Minggu, 14 September 2014

Salah Menafsirkan

Dia kembali datang,
tapi kini dengan tampilan yang tak biasa..
Dia menawarkanku sebuah tarian..
Aku terima,
namun rupanya aku salah menafsirkan..
Aku terlalu hanyut
dalam tarian pemujaan..
Iya, tarian pemujaan..
Ragaku seperti haus akan setiap gerakan yang dicontohkannya..
Mataku nakal tak kala melihat setiap gerakan matanya..
Pikiranku menerobos batas kebenaran..

Salah..
Iya, ini kesalahan..
Aku salah menafsirkan..


Minggu, 22 Juni 2014

Animus 10R Essay Photo Pamerkan 1.562 Foto

Suasana Pameran Animus 10R Essay Photo

Denpasar
      Empat komunitas fotografi Bali yang terdiri atas Lingkara Photoart, Suku Analog, Lomonesia Bali, Jagir Photography menyelenggarakan pameran foto yang bertajuk Animus 10R Essay Photo Exhibition. Pameran yang berlangsung dari tanggal 20 – 30 Juni 2014 ini memamerkan foto-foto karya 35 fotografer Bali. Sebanyak 1.562 foto dipamerkan mulai pukul 09.00 – 23.00 WITA di Lingkara Photoart Gallery Jalan Merdeka IV No. 2 Renon-Denpasar.
       Animus 10R Essay Photo Exhibition yang didukung oleh JPPRO Bali terbuka bagi siapa saja yang ingin melihat sisi lain kehidupan Bali. JP Arsa, salah satu pendiri Lingkara Photoart, memaparkan bahwa animus 10R essay photo adalah bentuk keberanian menyampaikan sudut pandang personal tertentu yang jernih dan langsung, serta mencoba untuk menganalisa. Melalui pameran ini diharapkan dapat memicu tumbuhnya kerja kolektif dari komunitas-komunitas kreatif di Bali, tidak terbatas pada komunitas fotografi saja sehingga akan tumbuh ide-ide segar dan regenerasi anggota komunitas. Ketika ditanya mengenai alasan pemilihan foto berukuran 10R menjadi ketentuan foto yang dipamerkan, Arsa dengan terbuka memberikan penjelasan bahwa foto ukuran 10R adalah ukuran favorit keluarga. “Foto ukuran 10R menjadi ukuran favorit, biasanya sebagai foto dokumentasi keluarga yang terpajang di ruangan,” tutur Arsa yang dijumpai di Lingkara Photoart Gallery pada hari Jumat (20/6/2014) lalu.
     Pameran ini adalah pameran yang kesekian kali diadakan, namun kali ini tema yang diangkat lebih beragam, mulai dari keseharian, sosial, lingkungan, hingga difabelitas. Para fotografer dibebaskan untuk berekspresi lewat kacamata lensa mereka. Tak hanya itu, Animus 10R Essay Photo Exhibition menawarkan konsep pameran foto yang berbeda dari biasanya. Penempatan foto-foto beribu kisah itu bisa dikatakan unik karena tidak hanya memanfaatkan tembok untuk memajang hasil karya 35 fotografer Bali, tetapi juga memajang foto di vespa, pohon, dan sebagainya. Uniknya lagi, para fotografer yang terlibat dalam acara ini tidak hanya fotografer profesional, ada yang berprofesi sebagai pegawai kantor, penjaga pantai, pegawai pembersih kolam renang, tukang tattoo, arsitek, mahasiswa, dan lain-lain.
     Respon masyarakat terhadap pameran ini sangat bagus. Pameran ini mampu menyedot perhatian penikmat seni di Bali, khususnya penikmat seni fotografi. Hal ini tampak dari banyaknya pengunjung yang datang untuk melihat hasil jepretan para fotografer Bali. Bahkan, pengunjung yang datang tidak hanya pengunjung lokal, tetapi juga para wisatawan asing. Ari, salah satu pengunjung pameran Animus 10R Essay Photo Exhibition, mengaku sangat terkesima dengan foto-foto yang dipamerkan. “Foto-foto yang dipamerkan semua bagus sampai pangling ngeliatnya. Konsepnya juga beda, terus foto-foto yang dipajang itu unik ada soal penyandang tunarungu, tunanetra, seng penutup bangunan, pokoknya bagus deh,” ujar Ari yang dijumpai saat melihat-lihat beragam foto yang dipamerkan (20/6/2014). Selepas berkeliling melihat beragam foto, para pengunjung diminta mengisi buku kunjungan untuk membubuhkan komentar atau menceritakan pengalaman mereka mengunjungi pameran ini. (dayu)

Kamis, 19 Juni 2014

Naskah Drama “Ketika Kentongan Dipukul di Bale Banjar”



(Sebuah Adaptasi dari Cerpen Karya Nyoman Rasta Sindhu)

Babak 1
Latar    : Halaman Rumah Gung Gde Lila (Pagi Hari)
Tokoh   : Made Otar
             Seorang Lelaki Tua

Suatu hari yang terik di kota Denpasar, datanglah seorang lelaki paruh baya menuju sebuah rumah sembari terpogoh-pogoh…
Made Otar    : Om Swastyastu (sembari mengetuk pintu gerbang khas bali)
Lelaki Tua  : Om Swastyastu, wenten napi nggih? (sembari membukakan pintu)
Made Otar    : Apakah Tu Nak Agung ada? (sembari sedikit menunduk)
Lelaki Tua    : Wenten pak, ada perlu apa nggih?
Made Otar    : Niki pak, saya Made Otar… Saya diutus oleh keluarga di Puri
untuk  mengajak Tu Nak Agung pulang ke Puri...
Lelaki Tua    : Oh nggih… Sebentar saya panggilkan… silahkan duduk di bale
bengong di sana.. (sembari menunjuk arah bale bengong)
Seketika Seorang Lelaki Tua masuk ke dalam rumah menemui Gung Gde Lila….


