat
tidak manusiawi, bahkan istri dan anak semata wayangnya juga demikian.
Bayangkan saja, Pak Ridho hanya diberikan makan 1x sehari itupun tanpa lauk,
hanya kuah sop. Tidur pun, Pak Ridho tidak di kamar dengan alas kasur yang
semestinya, ia tidur di lantai dapur. Gaji juga tidak seberapa, hanya 150ribu
apabila dirupiahkan. Kekejaman dan penganiayaan sering diterima Pak Ridho. Pak
Ridho yang sangat sabar hanya dapat menahan rasa sakit yang diterimanya, baik
fifik maupun mental.
***
Sampai
suatu ketika, saat Pak Ridho menunaikan ibadahnya yaitu sholat. Ia dilarang, kitab
sucinya diambil secara paksa dan diinjak-injak. Pak Ridho yang tidak terima
akan perlakuan keji majikannya itu lantas mengambil sikap. Ia merasa terhina
akibat perlakuan kasar sang majikan, seakan-akan harga dirinya diinjak. Ketika
itu terpasang sebuah samurai milik majikannya di dinding berwarna putih
menyala. Pak Ridho lantas mengambil pedang Tiongkok itu dan langsung menebas
leher sang majikan hingga berlumuran darah.
Setelah
kejadian yang berlangsung singkat tersebut, Pak Ridho tersadar akan
perbuatannya yang sangat keji dengan membunuh majikannya. Pandangan matanya
terus tertuju pada tubuh Tuan Tan yang telah terbujur kaku dan bersimbah darah.
Rasa bersalah dan berdosa mengahantui benaknya, sesaat ia teringat akan
keluarganya di kampong. Seketika ia mengambil secarik kertas yang tergeletak di
atas meja, ia pun kemudian menulis surat permintaan maaf kepada keluarga Tuan
Tan dan keluarganya di kampong. “Maafkan saya atas perbuatan keji yang telah
saya lakukan ini. Saya terpaksa melakukannya karena untuk membela harga diri
dan keyakinan saya….
Anto anakku, maafkan ayah… Ayah tidak bisa membahagiakan dirimu, ayah
ingin kau menjadi anak yang berguna. Jaga keluargamu, terutama Ibu dan
adik-adikmu..
Selamat tinggal
Ayahmu-Ridho”
Setelah
menulis surat tersebut, Pak Ridho kembali mengambil pedang yang telah ia
gunakan untuk membunuh Tuan Tan. Seketika ia menghujamkan pedang itu ke dirinya
sendiri sebagai rasa bersalah dan berdosanya.
SEKIAN
Rabu, 14 Agustus 2013
Ditikam Saudara Sendiri (Cerpen)
![]() |
Ilustrasi Ditikam |
SETIAP
aku melihat kotak hitam di pojok ruangan rumahku yang menampilkan gambar serta
tangisan para TKI di negeri orang, aku selalu teringat akan kejadian yang
membuat batinku berkecamuk. Kejadian yang tidak akan pernah aku lupakan seumur
hidupku. Kejadian yang menyadarkanku bahwa ego hanya akan menjatuhkanmu dengan
kasar ke jurang kesengsaraan. Kejadian yang seolah memukuliku hingga aku
berjanji tak akan mengulanginya lagi. Aku masih ingat dengan jelas bagaimana
cerita, alur, setting, tokoh-tokoh yang terlibat di dalam kejadian itu.
Kejadian yang terjadi 3 tahun yang lalu itu saat usiaku 17 tahun rupanya masih meninggalkan jejak yang cukup
dalam pada batinku.
“Nek kowe ra gelem bayar, kowe bakal tak lebokke kantor polisi!”, ucap Pak Hendry dengan volume tinggi, seorang
rentenir yang tidak punya hati sama sekali. Bagaimana tidak, keluargaku hanya
meminjam 2 juta rupiah untuk biaya adik-adikku opname di rumah sakit sebulan
yang lalu, tapi kini sudah beranak menjadi 4 juta rupiah.
“Tapi
Pak, maaf kami belum ada uang pak. Untuk makan saja kami susah, bagaimana bisa
kami membayar utang kami berikut bunga yang mencekik itu. Kami minta sedikit
waktu lagi, pasti kami bayar”. Ayahku memohon sambil menundukkan kepalanya di
kaki rentenir tak punya hati itu.
“Baiklah.
Tapi aku hanya memberikan kalian waktu selama 2 minggu. Jika kalian tidak mampu
melunasi utang-utang kalian, polisi akan siap membawa sampeyan ke jeruji besi.
Ingat HANYA 2 MINGGU!”. Pak Hendry pun melangkahkan kakinya pergi meninggalkan
gubuk kami tanpa meminum kopi hitam hangat buatan ibuku. Seketika itu juga
wanita yang telah melahirkanku dengan susah payah menangis. Mungkin karena
terlalu banyak beban dalam hatinya.
