Sabtu, 14 Juni 2014

Etika Komunikasi Media Massa di Era Reformasi

         
         
Ilustrasi Media di Indonesia
         Era reformasi identik dengan era media. Tanpa media, baik media cetak maupun media elektronik, sebaran informasi dan komunikasi tidak akan terjadi. Berbagai informasi yang disebarkan itu dikemas sedemikian rupa dan diwujudkan dalam berbagai bentuk, baik tulisan, suara, gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, elektronik, dan segala jenis jalur yang tersedia. Dalam bab II pasal 3 ayat 1 UU No. 40 Tahun 1999 tentang pers disebutkan bahwa “pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.” Sedangkan pada ayat 2 disebutkan bahwa “Pers Nasional dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi”. Fungsi media massa (pers) sebagai media informasi menunjukkan bahwa pers adalah sebagai sarana untuk menyampaikan informasi secepatnya kepada masyarakat luas. Berbagai keinginan, aspirasi, pendapat, sikap, perasaan, manusia dapat disebarkan melalui pers. 
    Sebagai lembaga ekonomi, pers memang dituntut berorientasi komersial untuk memperoleh keuntungan finansial. Namun, orientasi dan misi komersial ini sama sekali tidak boleh mengurangi apalagi meniadakan fungsi pers dan tanggung jawab sosial pers, di antaranya ikut mencerdaskan generasi bangsa guna menjalankan fungsinya sebagai media pendidikan (edukasi). Namun, yang terjadi di negeri ini adalah prinsip-prinsip tanggung jawab sosial pers seakan-akan hilang oleh makin besarnya orientasi komersial yang semakin hari semakin menggerogoti dunia pers di era reformasi ini. 
       Timbulnya para konglomerat media ini disinyalir sebagai faktor utama terjadinya hal tersebut. Sebut saja Surya Paloh dengan Media Groupnya (Metro TV, Bisnis Indonesia, Media Indonesia, dll), Chairul Tanjung dengan CT Corpnya (Trans TV, Trans 7, Detik.com), Abu Rizal Bakrie dengan Viva Grupnya (TVONE, ANTV,Vivanews.com), Dahlan Iskan dengan jaringan Jawa Posnya (yang meliputi jaringan berita seluruh Indonesia) dan lainnya. Para konglomerat media ini tentunya memiliki berbagai motivasi komersial dalam menjalankan bisnis pers ini, salah satunya ialah motivasi politik. Motivasi ini timbul ketika banyaknya para konglomerat media terjun ke dalam dunia ini, sebut saja Surya Paloh (Ketua Umum Partai Nasdem/Pendiri Nasdem), Abu Rizal Bakrie (Ketua Umum Golkar/Capres Golkar), Dahlan Iskan (Anggota Partai Demokrat dan Peserta Konvensi Capres Demokrat 2014), dan lainnya. Motivasi ini sedikit banyaknya membuat pers yang ada dalam naungannya menjadi tidak netral dalam memberikan suatu informasi. 
   Kita bisa melihat contoh pada kasus Metro TV, kemarin (23/4) Metro TV ini memberitakan bahwa para pedagang asongan yang merugi akibat tidak dibayar oleh Partai Gerindra pada kampanye akbar partai tersebut di GBK. Dalam pemberitaan tersebut seakan-akan Metro TV menelanjangi bahwa Partai Gerindra tidak menepati janji untuk membayar  para pedagang asongan yang habis barangnya pada kampanye tersebut. Padahal kenyataannya di lapangan (menurut sumber yang bisa dipercaya) Partai Gerindra telah membayar para pedagang tersebut dengan lunas. Tidak hanya itu, jika kita memperhatikan porsi iklan kampanye partai politik yang ditayangkan di Metro TV, iklan kampanye Partai Nasdem mengisi hampir di setiap waktu tayang Metro TV dengan durasi yang cukup lama. Sedangkan iklan partai lain sangat sedikit yang ditayangkan dengan durasi yang cukup singkat. Padahal menurut KPU media harus adil dalam memberikan ruang bagi partai politik untuk melakukan ‘kampanye udara’ dengan durasi waktu maksimal 30 detik.
        Pelanggaran yang dilakukan Metro TV cukup disayangkan. Namun, ketika kita melihat sang pemilik yaitu, Surya Paloh (Pemilik Metro TV dan Ketua Umum Nasdem) hal tersebut merupakan sebuah ironi. Dalam wawancaranya dengan Aiman Witjaksono dalam acara ‘Aiman dan..’ (edisi Surya Paloh, yang ditayangkan di Kompas TV)  pada pertengahan Februari lalu, Surya Paloh mengatakan bahwa ia akan menggunakan segala hal yang ia miliki untuk tujuan pribadinya (ambisi politiknya), walaupun itu bertabrakan dengan nilai-nilai etika pers.
     Hal tersebut sungguhlah menjadi suatu pelecehan terhadap etika komunikasi media massa. Pers (media massa) haruslah menerapkan prinsip-prinsip etika komunikasi dalam menjalankan tugasnya sebagai pewarta informasi bagi masyarakat. Di mana dalam pelaksanaannya, pers (media massa) harus memegang prinsip dasar etika komunikasi, yakni: informasi yang disampaikan harus benar dan jujur sesuai fakta sesungguhnya; berlaku adil dalam menyajikan informasi, tidak memihak salah satu golongan; serta menggunakan bahasa yang bijak, sopan dan hindari kata-kata provokatif. Apabila etika komunikasi dipegang dengan teguh oleh para insan pers, saya yakin masyarakat sebagai penikmat dan penerima informasi akan menerima informasi yang benar dari pers sebagai ujung tombak demokrasi di Indonesia, serta “pembodohan publik” tidak akan terjadi. (Ida Ayu Putu Novinasari)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar