Rabu, 12 Desember 2012

Penggunaan Bahasa pada Masa Kerajaan Sriwijaya


Ilustrasi Kerajaan Sriwijaya
          
          Bahasa yang digunakan pada masa kerajaan Sriwijaya adalah bahasa Melayu Kuno dan bahasa Sanskerta. Tetapi, bahasa yang digunakan sebagai bahasa resmi dan bahasa lingua franca pada masa kerajaan Sriwijaya adalah bahasa Melayu Kuno.
      Bahasa Melayu Kuno sendiri merupakan anggota rumpun bahasa Austronesia dan dianggap sebagai salah satu bentuk awal (proto) bagi bahasa Melayu. Bahasa Melayu Kuno berdasarkan catatan-catatan tertulis pernah dipakai pada sekitar abad ke-7 hingga abad ke-13, yaitu pada zaman kerajaan Sriwijaya. Keberadaan bahasa ini diketahui dari prasasti dan keping logam (ada yang berupa emas dan ada pula tembaga) yang ditemukan di seputaran Nusantara bagian barat, seperti di Pulau Sumatera dan sekitarnya, Pulau Jawa, dan Pulau Luzon, Filipina.
       Kosakata bahasa ini banyak dipengaruhi oleh bahasa Sanskerta, yang menunjukkan bahwa pengaruh budaya India banyak terserap dalam kehidupan sehari-hari masa itu. Bahasa Sanskerta hingga sekarang menyumbang kepada pengayaan kosakata Bahasa Melayu. Aksara yang digunakan dalam sumber-sumber Melayu Kuno bermacam-macam, mulai dari aksara Pallawa, aksara Kawi atau aksara Pasca-Pallawa.
          Berbicara mengenai bahasa Melayu Kuno, tidak lepas dari pengaruh bahasa Sanskerta. Fakta kebahasaan yang sulit ditolak kebenarannya adalah menonjolnya pengaruh dari bahasa Sanskerta terhadap bahasa Melayu Kuno. Pengaruh ini terjadi antara lain karena kebanyakan masyarakat penutur Melayu ketika itu menganut agama Hindu atau Buddha, yang menggunakan bahasa Sanskerta sebagai bahasa agama (Collins, 2005). Kedudukan bahasa Sanskerta yang diterima di tengah-tengah kaum bangsawan juga menjadi penyebab mengapa pengaruh itu begitu dalam terhadap bahasa Melayu Kuno. Selain kedua sebab di atas yang berada di luar bahasa Melayu, penyebab lainnya berasal dari bahasa Melayu Kuno sendiri. Bahasa Melayu Kuno adalah bahasa yang lentur, yang tidak tertutup terhadap pengaruh dari bahasa lain, apalagi terhadap bahasa yang “kaya” seperti bahasa Sanskerta.
      Akibatnya, mengalirlah kosa kata bahasa Sanskerta ke dalam bahasa Melayu Kuno, sehingga bahasa yang disebutkan terakhir menjadi kaya dengan kosa kata baru dan pada perkembangan berikutnya mampu menjadi bahasa ilmu pengetahuan dan menjadi wahana pesan yang dituliskan di atas prasasti-prasasti.
      Pada zaman kerajaan Sriwijaya, bahasa Melayu dipakai sebagai bahasa kebudayaan, yaitu bahasa buku pelajaran agama Buddha. Bahasa Melayu juga dipakai sebagai bahasa perhubungan antarsuku di nusantara maupun sebagai bahasa yang digunakan terhadap para pedagang yang datang dari luar nusantara. Pada zaman kerajaan Sriwijaya, dari abad ke-7 hingga abad ke-13 Masehi, bahasa Melayu Kuno mencapai kegemilangannya sebagai bahasa lingua franca dan bahasa resmi Kemaharajaan Sriwijaya.
       Menurut Kong Yuan Zhi, pada November 671 Yi Jing (635—713), yang di Indonesia lebih dikenal sebagai I-tsing, berlayar dari Guangzhou (Kanton) menuju India dalam kapasitasnya sebagai pendeta agama Buddha. Kurang dari dua puluh hari ia sampai di Sriwijaya, yang waktu itu sudah menjadi pusat pengkajian ilmu agama Buddha di Asia Tenggara. Di Sriwijayalah selama lebih kurang setengah tahun Yi Jing belajar sabdawidya (tata bahasa Sanskerta) sebagai persiapan melanjutkan perjalanannya ke India. Setelah tiga belas tahun belajar di India (Tamralipiti/Tamluk), ia kembali ke Sriwijaya dan menetap di sana selama empat tahun (686—689) untuk menyalin kitab-kitab suci agama Buddha. Setelah itu ia kembali ke negerinya, tetapi pada tahun yang sama ia datang kembali ke Sriwijaya dan menetap di sana sampai 695.
      Dari catatan Yi Jing itulah diketahui bahasa yang disebutnya sebagai bahasa Kunlun, yang dipakai secara luas sebagai bahasa resmi kerajaan, bahasa agama, bahasa ilmu dan pengetahun, bahasa perdagangan, dan bahasa dalam komunikasi sehari-hari masyarakat. Yi Jing menyebutkan bahwa bahasa Kunlun telah dipelajari dan dikuasai oleh para pendeta agama Buddha Dinasti Tang. Mereka menggunakan bahasa Kunlun untuk menyebarkan agama Buddha di Asia Tenggara. Dengan demikian, bahasa Kunlun menjadi bahasa kedua para pendeta itu. Ringkasnya, bahasa Kunlun merupakan bahasa resmi Kemaharajaan Sriwijaya dengan seluruh daerah taklukannya yang meliputi Asia Tenggara. Pada masa itu bahasa Kunlun telah menjadi bahasa internasional. Ternyata, bahasa Kunlun yang disebut Yi Jing dalam catatannya itu ialah bahasa Melayu Kuno.
     Prasasti-prasasti pada masa kerajaan Sriwijaya banyak yang mempergunakan bahasa Melayu Kuno diiringi dengan penulisannya mempergunakan aksara Pallawa, diantaranya:

Prasasti Kedukan Bukit, Palembang (605 Saka/683M);
Prasasti Talang Tuwo, dekat Palembang (606 Saka / 684 M); 
Prasasti Kota Kapur, Pulau Bangka (608 Saka / 686 M);  
Prasasti Karang Brahi, Kabupaten Merangin, Jambi (614 Saka / 692 M).

About

Tentang Pemilik Blog

Nama saya Ida Ayu Putu Novinasari. Biasa dipanggil Dayutu, Dayu, DT, atau doyok*. Saat ini saya sedang menempuh pendidikan di Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana. Salah satu kegemaran saya adalah merangkai kata menjadi tulisan.

Kenapa blog ini bernama Gudang Sang Pencipta???
# Blog ini diibaratkan sebagai muara tempat berkumpulnya tulisan-tulisan saya. Segala jenis tulisan. Bukan berarti karena *gudang ini tidak berharga. Setiap untaian kata yang saya tuliskan, saya berharap dapat bermanfaat untuk orang lain/