Rabu, 13 November 2013

Goresan Pena Terakhir Ayah (Cerpen)

Ilustrasi Goresan Pena
Sang surya telah berada di titik puncak langit. Menebarkan suhu yang tak sesejuk biasanya. Apalagi untuk para manusia yang tinggal di kota yang tidak pernah berhenti beraktivitas seperti Jakarta. Saat suasana terik yang enggan untuk bersahabat, Pak Ridho masih tetap berlalu lalang memanggul beberapa karung beras di punggungnya. Peluh yang bertetesan seperti sedang mandi itu tak dihiraukannya, meskipun dua buah kakinya mulai gemetaran karena belum memasukkan sebutir nasi pun ke dalam perutnya. Entah sudah berapa karung yang diangkatnya, tapi ia masih tetap bisa mengobarkan semangat pantang menyerah dalam dirinya mungkin karena ia teringat perkataan Anto, anak sulungnya kemarin pagi bahwa ia sampai kapan pun tak akan pernah mampu untuk menyekolahkan Anto hingga perguruan tinggi. Kata-kata yang dilontarkan Anto pun tak sewajarnya, sangat kasar dan penuh cacian.
“Bang Ridho, istirahat dulu Bang. Daritadi sepandang mata saya memandang, abang tidak henti-hentinya membawa karung beras di punggung abang. Jangan terlalu diporsir.” Kata Pak Ragil kepada Pak Ridho, ia adalah sahabat Pak Ridho sejak dulu di sekolah rakyat.
“Tidak apa, ini demi Anto putraku. Dia ingin bersekolah di tempat yang bagus, jadi aku harus bekerja lebih keras lagi,”
“Ya sudah bang, kalau begitu. Tapi jangan dipaksa bang, kalau capek istirahatlah.”
Tidak terasa hari sudah menunjukkan pukul 17.45, senja telah menampakkan dirinya, menghipnotis setiap mata dengan pencampuran warnanya yang indah. Dengan nafas yang tersengal-sengal dan peluh bercucuran membanjiri sekujur tubuh Pak Ridho pulang dengan membawa uang 45 ribu rupiah dan satu kotak martabak manis kesukaan anak-anaknya, termasuk Anto, berharap hati anaknya itu akan luluh dan tidak marah lagi.
Sesampainya di rumah, sebuah gubuk sederhana beralaskan tanah, Pak Ridho langsung memberikan martabak manis itu ke Anto, namun Anto seakan tidak sudi untuk mencicipinya. Pak Ridho hanya dapat mengelus dada, ia tidak sedikit pun kesal dengan perilaku anaknya itu. Karena martabak manis itu tidak mau dicicipi Anto, Pak Ridho pun memberikannya ke istri dan kedua adik Anto. Untunglah, tawa canda kedua anaknya yang lain mampu menghibur hatinya.
***
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali bahkan sebelum ayam jantan berkokok, Pak Ridho sudah berangkat kerja. Ia berjalan kaki menuju pasar. Seperti biasa, ia memang rutin bekerja menjadi kuli di pasar, kadang kalau ada proyek pembuatan rumah, ia biasa menjadi kuli bangunan. Tapi entah mengapa, hari itu kondisi pasar sedang sepi, hanya terlihat beberapa orang pembeli yang lalu lalang, mungkin karena harga-harga di pasar pada meroket tajam. Bukan salah pedagang sebenarnya karena kendali bukan di tangan mereka.
Pak Ridho hanya bisa terduduk lemas dengan tatapan menerawang. Dalam otaknya kebingungan menyelimuti karena kalau kondisi pasar seperti ini terus bagaimana nasib keluarganya. Saat dirinya sedang asik bergelut dengan kebingungannya, Pak Abil mengagetkannya. Pak Abil merupakan teman semasa dulu di bangku sekolah, tapi ia jauh lebih sukses dari Pak Ridho karena ia bekerja di Malaysia sebagai TKI. Pak Abil mengajak Pak Ridho untuk menjadi TKI dengan iming-iming penghasilan yang besar dan lingkungan kerja yang sangat nyaman.
Awalnya Pak Ridho terasa berat untuk meninggalkan keluarganya, namun setelah ia berpikir cukup lama, ia pun bersedia. Setelah mereka berbincang cukup lama, mereka melangkahkan kaki menuju tempat penyalur TKI yang sebelumnya sudah memberangkatkan Pak Abil dengan selamat sentosa.
