Rabu, 13 November 2013

Goresan Pena Terakhir Ayah (Cerpen)

Ilustrasi Goresan Pena
Sang surya telah berada di titik puncak langit. Menebarkan suhu yang tak sesejuk biasanya. Apalagi untuk para manusia yang tinggal di kota yang tidak pernah berhenti beraktivitas seperti Jakarta. Saat suasana terik yang enggan untuk bersahabat, Pak Ridho masih tetap berlalu lalang memanggul beberapa karung beras di punggungnya. Peluh yang bertetesan seperti sedang mandi itu tak dihiraukannya, meskipun dua buah kakinya mulai gemetaran karena belum memasukkan sebutir nasi pun ke dalam perutnya. Entah sudah berapa karung yang diangkatnya, tapi ia masih tetap bisa mengobarkan semangat pantang menyerah dalam dirinya mungkin karena ia teringat perkataan Anto, anak sulungnya kemarin pagi bahwa ia sampai kapan pun tak akan pernah mampu untuk menyekolahkan Anto hingga perguruan tinggi. Kata-kata yang dilontarkan Anto pun tak sewajarnya, sangat kasar dan penuh cacian.
“Bang Ridho, istirahat dulu Bang. Daritadi sepandang mata saya memandang, abang tidak henti-hentinya membawa karung beras di punggung abang. Jangan terlalu diporsir.” Kata Pak Ragil kepada Pak Ridho, ia adalah sahabat Pak Ridho sejak dulu di sekolah rakyat.
“Tidak apa, ini demi Anto putraku. Dia ingin bersekolah di tempat yang bagus, jadi aku harus bekerja lebih keras lagi,”
“Ya sudah bang, kalau begitu. Tapi jangan dipaksa bang, kalau capek istirahatlah.”
Tidak terasa hari sudah menunjukkan pukul 17.45, senja telah menampakkan dirinya, menghipnotis setiap mata dengan pencampuran warnanya yang indah. Dengan nafas yang tersengal-sengal dan peluh bercucuran membanjiri sekujur tubuh Pak Ridho pulang dengan membawa uang 45 ribu rupiah dan satu kotak martabak manis kesukaan anak-anaknya, termasuk Anto, berharap hati anaknya itu akan luluh dan tidak marah lagi.
Sesampainya di rumah, sebuah gubuk sederhana beralaskan tanah, Pak Ridho langsung memberikan martabak manis itu ke Anto, namun Anto seakan tidak sudi untuk mencicipinya. Pak Ridho hanya dapat mengelus dada, ia tidak sedikit pun kesal dengan perilaku anaknya itu. Karena martabak manis itu tidak mau dicicipi Anto, Pak Ridho pun memberikannya ke istri dan kedua adik Anto. Untunglah, tawa canda kedua anaknya yang lain mampu menghibur hatinya.
***
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali bahkan sebelum ayam jantan berkokok, Pak Ridho sudah berangkat kerja. Ia berjalan kaki menuju pasar. Seperti biasa, ia memang rutin bekerja menjadi kuli di pasar, kadang kalau ada proyek pembuatan rumah, ia biasa menjadi kuli bangunan. Tapi entah mengapa, hari itu kondisi pasar sedang sepi, hanya terlihat beberapa orang pembeli yang lalu lalang, mungkin karena harga-harga di pasar pada meroket tajam. Bukan salah pedagang sebenarnya karena kendali bukan di tangan mereka.
Pak Ridho hanya bisa terduduk lemas dengan tatapan menerawang. Dalam otaknya kebingungan menyelimuti karena kalau kondisi pasar seperti ini terus bagaimana nasib keluarganya. Saat dirinya sedang asik bergelut dengan kebingungannya, Pak Abil mengagetkannya. Pak Abil merupakan teman semasa dulu di bangku sekolah, tapi ia jauh lebih sukses dari Pak Ridho karena ia bekerja di Malaysia sebagai TKI. Pak Abil mengajak Pak Ridho untuk menjadi TKI dengan iming-iming penghasilan yang besar dan lingkungan kerja yang sangat nyaman.
Awalnya Pak Ridho terasa berat untuk meninggalkan keluarganya, namun setelah ia berpikir cukup lama, ia pun bersedia. Setelah mereka berbincang cukup lama, mereka melangkahkan kaki menuju tempat penyalur TKI yang sebelumnya sudah memberangkatkan Pak Abil dengan selamat sentosa.
Sesampainya disebuah rumah beralaskan keramik berwarna merah, mereka langsung menuju ke sebuah ruangan dengan minim penerangan, bahkan udara pun seakan sulit untuk berlalu lalang. Di sana Pak Ridho berjumpa dan berbicara membuat perjanjian hitam di atas putih dengan bos agen penyalur TKI itu.
***
Tidak terasa sudah seminggu sejak penandatangan surat perjanjian kerja itu disepakati, kini tiba saatnya Pak Ridho berangkat menuju Hongkong. Istri dan kedua anaknya meneteskan air mata berat melepaskan keberangkatan sosok yang mereka cintai. Namun anehnya, Anto malah enggan mengantarkan bapaknya meskipun hanya di depan rumah. Meskipun demikian, Pak Ridho tidak berkecil hati, ia tetap semangat untuk mendapatkan uang yang banyak supaya bisa memberikan nafkah finansial kepada istri dan anak-anaknya.
Setelah perjalanan yang melelahkan, Pak Ridho dan beberapa TKI lainnya akhirnya sampai di Bandara. Mereka diajak ke sebuah rumah sederhana dan di sana mereka diberikan pengarahan oleh Suri, penanggung jawab agen penyalur TKI. Mereka juga diajarkan sedikit bahasa Cina dialek Hokkian. Usai diberikan pengarahan dan pengajaran, Pak Ridho dan beberapa TKI lainnya langsung didistribusikan ke rumah-rumah orang-orang Hongkong untuk menjadi pembantu. Pak Ridho sendiri bekerja sebagai tukang kebun dan pembantu di sebuah rumah besar dengan majikan yang kaya raya. Namun kehidupan Pak Ridho tidak berjalan mulus.
Majikan Pak Ridho yang bernama Tan Tjoen An meskipun kaya raya, kelakuannya sangat tidak manusiawi, bahkan istri dan anak semata wayangnya juga demikian. Bayangkan saja, Pak Ridho hanya diberikan makan 1x sehari itupun tanpa lauk, hanya kuah sop. Tidur pun, Pak Ridho tidak di kamar dengan alas kasur yang semestinya, ia tidur di lantai dapur. Gaji juga tidak seberapa, hanya 150ribu apabila dirupiahkan. Kekejaman dan penganiayaan sering diterima Pak Ridho. Pak Ridho yang sangat sabar hanya dapat menahan rasa sakit yang diterimanya, baik fifik maupun mental.
***
Sampai suatu ketika, saat Pak Ridho menunaikan ibadahnya yaitu sholat. Ia dilarang, kitab sucinya diambil secara paksa dan diinjak-injak. Pak Ridho yang tidak terima akan perlakuan keji majikannya itu lantas mengambil sikap. Ia merasa terhina akibat perlakuan kasar sang majikan, seakan-akan harga dirinya diinjak. Ketika itu terpasang sebuah samurai milik majikannya di dinding berwarna putih menyala. Pak Ridho lantas mengambil pedang Tiongkok itu dan langsung menebas leher sang majikan hingga berlumuran darah.
Setelah kejadian yang berlangsung singkat tersebut, Pak Ridho tersadar akan perbuatannya yang sangat keji dengan membunuh majikannya. Pandangan matanya terus tertuju pada tubuh Tuan Tan yang telah terbujur kaku dan bersimbah darah. Rasa bersalah dan berdosa mengahantui benaknya, sesaat ia teringat akan keluarganya di kampong. Seketika ia mengambil secarik kertas yang tergeletak di atas meja, ia pun kemudian menulis surat permintaan maaf kepada keluarga Tuan Tan dan keluarganya di kampong. “Maafkan saya atas perbuatan keji yang telah saya lakukan ini. Saya terpaksa melakukannya karena untuk membela harga diri dan keyakinan saya….
Anto anakku, maafkan ayah… Ayah tidak bisa membahagiakan dirimu, ayah ingin kau menjadi anak yang berguna. Jaga keluargamu, terutama Ibu dan adik-adikmu..
Selamat tinggal
Ayahmu-Ridho”
Setelah menulis surat tersebut, Pak Ridho kembali mengambil pedang yang telah ia gunakan untuk membunuh Tuan Tan. Seketika ia menghujamkan pedang itu ke dirinya sendiri sebagai rasa bersalah dan berdosanya.