Dari
balik pintu kamarku ini, aku melihat dengan jelas bagaimana gurat kebingungan
yang luar biasa terpancar dari wajah kedua orang tuaku. Dari balik pintu
kamarku ini pula, aku hanya bisa terdiam sambil memikirkan bagaimana cara
membayar utang-utang kedua orangtuaku. Aku sendiri belum bekerja, masih
tercatat sebagai salah satu siswi di sebuah sekolah rakyat, yang tidak perlu
mengeluarkan rupiah sepeser pun. Kebingunganku membuatku ingin mencari udara
segar di luar rumah, siapa tahu ada solusi bagi permasalahan ini pikirku. Apalagi
mendadak suasana di dalam rumah membuatkan panas.
Saat
aku berjalan-jalan di pinggiran sawah dekat rumahku, aku bertemu dengan Pak
Kasim dan Bu Ainun. Mereka adalah agen penyalur TKW yang sangat terkenal di
desaku, dan mereka adalah teman baik kedua orangtuaku. Aku diajak berbincang
dengan mereka, dan aku pun menceritakan permasalah yang sedang menimpa
keluargaku. Mereka menawariku bekerja di Hongkong, dengan upah yang sangat
menggiurkan. Bagaimana tidak, kata mereka upah bekerja sebulan di Hongkong
kalau dirupiahkan sekitar 15 juta. Tidak hanya itu, mereka juga mau membayar
lunas utang-utang orangtuaku jika aku mau ke Hongkong bersama mereka besok. Aku
yang sangat kalut, tidak tahu harus mencari uang ke mana untuk menyelamatkan
kedua orangtuaku, langsung saja mengiyakan dan menandatangi perjanjian
bermaterai.
***
MALAM
harinya, seperti biasa kami sekeluarga berkumpul untuk menyantap hidangan
seadanya yang dengan tulus dibuatkan oleh ibuku. Menu kami malam ini adalah
singkong. Maklum saja, penghasilan ayah yang seorang petani menggarap sawah milik
tetangga hanya cukup untuk membeli singkong ini. Tidak seperti biasanya, ayah
dan ibuku hanya diam sambil menyantap singkong rebus ini, tanpa mengeluarkan
sepatah kata pun. Aku yang tidak tenang melihat prilaku kedua orangtuaku ini,
membuka kekakuan ini dengan sebuah pertanyaan. “Pak, Bu.. Tadi aku bertemu
dengan Pakde Kasim dan Bude Ainun.”
“Lantas?”
ucap ibuku pelan. “Mereka menawariku bekerja menjadi TKW di Hongkong, dan akan
melunasi utang-utang kita. Ini uangnya.” Kataku sambil memperlihatkan uang 4
juta rupiah itu.
“Bapak
tidak setuju kamu pergi, Ratih. Bapak tidak mau membebanimu. Pokoknya besok
kamu kembalikan uang itu ke mereka. Biar Bapak yang mencari uang.”
“Tapi
Pak???”, bantahku.
“Sudahlah,
turuti perintah Bapakmu ini. Sana lekas tidur!”, ucap bapak dengan nada tinggi.
Aku masuk ke kamar, tapi aku tidak tidur. Aku mengepak baju-bajuku. Aku ingin
pergi ke Hongkong untuk membahagiakan keluargaku. Aku menulis surat yang isinya
permohonan maafku karena aku tidak menuruti perintah bapakku. Dalam amplop itu,
aku juga memasukkan uang 4 juta rupiah untuk melunasi utang ke rentenir itu.
Setelah itu aku merebahkan tubuhku di kasur, berharap mimpiku kali ini akan
lebih indah dan esok menjadi awal kesuksesanku.
***
SEBELUM
orangtuaku terbangun dari tidurnya, kira-kira pukul 4 pagi, aku keluar pergi ke
rumah Pakde Kasim dan Bude Ainun. Setibanya di sana, ternyata tak hanya aku
yang bercita-cita sukses di Hongkong, ada Lastri, Surti, dan Tini. Bedanya
keluarga mereka mengizinkan mereka menjadi TKW, sedangkan aku tidak.
Setelah
diberikan pengarahan sekitar 25 menit oleh Pakde Kasim, kami pun berangkat
menuju Hongkong. Rencananya, kami akan dijadikan pembantu rumah tangga di sana.
Semula aku tak sedikitpun menaruh curiga, karena Pakde Kasim dan Bude Ainun sangat
baik padaku. Selama perjalanan, mereka mengajari kami sedikit bahasa Cina
dialek Hokkian dan memberi kami kamus bahasa itu. Setibanya di Hongkong perlakuan
mereka masih tetap sama bahkan cenderung memanjakan kami. Kami diajak makan ke
sebuah restoran ternama, berbelanja beberapa pakaian dan kosmetik mahal. Kami
tidak langsung disuruh bekerja, sudah 3 hari kami di Hongkong, hanya
kegiatan-kegiatan itu saja yang kami lakukan.