Babak 2
Latar    : Ruang Tamu Gung Gde Lila (Pagi Hari)
Tokoh   : Gung Gde Lila
              Seorang Lelaki Tua

Lelaki Tua : Permisi Tuan (sembari memberi penghormatan. Maaf menggangu, ada tamu yang ingin mencari Tuan…. Gung Gde Lila: Siapa yang mencari saya di pagi-pagi begini? Menggangu waktu sarapanku saja… Huft (sembari memegang Koran dan menggerutu)
Lelaki Tua : Begini Tuan, katanya dia merupakan utusan puri… Hmmmm (sembari sedikit mengingat sesuatu) kalau tidak salah namanya Made Otar….
Gung Gde Lila :  Made Otar???!  Ada apa gerangan ia datang kemari??!! (Sembari terkejut dan sedikit bingung) Suruh dia masuk… (sembari menggerakkan tangan) 
Lelaki Tua       : Baik Tuan…. (sembari berjalan mundur menuju pintu)

Babak 3
Latar    : Halaman Rumah Gung Gde Lila (Pagi Hari)
Tokoh   : Made Otar
             Seorang Lelaki Tua

Lelaki Tua  : Bapak silahkan masuk ke dalam, Tuan Gung De Lila sudah menunggu di dalam. Mari masuk…
Made Otar   : Baiklah… (sembari mengikuti Seorang Lelaki Tua tersebut masuk ke dalam rumah)

       Babak 4
Latar    : Ruang Tamu Gung Gde Lila (Pagi Hari)
Tokoh   : Gung Gde Lila
             Made Otar
             Seorang Lelaki Tua

Lelaki Tua      : Ini tuan tamunya.. (sembari menunjuk Made Otar)
Gung Gde Lila : Oh ya… Silahkan duduk Paman Otar… (sembari menyilahkan duduk) pak, tolong buatkan minuman, kemudian urus babi-babi yang merusak kebun pisang saya…
Lelaki Tua      : Inggih Tuan…. (sembari menyembah)   
Made Otar      : (sembari duduk di  lantai)     
Gung Gde Lila  : Bagaimana Paman Otar kabarnya? Gerangan apa yang membawa Paman berkunjung ke rumah saya?
Made Otar   : Kabar saya baik… Namunnn… Hmmm… (agak sedikit bingung) Maaf sebelumnya jikalau saya sedikit lancang dalam berkata.. Taapiii Pulanglah ke Puri Tu Nak Agung… (sembari menatap penuh arti kepada Gung Gde Lila kemudian menunduk)
Lelaki Tua       : (sembari menaruh minuman lalu pergi meninggalkan ruangan)
Made Otar   : Bagaimanapun juga beliau adalah Ajin Tu Nak Agung  pula Lupakanlah segala yang telah lalu…. (sedikit tersendat)
Gung Gde Lila  : (sembari acuh tak acuh dan terpaku melihat ke luar jendela rumah)
Made Otar     : Tu Nak Agung…. Tiga hari lagi beliau akan dipelebonkan… Dan tahukah Tu Nak Agung…. (sembari menghela nafas) Bahwa ketika beliau menghembuskan nafas terakhir.. Beliau terus menerus memanggil nama Tu Nak Agung… Sungguh itu sungguh! (sembari meyakinkan Tu Nak Agung) Saya sudah cukup lama memarekan di Puri Tu. Saya tahu sifat-sifat beliau. Beliau adalah orang yang keras,namun sesungghnya beliau cepat memaafkan orang.
Gung Gde Lila: (sembari terdiam, acuh tak acuh dan sembari mencabut cambangnya yang tumbuh tak teratur)
Made Otar     : (sembari memperbaiki ikatan antong anduknya yang hampir lepas) Dan beliau menyerahkan cincin bermata bangsing itu kepada saya, dan beliau minta agar cincin ini saya serahkan kepada Tu.. Beliau minta menghendaki agar Tu Nak Agung memakai cincin ini sebagai pertanda bahwa beliau sesungguhnya telah memaafkan Tu nak Agung (sembari menunjukkan cincin kepada Tu Nak Agung)
Gung Gde Lila: (tetap diam membisu dan acuh tak acuh)                                 
Made Otar  : (Wah Ternyata Gung Gde Lila masih kekeh terhadap pendiriannya ya-berkata dalam hati) Ya sudah Tu Nak Agung kalau begitu saya pamit pulang… Permisi (sembari mundur menuju pintu) 
Gung Gde Lila : (tetap diam membisu dan acuh tak acuh)                                 

Kemudian Gung Lila duduk merenung, ia merasa benar-benar sendiri. Tidak ada orang lain yang mendampinginya sejak tiga hari lalu, ketika Made Otar datang ke rumahnya itu. Dan ia merasa sendiri lagi, ketika ia sadar bahkan hari ini adalah hari pelebon ayahnya, seperti yang telah disampaikan oleh Made Otar. Istrinya masih menangis dalam kamar. Sejak Made Otar datang, istrinya selalu menyarankan agar ia memaafkan keluarga, terutama ayahnya. Istrinya mendesaknya agar ia pulang waktu pelebon ayahnya, akan tetapi Gung Lila masih tetap pada pendirinanya. Malah ia ingat kejadian tiga tahun lalu, ketika ia melarikan Sulastri, dan bahkan tidak memperoleh restu lagi dari orang tua dan keluarganya sendiri……

      Babak 5
Latar    : Bale Pamancingah Puri (Malam Hari)
Tokoh   : Anak Agung Gde (Ayah Gung Gde Lila)
     Gung Gde Lila
           
Anak Agung Gde : Kalau kau memilih gadis, pilihlah gadis yang baik… Jangan pilih gadis macam begitu (sembari memegang tongkat)
Gung Gde Lila    : Hah?! Macam apa pula maksud ayahanda? (sembari bingung)
Anak Agung Gde : Ya macam begitu, seperti istrimu itu! (sembari membentak keras dan menmpar  pipi Gung Gde Lila)
Gung Gde Lila     : (sembari menangkis dan menangis) Bilang terus terang ayah.. Ayah menghendaki seorang menantu dari Kasta Bangsawan juga kan??!! Bilang terus terang ayah…
Anak Agung Gde  : (sembari terdiam sebentar kemudian menampakkan  wajah emosi dengan nafas yang turun-naik dan memegang tongkat) Kalau kau mau kawin, kawinlah.. Tapi nama ayah kau sebut-sebut dalam perkawinanmu itu.. Dan apa bila kau telah kawin nanti, sejak saat itulah kau tak kuanggap lagi sebagai anakku dan keturunanmu sebagai warihku lagi!! Mengerti!!?? Dan ingat jangan menginjak lagi Puri ini!!!
Gung Gde Lila    : (sembari tersentak kaget dan melangkah menuju kori dan berteriak) Ya! saya mengerti, dan saya akan kawin… Saya sudah siap memikul akibatnya.. Saya tidak akan menginjak lagi Puri ini!!

