Rabu, 14 Agustus 2013

Ditikam Saudara Sendiri (Cerpen)

Ilustrasi Ditikam
 SETIAP aku melihat kotak hitam di pojok ruangan rumahku yang menampilkan gambar serta tangisan para TKI di negeri orang, aku selalu teringat akan kejadian yang membuat batinku berkecamuk. Kejadian yang tidak akan pernah aku lupakan seumur hidupku. Kejadian yang menyadarkanku bahwa ego hanya akan menjatuhkanmu dengan kasar ke jurang kesengsaraan. Kejadian yang seolah memukuliku hingga aku berjanji tak akan mengulanginya lagi. Aku masih ingat dengan jelas bagaimana cerita, alur, setting, tokoh-tokoh yang terlibat di dalam kejadian itu. Kejadian yang terjadi 3 tahun yang lalu itu saat usiaku 17 tahun  rupanya masih meninggalkan jejak yang cukup dalam pada batinku.
“Nek kowe ra gelem bayar, kowe bakal tak lebokke kantor polisi!”, ucap Pak Hendry dengan volume tinggi, seorang rentenir yang tidak punya hati sama sekali. Bagaimana tidak, keluargaku hanya meminjam 2 juta rupiah untuk biaya adik-adikku opname di rumah sakit sebulan yang lalu, tapi kini sudah beranak menjadi 4 juta rupiah.
“Tapi Pak, maaf kami belum ada uang pak. Untuk makan saja kami susah, bagaimana bisa kami membayar utang kami berikut bunga yang mencekik itu. Kami minta sedikit waktu lagi, pasti kami bayar”. Ayahku memohon sambil menundukkan kepalanya di kaki rentenir tak punya hati itu.
“Baiklah. Tapi aku hanya memberikan kalian waktu selama 2 minggu. Jika kalian tidak mampu melunasi utang-utang kalian, polisi akan siap membawa sampeyan ke jeruji besi. Ingat HANYA 2 MINGGU!”. Pak Hendry pun melangkahkan kakinya pergi meninggalkan gubuk kami tanpa meminum kopi hitam hangat buatan ibuku. Seketika itu juga wanita yang telah melahirkanku dengan susah payah menangis. Mungkin karena terlalu banyak beban dalam hatinya.
Dari balik pintu kamarku ini, aku melihat dengan jelas bagaimana gurat kebingungan yang luar biasa terpancar dari wajah kedua orang tuaku. Dari balik pintu kamarku ini pula, aku hanya bisa terdiam sambil memikirkan bagaimana cara membayar utang-utang kedua orangtuaku. Aku sendiri belum bekerja, masih tercatat sebagai salah satu siswi di sebuah sekolah rakyat, yang tidak perlu mengeluarkan rupiah sepeser pun. Kebingunganku membuatku ingin mencari udara segar di luar rumah, siapa tahu ada solusi bagi permasalahan ini pikirku. Apalagi mendadak suasana di dalam rumah membuatkan panas.
Saat aku berjalan-jalan di pinggiran sawah dekat rumahku, aku bertemu dengan Pak Kasim dan Bu Ainun. Mereka adalah agen penyalur TKW yang sangat terkenal di desaku, dan mereka adalah teman baik kedua orangtuaku. Aku diajak berbincang dengan mereka, dan aku pun menceritakan permasalah yang sedang menimpa keluargaku. Mereka menawariku bekerja di Hongkong, dengan upah yang sangat menggiurkan. Bagaimana tidak, kata mereka upah bekerja sebulan di Hongkong kalau dirupiahkan sekitar 15 juta. Tidak hanya itu, mereka juga mau membayar lunas utang-utang orangtuaku jika aku mau ke Hongkong bersama mereka besok. Aku yang sangat kalut, tidak tahu harus mencari uang ke mana untuk menyelamatkan kedua orangtuaku, langsung saja mengiyakan dan menandatangi perjanjian bermaterai.
***
MALAM harinya, seperti biasa kami sekeluarga berkumpul untuk menyantap hidangan seadanya yang dengan tulus dibuatkan oleh ibuku. Menu kami malam ini adalah singkong. Maklum saja, penghasilan ayah yang seorang petani menggarap sawah milik tetangga hanya cukup untuk membeli singkong ini. Tidak seperti biasanya, ayah dan ibuku hanya diam sambil menyantap singkong rebus ini, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Aku yang tidak tenang melihat prilaku kedua orangtuaku ini, membuka kekakuan ini dengan sebuah pertanyaan. “Pak, Bu.. Tadi aku bertemu dengan Pakde Kasim dan Bude Ainun.”
“Lantas?” ucap ibuku pelan. “Mereka menawariku bekerja menjadi TKW di Hongkong, dan akan melunasi utang-utang kita. Ini uangnya.” Kataku sambil memperlihatkan uang 4 juta rupiah itu.
“Bapak tidak setuju kamu pergi, Ratih. Bapak tidak mau membebanimu. Pokoknya besok kamu kembalikan uang itu ke mereka. Biar Bapak yang mencari uang.”
“Tapi Pak???”, bantahku.
“Sudahlah, turuti perintah Bapakmu ini. Sana lekas tidur!”, ucap bapak dengan nada tinggi. Aku masuk ke kamar, tapi aku tidak tidur. Aku mengepak baju-bajuku. Aku ingin pergi ke Hongkong untuk membahagiakan keluargaku. Aku menulis surat yang isinya permohonan maafku karena aku tidak menuruti perintah bapakku. Dalam amplop itu, aku juga memasukkan uang 4 juta rupiah untuk melunasi utang ke rentenir itu. Setelah itu aku merebahkan tubuhku di kasur, berharap mimpiku kali ini akan lebih indah dan esok menjadi awal kesuksesanku.