Sampai
pada akhirnya, aku, Lastri, Surti, dan Tini diajak Pakde Kasim dan Bude Ainun
menemui seseorang bernama Lee, pria berusia sekitar 40 tahun dengan perawakan
yang gemuk dan putih. Saat berkenalan dengannya pertama kali, tidak ada hal
buruk, ia sangat sopan. Pakde dan Bude pun berbincang dengan Lee, membicarakan
sesuatu yang aku tidak mengerti karena terbatasnya kosakata bahasa Cina dialek
Hokkien yang aku kuasai. Dari raut mereka bertiga sepertinya mereka sangat
senang, terlihat dari tawa yang mengemuka di raut wajah mereka. Usai
berbincang, Pakde Kasim, Bude Ainun, dan Lee berjabat tangan. Entah apa maksud
jabatan tangan itu. Tiba-tiba saja Pakde dan Bude berbicara kepada aku, Lastri,
Surti, dan Tini. Mereka menyuruh kami untuk ikut bersama Lee, pria yang baru 30
menit aku mengenalnya. Semula kami menolak, tapi Pakde dan Bude membujuk kami
dengan rayuan-rayuan maut. Mereka bilang Lee adalah majikan kami. Kami setuju
dan ikut dengan Lee.
Namun
alangkah tragisnya nasib kami, aku, Lastri, Surti, dan Tini malah diajak ke salah satu tempat prostitusi terbesar di
Hongkong bersama Lee. Parahnya lagi, kami ternyata dijual oleh Pakde Kasim dan
Bude Ainun. Tega sekali Pakde Kasim dan Bude Ainun pikirku. Orang yang aku kira
baik ternyata berhati iblis. Aku seperti ditikam saudara sendiri, sama-sama
orang Indonesia tapi kejam. Pakde Kasim dan Bude Ainun yang awalnya sangat baik
dan seolah-olah ingin membantu, ternyata mereka meludahi mukaku. Di sisi lain,
aku sangat menyesal telah tidak mengindahkan perintah kedua orangtuaku yang
melarangku untuk menjadi TKW. Di tempat
prostitusi itu, kami gadis-gadis lugu dari desa dijadikan budak pemuas nafsu
laki-laki hidung belang di Hongkong, kami tidak boleh menolak 1 ajakan
berkencan dengan lelaki manapun. Aku pernah menolak berhubungan intim dengan
salah seorang lelaki Hongkong, dan aku langsung dihajar oleh anak-anak buah
Lee. Tubuhku penuh lebam sangat sakit, namun tidak sesakit hatiku karena aku
dijual oleh orang yang aku kira berhati malaikat. Entah sudah berapa lelaki
yang meniduri ranjangku, meskipun tidak suka, aku harus mau menuruti nafsu-nafsu
mereka.
Sampai akhirnya di suatu malam, tepat hari ke-21
aku di tempat prostitusi ini aku berhasil kabur, karena aku sudah tidak kuat
lagi melayani nafsu-nafsu bejat itu. Sore harinya, aku membeli obat tidur di
apotek dekat tempat prostitusi itu. Aku buatkan Lee dan beberapa anak buahnya
jus pisang kesukaan mereka, dan saat itulah aku masukkan obat tidur itu. Saat
mereka tertidur lelap, aku mengemasi barang-barangku. Aku mengajak Lastri,
Surti, dan Tini, dan mereka bersedia. Kami bergegas mencari taksi dan menuju
Bandara. Dengan uang seadanya, kami membeli tiket penerbangan menuju Indonesia.
Setibanya di Indonesia, kami langsung menuju desa yang sangat kami cintai. Aku
mencari kedua orangtuaku, dan langsung meminta maaf kepada mereka, menyesal
karena aku tidak mengindahkan larangan mereka. Aku juga melaporkan Pakde Kasim
dan Bude Ainun ke polisi atas tindakan memperdagangkan manusia, dan mereka
dijebloskan ke jeruji besi yang dingin.
Selasa, 12 Maret 2013
Permohonan (Puisi)
1 kali
2 kali
3 kali
4 kali
5 kali
Cukup sudah!
Jangan lagi kau tambah
deretan luka dihatiku.
Jangan lagi kau percikan cuka
di atas luka mengangaku.
Aku ingin kau rawat diri ini.
Bukan malah kau ludahi!
Agar tak lagi penuh lebam.
Agar tak lagi berlumuran darah segar.
Agar tak lagi air sungai membanjiri
Jakarta!
Maukah kau berjanji?
Tak akan lagi beradu kasih
dengan pelacur manapun.
Sekalipun ia rela tubuhnya
Kau cicipi tanpa
perlu kau lunasi.
Senin, 18 Februari 2013
Rindu Akan Rasa Ikan Penggoyang Lidah (Puisi)
Satu-satunya ikan yang aku punya.
Telah diamah habis olehnya.
Tak ada sisanya.
Bahkan tumpukan tulang sedikit pun.
Aku lapar!
Rindu akan rasa ikan penggoyang lidah.
Tapi ke mana harus aku mencari.
Mengais tong sampahkah?
Atau
Pergi ke rumah saudagar kaya untuk
menjadi pengemis?
Hah..
Entahlah.
Aku rasa tak mungkin.
Mana ada harimau
yang mau berbagi hidangannya
untuk kucing kampung sepertiku.-DT
Langganan:
Postingan (Atom)