Keputusan  telah diambil… Ia melarikan Sulastri, namun ia ingat kini bagaimana perkawinan itu jadi ricuh pada mulanya. Ketika itu desas-desus tersebar bahwa Gung Lila akan melarikan Sulastri, keluarga Sulastri sudah bersiap-siap untuk mempertahankan Sulastri, dan mereka juga sudah mendengar bahwa keluarga besar Puri tidak merestui perkawinan itu, serta sikap keluarga besar Puri yang kolot membuat keluarga Sulastri tersinggung..

Babak 6
Latar    : Jalan Desa (Siang Hari)
Tokoh   : Nyoman Partha
             Nengah Wirya

Nengah Wirya  : Man be tawang Gung Lila melaibin Sulastri?
Nyoman Partha: Saje to Ngah??!! Nyen wak orin??? (sembari terkejut)
Nengah Wirya : Ae, seken man.. Rage man berita uli Putu Kapat, Parekan Purine…
Nyoman Partha : Beh gawat to.. Pedalem keluargane Gurun Gede…
Nengah Wirya   : Ae to be, pedalem ie.. mih lanjut ke carik.. Megae malu?
Nyoman Partha : Mih.. Ayo nae…

Babak 7
Latar    : Ruang Tamu Rumah Lastri (Sore Hari)
Tokoh   : Gurun Gede (Ayah Lastri)
             Sulastri

Gurun Gede: Lastri, mulai hari ini kau tidak boleh kawin dengan Gung Lila (sembari
duduk memegang pundak Lastri).. kau urungkan saja niat untuk kawin dengan Gung
Gde Lila, kau kan sudah mendengar keputusan keluarganya bukan? Semua itu
merendahkan derajat keluarga kita. Kita punya derajat, walau bukan derajat
bangsawan.. Kita punya derajat, yaitu derajat bangsawan (sembari sedikit geram
dan kesal)
Sulastri      :   Tapi keputusan itu bukan keputusan Gung Gde Lila ayah… (sembari mengiba)
Gurun Gede :   Ya.. Ya.. Ya… ayah tahu, tapi akan kau bawa ke mana wajahmu apabila kau kawin dengannya?? Bila ternyata tak ada seorangpun keluarganya yang bersedia menjenguk dan menyelesaikan perkawinanmu? (sembari berdiri dan mengacungkan jari)
Sulastri        :     Tapi ayah??? (sembari berusaha mengiba)
Gurun Gede  :     Ssstt.. Sudahlah anakku… Dengarkanlah perkataanku…
Sulastri        :    (sembari menangis pergi meninggalkan ruangan)

Setelah perdebatan itu Sulastri memutuskan untuk menjumpai Gung Gde Lila di sekolahnya dan melarikan diri waktu itu juga..

Babak 8
Latar    : Koridor Sekolah dan Ruang Kelas (Pagi dan Siang Hari)
Tokoh   : Gung Gde Lila
             Sulastri

Sulastri        :    Bli Gung… Maukah kau memperjuangkan cinta kita?? (sembari memegang tangan  Gung Gde Lila)
Gung Gde Lila: Tentu saja Lastri mengapa? Apakah kau meragukanku? Aku sudah menentang keluargaku, terutama ayahku, bukankah kau tahu itu Lastri?
Sulastri          :   Bukan begitu Bli Gung.. Aku sangat percaya akan ketulusan cintamu.. Hmm Namunnn… Bagaimana kita kan melanjutkan cinta kita ke jenjang perkawinan jika tembok restu menghadang??
Gung Gde Lila :   Lastri sayang… (sembari memegang kepala dan memeluk Lastri) Tenang saja.. Kita pasti akan kawin.. Aku sudah merencanakan pelarian kita, kita akan kawin lari. Sahabatku Made Sukarya sudah menyiapkan semuanya, mobil, rumahnya sebagai  tempat persembunyian kita untuk sementara waktu sembari menunggu penyelesaian dari keluarga kita… Apakah kau mau Lastri?
Sulastri          :   Iya Bli Gung.. Aku kan ikut ke manapun Bli Gung pergi… Aku cinta padamu Bli Gung (sembari tersenyum)
Gung Gde Lila :   Aku juga cinta padamu Lastri, aku ingin bahagia bersamamu… (sembari tersenyum)

Kedua belah pihak keluarga heboh. Pada awalnya masing masing bersikeras, tidak mau menyelesaikan perkawinan itu antar keluarga. Namun, akhirnya ketika keluarga Sulastri menerima ancaman dari Sulastri, bahwa apabila ia didiamkan begitu saja, maka ia akan bunuh diri. Ayahnya yang merasa iba pada anak satu-satunya itu datang juga ke tempat persembunyiannya itu dan akhirnya merestui hubungan perkawinan mereka. Perkawinan yang berlangsung tanpa orangpun yang hadir dari pihak keluarga Puri dan diwakilkan oleh sahabatnya Gung Gde Lila yaitu Made Sukarya..

Babak 9
Latar    : Ruang Tamu dan Ruang Keluarga Rumah Gung Gde Lila (Pagi Hari)
Tokoh   : Gung Gde Lila
              Sulastri
              Made Otar

Istrinya masih menangis di dalam kamar. Ketika itu datang Made Otar untuk menyampaikan pesan dari keluarga Puri…
Made Otar    :  Tu Nak Agung pulanglah ke Puri Tu Nak Agung… Ajin Tu Nak Agung akan di  Pelebon sore nanti.. Maafkalah Ajin Tu Nak Agung.. Janganlah menaruh dendam  pada orang tua sendiri (sembari menatap penuh arti pada Gung Gde Lila)
Gung Gde Lila: (sembari menatap dengan sinis) Kenapa tidak mereka saja yang datang kemari??!!! Kenapa harus melalui engkau Paman Otar!!?? Dulu ketika saya kawin.. Mereka  bersikeras untuk tidak datang, dan membuangku dari Puri.. Maka sekarangpun saya  tidak akan mau pulang ke Puri lagi. Sampaikan kata-kata itu! (sembari berdiri  dengan geram dan kesal)
Made Otar : (sembari tertunduk dan mengiba) Ttttaaa…  ppppiii… Ggguuunggg Ggddeeee… Ini adalah kesempatan terakhir bagi Gung Gde untuk menghormati beliau..
Gung Gde Lila:  Kan sudah ku bilang Paman Otar.. Sekali tidak mau ya tidak kan mau!! Sebagai seorang Ksatrya pantang bagiku untuk menarik ucapanku.. Camkan itu paman!!  (sembari berdiri dengan geram dan mengacungkan jari ke atas)
Made Otar   : Maaf Gung Gde.. Saya hanya menyampaikan pesan dari keluarga Puri saja… Kalau begitu keputusan Gung Gde saya akan sampaikan kepada keluarga Puri… Saya  permisi dulu kembali ke Puri..