***
SEBELUM orangtuaku terbangun dari tidurnya, kira-kira pukul 4 pagi, aku keluar pergi ke rumah Pakde Kasim dan Bude Ainun. Setibanya di sana, ternyata tak hanya aku yang bercita-cita sukses di Hongkong, ada Lastri, Surti, dan Tini. Bedanya keluarga mereka mengizinkan mereka menjadi TKW, sedangkan aku tidak. 
Setelah diberikan pengarahan sekitar 25 menit oleh Pakde Kasim, kami pun berangkat menuju Hongkong. Rencananya, kami akan dijadikan pembantu rumah tangga di sana. Semula aku tak sedikitpun menaruh curiga, karena Pakde Kasim dan Bude Ainun sangat baik padaku. Selama perjalanan, mereka mengajari kami sedikit bahasa Cina dialek Hokkian dan memberi kami kamus bahasa itu. Setibanya di Hongkong perlakuan mereka masih tetap sama bahkan cenderung memanjakan kami. Kami diajak makan ke sebuah restoran ternama, berbelanja beberapa pakaian dan kosmetik mahal. Kami tidak langsung disuruh bekerja, sudah 3 hari kami di Hongkong, hanya kegiatan-kegiatan itu saja yang kami lakukan.
Sampai pada akhirnya, aku, Lastri, Surti, dan Tini diajak Pakde Kasim dan Bude Ainun menemui seseorang bernama Lee, pria berusia sekitar 40 tahun dengan perawakan yang gemuk dan putih. Saat berkenalan dengannya pertama kali, tidak ada hal buruk, ia sangat sopan. Pakde dan Bude pun berbincang dengan Lee, membicarakan sesuatu yang aku tidak mengerti karena terbatasnya kosakata bahasa Cina dialek Hokkien yang aku kuasai. Dari raut mereka bertiga sepertinya mereka sangat senang, terlihat dari tawa yang mengemuka di raut wajah mereka. Usai berbincang, Pakde Kasim, Bude Ainun, dan Lee berjabat tangan. Entah apa maksud jabatan tangan itu. Tiba-tiba saja Pakde dan Bude berbicara kepada aku, Lastri, Surti, dan Tini. Mereka menyuruh kami untuk ikut bersama Lee, pria yang baru 30 menit aku mengenalnya. Semula kami menolak, tapi Pakde dan Bude membujuk kami dengan rayuan-rayuan maut. Mereka bilang Lee adalah majikan kami. Kami setuju dan ikut dengan Lee.
Namun alangkah tragisnya nasib kami, aku, Lastri, Surti, dan Tini malah diajak ke  salah satu tempat prostitusi terbesar di Hongkong bersama Lee. Parahnya lagi, kami ternyata dijual oleh Pakde Kasim dan Bude Ainun. Tega sekali Pakde Kasim dan Bude Ainun pikirku. Orang yang aku kira baik ternyata berhati iblis. Aku seperti ditikam saudara sendiri, sama-sama orang Indonesia tapi kejam. Pakde Kasim dan Bude Ainun yang awalnya sangat baik dan seolah-olah ingin membantu, ternyata mereka meludahi mukaku. Di sisi lain, aku sangat menyesal telah tidak mengindahkan perintah kedua orangtuaku yang melarangku untuk menjadi TKW.  Di tempat prostitusi itu, kami gadis-gadis lugu dari desa dijadikan budak pemuas nafsu laki-laki hidung belang di Hongkong, kami tidak boleh menolak 1 ajakan berkencan dengan lelaki manapun. Aku pernah menolak berhubungan intim dengan salah seorang lelaki Hongkong, dan aku langsung dihajar oleh anak-anak buah Lee. Tubuhku penuh lebam sangat sakit, namun tidak sesakit hatiku karena aku dijual oleh orang yang aku kira berhati malaikat. Entah sudah berapa lelaki yang meniduri ranjangku, meskipun tidak suka, aku harus mau menuruti nafsu-nafsu mereka.
Sampai akhirnya di suatu malam, tepat hari ke-21 aku di tempat prostitusi ini aku berhasil kabur, karena aku sudah tidak kuat lagi melayani nafsu-nafsu bejat itu. Sore harinya, aku membeli obat tidur di apotek dekat tempat prostitusi itu. Aku buatkan Lee dan beberapa anak buahnya jus pisang kesukaan mereka, dan saat itulah aku masukkan obat tidur itu. Saat mereka tertidur lelap, aku mengemasi barang-barangku. Aku mengajak Lastri, Surti, dan Tini, dan mereka bersedia. Kami bergegas mencari taksi dan menuju Bandara. Dengan uang seadanya, kami membeli tiket penerbangan menuju Indonesia. Setibanya di Indonesia, kami langsung menuju desa yang sangat kami cintai. Aku mencari kedua orangtuaku, dan langsung meminta maaf kepada mereka, menyesal karena aku tidak mengindahkan larangan mereka. Aku juga melaporkan Pakde Kasim dan Bude Ainun ke polisi atas tindakan memperdagangkan manusia, dan mereka dijebloskan ke jeruji besi yang dingin.