Sesampainya disebuah rumah beralaskan keramik berwarna merah, mereka langsung menuju ke sebuah ruangan dengan minim penerangan, bahkan udara pun seakan sulit untuk berlalu lalang. Di sana Pak Ridho berjumpa dan berbicara membuat perjanjian hitam di atas putih dengan bos agen penyalur TKI itu.
***
Tidak terasa sudah seminggu sejak penandatangan surat perjanjian kerja itu disepakati, kini tiba saatnya Pak Ridho berangkat menuju Hongkong. Istri dan kedua anaknya meneteskan air mata berat melepaskan keberangkatan sosok yang mereka cintai. Namun anehnya, Anto malah enggan mengantarkan bapaknya meskipun hanya di depan rumah. Meskipun demikian, Pak Ridho tidak berkecil hati, ia tetap semangat untuk mendapatkan uang yang banyak supaya bisa memberikan nafkah finansial kepada istri dan anak-anaknya.
Setelah perjalanan yang melelahkan, Pak Ridho dan beberapa TKI lainnya akhirnya sampai di Bandara. Mereka diajak ke sebuah rumah sederhana dan di sana mereka diberikan pengarahan oleh Suri, penanggung jawab agen penyalur TKI. Mereka juga diajarkan sedikit bahasa Cina dialek Hokkian. Usai diberikan pengarahan dan pengajaran, Pak Ridho dan beberapa TKI lainnya langsung didistribusikan ke rumah-rumah orang-orang Hongkong untuk menjadi pembantu. Pak Ridho sendiri bekerja sebagai tukang kebun dan pembantu di sebuah rumah besar dengan majikan yang kaya raya. Namun kehidupan Pak Ridho tidak berjalan mulus.
Majikan Pak Ridho yang bernama Tan Tjoen An meskipun kaya raya, kelakuannya sangat tidak manusiawi, bahkan istri dan anak semata wayangnya juga demikian. Bayangkan saja, Pak Ridho hanya diberikan makan 1x sehari itupun tanpa lauk, hanya kuah sop. Tidur pun, Pak Ridho tidak di kamar dengan alas kasur yang semestinya, ia tidur di lantai dapur. Gaji juga tidak seberapa, hanya 150ribu apabila dirupiahkan. Kekejaman dan penganiayaan sering diterima Pak Ridho. Pak Ridho yang sangat sabar hanya dapat menahan rasa sakit yang diterimanya, baik fifik maupun mental.
***
Sampai suatu ketika, saat Pak Ridho menunaikan ibadahnya yaitu sholat. Ia dilarang, kitab sucinya diambil secara paksa dan diinjak-injak. Pak Ridho yang tidak terima akan perlakuan keji majikannya itu lantas mengambil sikap. Ia merasa terhina akibat perlakuan kasar sang majikan, seakan-akan harga dirinya diinjak. Ketika itu terpasang sebuah samurai milik majikannya di dinding berwarna putih menyala. Pak Ridho lantas mengambil pedang Tiongkok itu dan langsung menebas leher sang majikan hingga berlumuran darah.
Setelah kejadian yang berlangsung singkat tersebut, Pak Ridho tersadar akan perbuatannya yang sangat keji dengan membunuh majikannya. Pandangan matanya terus tertuju pada tubuh Tuan Tan yang telah terbujur kaku dan bersimbah darah. Rasa bersalah dan berdosa mengahantui benaknya, sesaat ia teringat akan keluarganya di kampong. Seketika ia mengambil secarik kertas yang tergeletak di atas meja, ia pun kemudian menulis surat permintaan maaf kepada keluarga Tuan Tan dan keluarganya di kampong. “Maafkan saya atas perbuatan keji yang telah saya lakukan ini. Saya terpaksa melakukannya karena untuk membela harga diri dan keyakinan saya….
Anto anakku, maafkan ayah… Ayah tidak bisa membahagiakan dirimu, ayah ingin kau menjadi anak yang berguna. Jaga keluargamu, terutama Ibu dan adik-adikmu..
Selamat tinggal
Ayahmu-Ridho”
Setelah menulis surat tersebut, Pak Ridho kembali mengambil pedang yang telah ia gunakan untuk membunuh Tuan Tan. Seketika ia menghujamkan pedang itu ke dirinya sendiri sebagai rasa bersalah dan berdosanya.



SEKIAN