Kembali Gung Gde Lila termangu diam seperti itu. Kini terbayang di hadapannya, bahwa sebentar lagi apabila matahari sudah condong ke ufuk barat, upacara pelebon ayahnya dimulai tanpa kehadirannya sebagai putra satu-satunya.

Gung Gede Lila : (berbicara dalam hati) sebenarnya aku ingin pulang dan memaafkan ayah.. Tapii.. Keluargaku belumlah memaafkanku.. Mereka hanya menyuruhku untuk pulang tanpa mengucapkan maaf padaku.. 

Sembari termangu diam, teringat kembali Gung Gde Lila ketika anaknya berumur tiga bulan dan harus dibuatkan sekedar upacara tanpa uang sepeserpun. Karena kemiskinan dan kekurangan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Namun hatinya pantang untuk meminta bantuan kepada keluarganya, malah keluarganya sering mengejek bila bertemu di muka jalan. Dan demikianlah hidupnya telah berlangsung dari pinjam sana-sini, dengan sedikit bantuan dari keluarga Sulastri. Waktu anaknya diupacarai pun telah terjadi kegoncangan jiwa sperti yang dialami sekarang. Ketika upacara selesai beberapa orang dari keluarga Sulastri tidak bersedia ikut makan paridan bebantennya, sebagai pertanda mereka mau merestui perkawinan mereka, walaupun orang tua Sulastri dan beberapa orang misannya bersikap biasa. Gung Gde Lila merasa tersinggung atas perlakuan itu, karena sebagai darah bangsawan seharusnya semua orang tanpa kecuali boleh memakan paridan itu, sebab itu dibuat untuk seorang anak bangsawan walaupun beribu sudra namun tetap berdarah bangsawan sebab ayahnya bangsawan.

Babak 10
Latar    : Ruang Keluarga Rumah Gung Gde Lila
Tokoh   : Gung Gde Lila
             Sulastri

Sedang Istrinya pun selalu ingin pulang ke Puri dan meminta maaf kepada keluarga Puri dan sebaliknya. Namun… Gung Gde Lila tetap pada pendiriannya.. Dan Sekarang pun istrinya minta diantar ke Puri..
Sulastri           : Mari kita pulang.. (sembari memohon)
Gung Gde Lila  : Pulang ke mana lagi Lastri? Kita kan sudah berada di rumah… (sembari bingung)
Sulastri           : Ke Puri..
Gung Gde Lila  : Aku bukan keluarga Puri lagi… (sembari duduk di atas kursi)
Sulastri      : Tapi beliau ayahmu sendiri Bli Gung.. Sebentar lagi akan dipelebonkan. Hampir sebagian besar penghuni Kota Denpasar ini akan melihat. Dan bahkan ku dengar  juga bahwa  upacara ini akan difilmkan oleh beberapa turis asing.. Apakah Bli Gung  tidak malu pada keluarga Puri sebagai putra terbesar dan yang sepentasnya bertanggung jawab terhadap jalannya upacara? (sembari memeluk Gung Gde Lila)
Gung Gde Lila : Aku bukan anaknya lagi Lastri!!  (sembari berdiri dan masuk ke kamar)
Sulastri          : (sembari bersimpuh dan menangis tersedu-sedu) Blii Guunggg jangan begitu Bli Gung Gde.. Jangan….

Matahari sudah condong ke arah barat. Sebentar lagi arakan wadah mayat ayahnya akan lewat pintu rumahnya. Dan sepanjang jalan dari Puri menuju ke kuburan akan penuh sesak oleh orang-orang yang akan menonton pembakaran..  Dengan tiba-tiba ia merasa seperti di buru oleh suara-suara sorak-sorai para pengusung bade yang gegap gempita. Gung Gde Lila merenung di beranda depan. Matanya kosong menatap langit, dan ketika bunyi kentongan dipukul di Bale Banjar, dadanya berdetak bahwa sebentar lagi anggota banjarnya akan ikut serta dalam upacara. Namun kenapa ia sendiri tidak?

Babak 11
Latar    : Ruang Keluarga Rumah Gung Gde Lila
Tokoh   : Gung Gde Lila
             Sulastri
     Anak Gung Gde Lila

Ketika kentongan dipukul untuk kedua kalinya, istrinya kembali memohon dengan mata basah dan suara yang serak..
Sulastri          : Bli Gung marilah kita pulang.. Kita malu pada tetangga..
Gung De Lila: Kalau kau mau pulang.. Pulanglah sendiri!!! (sembari membentak)
Sulastri          : Ya!! Saya akan ke Puri (sembari pergi menuju kori)

Dengan dada panas Gung Gde Lila memandang kepergian istrinya di balik kori, serta panggilan anaknya yang baru bisa mengucapkan kata “papa” tidak di balasnya. Ia hanya sanggup memejamkan matanya ketika arakan lewat di depan rumahnya serta suara para pengusung yang gegap gempita itu semakin riuh juga sampai akhirnya menghilang di kejauhan. Sesuatu telah menggetarkan jantungnya..

TAMAT


Ida Ayu Putu Novinasari

Ungkapan Bahasa Daerah Bermakna "Persatuan" atau "Kebersamaan" Berbagai Etnis di Indonesia

Ilustrasi Bahasa Daerah di Indonesia

Indonesia merupakan negara yang memiliki berbagai macam kebudayaan. Sebagai negara yang multikultural, masyarakat Indonesia tetap menyatu dan hidup secara harmonis. Selain sebagai negara yang multikultural, Indonesia juga merupakan negara yang multilingual. Kenapa Indonesia dijuluki negara yang multilingual? Hal ini dikarenakan Indonesia memiliki berbagai macam bahasa daerah. Bahasa-bahasa daerah yang ada di Nusantara memiliki kekhasan masing-masing.
Dalam bahasa daerah berbagai etnis atau suku di Indonesia terdapat ungkapan-ungkapan yang bermakna persatuan atau kebersamaan. Ungkapan tersebut dapat dikatakan sebagai sarana atau wahana pemersatu etnis-etnis di Nusantara. Beberapa ungkapan bahasa daerah yang memiliki makna “persatuan” atau “kebersamaan” adalah sebagai berikut.
1. Bahasa Bali
Etnis Bali memiliki ungkapan sagalak saguluk salanglang salunglung sabayantaka, paras-poros sarpanaya. Ungkapan ini memiliki makna bekerja sama dalam mencapai tujuan dan tolong-menolong dengan sesama. Namun, secara luas, masyarakat non-Bali (Hindu), yang bermukim di Bali lebih akrab mendengar ungkapan manyama braya, yang artinya “persaudaraan”.
2. Bahasa Jawa
Ungkapan Jawa mangan ora mangan asal ngumpul (makan atau tidak asalkan berkumpul) pertama kali berkembang pada masa Kerajaan Majapahit, tepatnya ketika Mahapatih Gadjah Mada ingin mewujudkan niat dan tekadnya untuk menyatukan Nusantara. Ungkapan ini mereprentasikan persatuan dan kebersamaan yang hingga kini masih sering digunakan oleh etnis Jawa.
3. Bahasa Sunda
Dalam ungkapan Sunda berbunyi kacai jadi salewi kadarat jadi salogok mengandung makna “persatuan”. Secara harfiah, ungkapan ini berarti ke sungai kita bersama, ke darat juga bersama. Secara kiasan, ungkapan ini bermakna susah dan senang harus dilalui bersama. Tidak hanya itu, ungkapan Sunda kaciwit kulit kabawa daging juga memiliki makna kiasan, yakni senasib sepenanggungan.
4. Bahasa Madura
Bahasa Madura mempunyai ungkapan yang bermakna “persatuan”, yakni panas kaleben ojen reng Madureh panggun settong. Ungkapan tersebut secara harfiah berarti walaupun panas dan hujan orang Madura tetap bersatu. Sementara itu, arti kiasannya adalah dalam keadaan apapun, orang Madura harus tetap bersatu. 
5. Bahasa Manggarai
Pola cama-cama ata mendo, tiwit cama-cama ata geal, ungkapan ini memiliki arti berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Secara umum ungkapan tersebut mengandung makna “kebersamaan”. Dengan demikian, orang Manggarai berpandangan bahwa seberat apapun tugas atau pekerjaan, jika dikerjakan secara bersama-sama dapat diselesaikan dengan baik.
Ungkapan-ungkapan bahasa daerah yang bermakna persatuan atau kebersamaan di atas hanya segelintir dari banyaknya ungkapan bahasa daerah yang ada, mengingat bahasa daerah yang ada di Indonesia jumlahnya sangat banyak. Dari ungkapan-ungkapan tersebut terlihat bahwa berbagai etnis di Indonesia sangat menjunjung tinggi rasa persatuan dan kebersamaan.

Rabu, 18 Juni 2014

Senja yang Tak Pernah Lupa

Ilustrasi Kakek Pedagang Asongan

Syukuri apa yang ada
Hidup adalah anugerah
Tetap jalani hidup ini
Melakukan yang terbaik
…       
(Petikan syair lagu D’Masiv berjudul “Jangan Menyerah”) 

     MENTARI pagi masih malu untuk menampakkan senyumnya. Namun, langkah ringkih Ibrahim sudah siap untuk memulai menyongsong masa depan. Masa depan yang diharapkan lebih baik dari hari sebelumnya sekalipun usia senja sudah menggerogotinya.
     Ibrahim, seorang pedagang acung berusia 70 tahun yang menjajakan makanan dan minuman ringan di seputaran Jalan Diponegoro, Denpasar. Biasanya ia berdagang di seputaran dekat tempat tinggalnya di Nusa Kambangan. Namun, pagi itu tampak berbeda. Ia mencoba mengadu peruntungannya di Jalan Diponegoro, sembari berharap hari itu menjadi hari yang lebih baik dari hari-hari sebelumnya.
     Sudah hampir lima dasawarsa, kakek yang kulitnya penuh keriput ini menjejakkan langkahnya di Pulau Dewata. Awal petualangannya di pulau dewata ini bermula pada tahun 1966. Saat itu, ia bersama kawannya, Abdullah, memantapkan hati untuk pergi meninggalkan kampungnya di Lombok Timur. Ia menumpang truk yang membawa sayur-mayur untuk menuju Bali. Dengan modal Rp 125,- Ibrahim muda dan kawannya terpaksa angkat kaki dari pulau yang dijuluki pulau seribu masjid itu. Bukan tanpa alasan, saat itu sedang terjadi “operasi sapu bersih PKI” oleh tentara. Ia memang bukan anggota PKI ataupun anggota ormas yang sepaham dengan PKI. Namun, ia takut dituduh sebagai PKI dan dihukum mati lantaran ia bekerja di ladang pertanian milik seorang gembong PKI di Lombok Timur.
      Sebenarnya Ibrahim tak kuasa meninggalkan kampung halamannya karena istrinya sedang hamil tua dan seorang anak lelakinya baru berusia 1,5 tahun. Batinnya bergejolak. Kebimbangan menghantui pikiran dan hatinya. Namun, keadaannlah yang memaksanya untuk bertindak demikian. Ia berharap di tempat yang baru, ia dapat bertahan hidup dan membawa pulang setumpuk cahaya kebahagiaan untuk keluarganya.
    Sesampainya di Denpasar, Ibrahim muda linglung, bingung menentukan apa yang harus ia lakukan. Denpasar pada awal 1966, merupakan sebuah kota yang sedang bergolak antara tetap pada rezim lama atau ikut pada orde yang baru. Ibrahim muda ketika itu menumpang tinggal di kontrakan familinya yang bekerja sebagai buruh bangunan di Denpasar. Ia kemudian diajak oleh familinya untuk bekerja sebagai buruh bangunan. Penghasilanya yang pas-pasan membuat ia memutar otak agar bisa bertahan di kota besar, seperti Denpasar dan mengirimkan sebagian rezekinya kepada keluarganya di kampung halaman. Ia memutar otak, dan akhirnya ia memutuskan untuk menanggalkan profesinya sebagai buruh bangunan guna menjadi pedagang acung yang menjajakan makanan dan miuman ringan. 
     Modal hasil jerih payahnya sebagai buruh bangunan, ia pergunakan untuk memulai berjualan. Ibrahim memberanikan diri untuk melakukan pekerjaan yang sebelumnya belum pernah ia lakukan. Waktu itu, ia berjualan di sekitar Penjara Denpasar (sekarang menjadi pusat Pertokoan Kertawijaya). Banyak pembeli dagangannya merupakan keluarga para penghuni penjara yang kebetulan menjenguk keluarganya di Penjara dan para petugas.
    Tahun 1990-an merupakan tahun yang begitu berarti bagi Ibrahim. Kenapa? Karena pada dekade tersebut penghasilan yang ia terima dapat dikatakan cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
     “Enak zaman Bapak Harto (Soeharto-pen), saya sehari dapat ada Rp 15.000 kotor, bersihnya saya dapat Rp 9.000” tutur Ibrahim polos. Dari hasil tersebut, ia dapat mengirimkan setengahnya kepada keluarganya di Lombok ataupun mudik ke kampung halamannya setiap hari raya Idul Fitri datang. 
     Sayangnya, era Reformasi yang digadang-gadang oleh berbagai kalangan intelektual dapat mengubah nasib bangsa Indonesia, tak dirasakan oleh kaum kecil, seperti Ibrahim. Penghasilan yang didapatkannya tak jauh berbeda ketika zaman Soeharto berkuasa, bahkan semakin menurun. Apalagi laju kenaikan harga-harga kebutuhan pokok yang semakin mencekik bagi kaum marjinal, salah satunya seperti yang dialami oleh kakek berbaju kemeja kedodoran warna biru kotak-kotak dan celana kedodoran ini..
     Setiap hari, dari pagi menyongsong hingga larut malam, kakek yang bertubuh renta dan beruban itu melangkahkan kakinya berjualan makanan dan minuman ringan. Ibrahim memanggul wadah tempat untuk menaruh makanan dan minuman ringan. Berat wadah itu tidak boleh diremehkan tetapi Ibrahim tetap kuat menahan beban itu di bahunya. Meski keringat bercucuran, panas matahari membakar kulitnya, kakek yang mengenakan topi lusuh itu tetap semangat dan pantang menyerah menjajakan makanan dan minuman ringan. Penghasilan yang didapat dari usaha pantang menyerahnya itu belum cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya di Kota Denpasar. Makan saja, Ibrahim mengalami kesulitan. Ditambah lagi ia harus patungan bersama teman-temannya untuk membayar biaya kos.
      “Kalau sekarang cuma dapat Rp 30.000, Rp. 40.000 paling banyak Rp 60.000 sehari. Tapi itu kotor. Bersih cuma dapat Rp 10.000-Rp 15.000.” tutur kakek itu polos sepolos sorotan matanya yang sayu. Hal itu membuatnya semakin pusing dan sulit untuk membantu keluarganya, “Ya sekarang kalau ada lebihan saja bisa mengirim uang ke Lombok. Pulang saja sudah jarang. Lima tahun sudah saya tidak pulang.” tutur Ibrahim lugu.
     Walau cobaan silih berganti menimpanya, ia tetap bersyukur kepada Sang Pencipta dengan segala nikmat yang telah diberikan-Nya. Ia percaya bahwa segala hal yang terjadi pada dirinya sudah digariskan oleh-Nya. Tak pernah sedikitpun terlintas dalam benaknya untuk marah atas nasibnya. Ibrahim tetap ramah dan memberikan senyum terindahnya pada dunia dan Sang Pemberi Nafas Kehidupan.
     Ketika panggilan adzan dzuhur berkumandang, Ibrahim segera meninggalkan dagangannya. Ia menitipkan daganganya pada salah satu toko di Pertokoan Kertawijaya untuk bergegas menuju masjid terdekat, yaitu Masjid Suci. Tak ada kekhawatiran sedikitpun dalam dirinya kalau dagangan dan kotak uangnya itu akan “dijahili”. Dengan langkah ringkihnya, ia menuju masjid. Dalam perjalannya menuju masjid, tak lupa ia menghampiri para pedagang, baik pedagang acung maupun para pemilik warung di sekitar tempat ia berjualan, yang beragama Islam, untuk menuju masjid guna bersama-sama menunaikan panggilan-Nya. Namun apa daya, usaha Ibrahim untuk mengajak para kawan-kawannya sesama pedagang sia-sia belaka. Tak jarang hardikan ia terima dari para sesama pedagang yang lebih memilih untuk tetap mengurus keduniawian ketimbang memenuhi panggilan Sang Pencipta. “Yang ngasih rejeki itu Allah, jadi saya harus berterima kasih kepada Beliau yang sudah ngasih saya rejeki.” tutur Ibrahim.
     Inilah Ibrahim, sosok yang tak pernah kenal lelah untuk terus berjuang melawan kemiskinan yang makin lama semakin menggerogoti usia rentanya. Terus bersyukur dan menjalani kewajiban kepada-Nya adalah sebuah sikap yang dewasa ini sudah sangat jarang kita temukan di lingkungan masyarakat yang semakin hedonis oleh kegemeralapan dunia. Ibrahim, sebuah renungan bagi kita semua.

Ida I Dewa Agung Istri Kanya, Wanita Besi Sang Srikandi Perang Kusamba (Feature)

Ilustrasi Ida I Dewa Agung Istri Kanya sedang Memimpin Pasukan Klungkung


Anda pasti tahu srikandi perang Aceh Tjoet Nja’ Dhien atau Tjoet Meutia, lalu Raden Ayu Serang yang dikenal dengan nama Nyi Ageng Serang dari Jawa. Namun, tahukah Anda siapakah sebenarnya Ida I Dewa Agung Istri Kanya?
Ida I Dewa Agung Istri Kanya merupakan salah satu dari sekian banyak para srikandi kemerdekaan Indonesia yang seakan-akan terlupakan oleh para generasi muda Bali. Ia merupakan saudara perempuan dari Dewa Agung, Raja Klungkung yang dijuluki oleh pihak kolonialis Belanda sebagai “wanita besi” karena kegigihannya dalam melawan Belanda pada Perang Kusamba tahun 1849.
Perang Kusamba terjadi setelah benteng Goa Lawah dan Kusamba jatuh ke tangan Belanda, ketika invasi Belanda ke Bali Selatan untuk menguasai Bali. Bersama Anak Agung Ketut Agung dan Anak Agung Made Sangging, Ida I Dewa Agung Istri Kanya memimpin pasukan dan rakyat Klungkung dalam menghadapi serangan penjajah. Pada 25 Mei 1849, pasukan Klungkung yang dipimpin oleh Ida I Dewa Agung Istri Kanya menyerang kemah pasukan Belanda yang dipimpin oleh Mayor Jenderal A.V. Michiels (Perwira Belanda yang berhasil mengalahkan Pangeran Diponegoro di Jawa dan Tuanku Imam Bondjol di Minang). Serangan yang dipimpin oleh Ida I Dewa Agung Istri Kanya membuat pertahanan Belanda di Kusamba kocar-kacir. Kepanikan ini membuat Mayor Jenderal A.V. Michiels tak bisa membedakan mana pasukannya, yaitu Batalyon XIII dan mana pasukan Klungkung. Dalam pertempuran tersebut Mayor Jenderal A.V. Michiels tertembak tepat di paha kanan oleh senjata api cannoners milik pasukan Klungkung yang membuat paha kanannya hancur.
Mayor Jenderal A.V. Michiels tak bisa meneruskan pertempuran dan dievakuasi ke Padang Bai. Mayor Jenderal A.V. Michiels kemudian digantikan sementara oleh Letnan Kolonel van Swieten. Di bawah pimpinan Letnan Kolonel van Swieten, pasukan Belanda kemudian ditarik dari palagan Kusamba menuju Padang Bai. Hal ini serta merta membuat Ida I Dewa Agung Istri Kanya memimpin dan memerintahkan pasukan Klungkung menyerang rombongan pasukan Belanda yang mundur tersebut.
Akibat tembakan dari pasukan Klungkung pimpinan Ida I Dewa Agung Istri Kanya, Mayor Jenderal A.V. Michiels tak dapat ditolong oleh tim dokter Belanda hingga akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya pada 25 Mei 1849 pukul 23.00. Kematiannya membuat moril pasukan Belanda seketika runtuh, sehingga mereka menarik diri dari Klungkung. Kematiannya juga menambah panjang deretan korban dipihak Belanda selama perang tersebut menjadi 11 orang perwira dan bintara serta 28 orang luka-luka. Sekitar 800 orang pasukan Klungkung gugur sebagai kusuma bangsa dalam mempertahankan kemerdekaan. Berhasilnya pasukan Klungkung di bawah Ida I Dewa Agung Istri Kanya membuat namanya harum sebagai srikandi kemerdekaan bangsa, terutama kedaulatan Kerajaan Klungkung.
Pasca Perang Kusamba 1849 dan setelah Raja Klungkung Dewa Agung Putra, saudara laki-lakinya wafat pada 1850, maka tampuk pemerintahan dipegang oleh Ida I Dewa Agung Istri Kanya selama kurang lebih 10 tahun. Selain memegang tampuk pemerintahan, Ida I Dewa Agung Istri Kanya mengisi waktu sebaga sastrawan dengan mengubah dan membuat kidung-kidung. Karya-karya yang terkenal, antara lain: Pralambang Bhasa Wewatekan dan Kidung Padem Warak yang mengisahkan peristiwa-peristiwa yang paling mengesankan dalam hidupnya. (Ida Ayu Putu Novinasari)

Peran Empat Pilar dalam Persatuan dan Kesatuan Bangsa (Opini)


             

Empat Pilar Kebangsaan

   
  Indonesia merupakan sebuah negeri yang dianugerahi Tuhan bermacam-macam keunikan, dari kekayaan alam hingga kekayaan budaya. Indonesia membentang luas dari ujung barat Sabang hingga ujung timur Merauke. Apabila Indonesia dibentangkan pada peta Eropa, maka Indonesia akan menutupi hampir seluruh Eropa, dari London hingga Istanbul. Indonesia juga merupakan salah satu negara dengan komposisi multikultural yang besar. Di Indonesia terdapat hampir 760 bahasa dengan sekitar 500 etnis. Selain itu, hampir semua agama besar ada di Indonesia, dari Islam, Hindu, Kristen, Katholik, Buddha, hingga Konfusianis. Kenanekaragaman merupakan anugerah Tuhan yang diberikan kepada negeri ini. Namun, keanekaragaman ini juga memiliki potensi perpecahan karena perbedaan horizontal maupun vertikal yang mewarnai negeri ini. Sebagai bangsa yang besar, Indonesia menghadapi berbagai tantangan dalam ekistensinya sebagai sebuah bangsa dalam percaturan politik dunia.

     Bangsa Indonesia dalam menghadapi tantangan tersebut harus memiliki sebuah wawasan kebangsaan yang menjadi pegangan dalam menghadapi tantangan zaman. Wawasan kebangsaan ini tidak bersifat sempit (seperti atas dasar SARA), melainkan atas dasar Empat Pilar Kebangsaan. Empat Pilar Kebangsaan ini merupakan suatu konsep wawasan kebangsaan yang dicetuskan oleh guru bangsa, yaitu Alm. Dr (HC.) Taufik Kiemas. Empat Pilar kebangsaan ini menurut beliau terdiri atas: Pancasila, Undang Undang Dasar 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Pilar adalah tiang penyangga suatu bangunan agar bisa berdiri secara kokoh. Apabila tiang ini rapuh, maka bangunan akan mudah roboh.
    Empat tiang penyangga ini dapat disebut sebagai soko guru yang kualitasnya terjamin, sehingga pilar ini akan memberikan rasa aman dan tentram. Empat pilar itu pula yang menciptakan terwujudnya kebersamaan dalam hidup bernegara. Rakyat akan merasa aman terlindungi sehingga merasa tentram dan bahagia. Empat pilar tersebut juga fondasi atau dasar untuk membuat suatu bangunan yang kokoh. Dasar atau fondasi bersifat tetap (statis), sedangkan pilar bersifat dinamis.
    Dari empat pilar tersebut, menurut penulis yang paling utama, yaitu Bhinneka Tunggal Ika karena semboyan tersebut berfungsi sebagai perekat semua rakyat dan semua kepulauan yang ada di Indonesia. Frasa Bhinneka Tunggal Ika berasal dari bahasa Jawa Kuna dan seringkali diterjemahkan dengan kalimat “berbeda-beda tetapi tetap satu”. Kalimat ini merupakan kutipan dari sebuah kakawin Jawa Kuna, yaitu kakawin Sutasoma karangan Mpu Tantular semasa kerajaan Majapahit sekitar abad ke-14 yang mengajarkan toleransi antara umat Hindu Siwa dengan umat Buddha. Kutipan ini berasal dari pupuh 139 bait 5. Kemudian, bait ini diterjemahkan: “Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda. Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali? Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal”. Artinya, walapun bangsa Indonesia mempunyai latar belakang yang berbeda, baik dari suku, ras, maupun agama, tetapi tetap bangsa Indonesia. Pengukuhan ini telah dideklarasikan semenjak tahun 1928 yang terkenal dengan nama "sumpah pemuda". Namun, sekarang Bhineka Tunggal Ika pun ikut luntur, banyak anak muda yang tidak mengenalnya, banyak orang tua lupa akan kata-kata ini, banyak birokrat yang pura-pura lupa, sehingga ikrar yang ditanamkan jauh sebelum Indonesia merdeka memudar, seperti pelita kehabisan minyak. Kehawatirannya adalah akibat lupa, semuanya akan menjadi petaka, nanti akan muncul kembali kata-kata "saya orang Ambon", "saya orang Jawa", dan sebagainya atau kalimat “karena saya yang menonjol maka saya harus menjadi pemimpin”.

Empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai wawasan kebangsaan dibutuhkan oleh bangsa Indonesia dalam menghadapi tantangan zaman. Empat Pilar ini semestinya harus dijaga, dipahami, dihayati, dan dilaksanakan dalam pranata kehidupan sehari-hari. Pancasila yang menjadi sumber nilai menjadi idealogi, UUD 45 sebagai aturan yang semestinya ditaati, NKRI adalah harga mati, dan Bhineka Tunggal Ika yang merupakan perekat semua rakyat, harus dilaksanakan dengan baik. Dalam bingkai 4 pilar tersebut yakinlah tujuan yang dicita-citakan bangsa ini akan terwujud. Namun, sangat disayangkan empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara ini kini telah dihapuskan oleh Mahkamah Konstitusi pada awal April 2014. Alasan empat pilar tersebut dihapus karena empat pilar dianggap akan mengaburkan posisi Pancasila sebagai dasar negara yang disamakan dengan posisi Bhinneka Tunggal Ika dan posisi yang lainnya. Walaupun sebenarnya hal tersebut merupakan sebuah alasan yang cukup konyol untuk sesuatu yang merupakan jati diri perekat kesatuan dan persatuan bangsa.

Sudahkah Janji Kemerdekaan Itu Dilunasi? (Opini)



Ilustrasi Teks Pembukaan UUD 1945
Cita-cita kemerdekaan negara atau tujuan negara Republik Indonesia selama ini tertuang dalam isi pembukaan UUD 1945. Akan tetapi, cita-cita itu dapat pula dikatakan sebagai sebuah janji. Janji adalah kesediaan, kesanggupan untuk berbuat, memenuhi, dan mencapai. Janji melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Negara Republik Indonesia telah berjanji kepada seluruh rakyat Indonesia dan janji itu haruslah dilunasi.
Janji itu sudah mulai dilunasi tetapi hanya untuk sebagian rakyat, sementara sebagian rakyat yang lain masih menunggu dengan setia pelunasan janji itu. Apakah benar janji itu belum dilunasi untuk seluruh rakyat Indonesia? Jika ragu, tengoklah potret pendidikan Indonesia kini. Sudahkah segala permasalahannya terobati?
Saat ini pendidikan di Indonesia masih terserang penyakit kronis karena masih banyak anak bangsa yang belum mendapatkan pendidikan yang layak sebagaimana mestinya, bahkan masih banyak anak bangsa yang sama sekali belum mencicipi bangku sekolah. Hal ini dapat dikatakan sebagai suatu ironi karena ternyata cita-cita kemerdekaan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang tertuang dalam isi Pembukaan UUD 1945 belum dapat dilunasi kepada seluruh rakyat Indonesia.
Pendidikan yang layak dari dulu hingga sekarang hanya boleh dicicipi oleh kaum-kaum kelas atas yang punya duit (bangsawan, priyayi, jutawan, dan lain-lain). Sementara kaum-kaum marjinal, seperti anak-anak jalanan, anak-anak pengemis, dan sebagainya dianggap “tidak mampu”  atau “tidak pantas” menggunakan pensil, pena, dan mendapatkan berbagai pengetahuan. Mereka dipaksa bertekuk lutut pada ketidakmampuan finansial. Keinginan untuk mengenyam pendidikan seolah dipenjara karena ketidakadilan. Padahal, kaum-kaum marjinal juga mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Pendidikan merupakan hak setiap warga negara, namun masih ada dari beberapa mereka yang belum mendapatkan hak tersebut. Hingga saat ini, peluang terbesar untuk memperoleh akses pendidikan yang baik atau layak hanya bagi orang yang memiliki kemampuan finansial yang mumpuni.
Sebenarnya hal tersebut tidak boleh terjadi. Hal ini sungguh memprihatinkan karena ternyata pendidikan yang layak masih terkesan “eksklusif”. Pemerintah dipandang belum berhasil menyingkirkan “sekat” tersebut. Berbagai upaya memang telah dilakukan oleh pemerintah, tetapi hasilnya belum dapat menuai hasil yang diharapkan. Padahal, arah bangsa nantinya ada pada tangan anak-anak bangsa (tanpa memandang kaya atau miskin) karena seluruh anak bangsa inilah yang nantinya akan menjadi penerus perjuangan bangsa dan kemajuan negara.
Pendidikan di Indonesia semakin melenceng dari cita-cita bangsa. Selain ada kecenderungan pendidikan yang semakin tidak terjangkau oleh rakyat miskin, kurangnya orientasi pendidikan terhadap pembangunan moral juga menjadi suatu permasalahan yang serius. Hal ini dapat dibuktikan dengan melihat realita anak-anak yang bertindak amoral, seperti melakukan tindak kekerasan kepada teman sebaya, melakukan tindak kekerasan seksual, dan sebagainya. Pola pemikiran guru-guru (pengajar) saat ini juga semakin jauh dari kesan ngayah. Dewasa ini, banyak guru (pengajar) yang membagikan ilmu mereka dengan “pamrih” sehingga label sosial guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa dapat dikatakan mulai tergerus. Indonesia mengalami krisis pengajar yang mau diintruksikan untuk mengajar di daerah-daerah terpencil, apalagi tanpa bayaran. Padahal, banyak anak bangsa di daerah terpencil yang belum tersentuh. Apabila seluruh daerah di Indonesia disentuh, maka cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa (seluruh bangsa tanpa terkecuali) tidaklah menjadi cita-cita yang masih menggantung.
Permasalahan-permasalahan inilah yang seharusnya menjadi perhatian pemerintah, mengingat pendidikan dapat dikatakan sebagai eskalator pembentukan kesadaran bangsa, peningkatan taraf ekonomi, dan pengangkat status sosial. Pendidikan tidak hanya mampu mengembangkan potensi manusia secara individu, tetapi juga dapat mengembangkan potensi masyarakat. Tidak hanya pemerintah, pelunasan janji kemerdekaan ini haruslah menjadi perhatian dan tanggung jawab moral setiap anak bangsa, terutama anak bangsa atau pemuda-pemudi yang sudah dapat mengenyam pendidikan yang baik. Berbagai cara dapat dilakukan, salah satunya membuat organisasi/komunitas yang bergerak di bidang pendidikan. Pemuda-pemudi sebagai tonggak perubahan bangsa seyogyanya ikut turun tangan melunasi janji kemerdekaan, agar negara ini tidak terus terbelenggu dalam lilitan hutang.