SEKIAN

Selasa, 15 Oktober 2013

Beragam Manfaat Mangrove yang Di(Ter)Lupakan

Ilustrasi Mangrove
Apa itu hutan mangrove? Hutan mangrove adalah suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut yang tergenang pasang, bebas dari genangan pada saat surut, dan komunitas tumbuhannya tidak akan tercemar oleh garam. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas lingkungan biotik dan abiotik yang saling berinteraksi di dalam suatu habitat mangrove. Lingkungan biotik didefiniskan sebagai salah satu jenis lingkungan yang dihuni oleh makhluk hidup yang beraneka ragam di antaranya adalah manusia, hewan dan tumbuhan; sementara lingkungin abiotik dihuni oleh benda mati yang terbagi menjadi 2 jenis, yaitu benda mati yang bisa dimanfaatkan dan benda mati yang tidak bisa dimanfaatkan.
Mangrove berperan penting dalam perangkapan endapan dan perlindungan terhadap erosi pantai. Mangrove bukan sekadar tumbuhan biasa yang hidup di tempat-tempat pelumpuran tanah dan akumulasi bahan organik, sebenarnya tumbuhan ini sangat penting dalam pengelolaan sumber daya di sebagian besar wilayah di Indonesia. Selain itu, mangrove juga mempunyai fungsi terpenting bagi daerah pantai, yaitu sebagai penyambung daratan dan memiliki fungsi ekologis, serta ekonomis yang sangat penting bagi manusia.
Hutan mangrove berfungsi sebagai pelindung daratan dari gempuran gelombang, tsunami, angin topan, perembesan air laut dan gaya-gaya dari laut lainnya. Secara umum, hutan mangrove mempunyai tiga fungsi utama bagi kelestarian sumber daya, yakni: (1) fungsi fisik, hutan mangrove secara fisik menjaga dan menstabilkan garis pantai serta tepian sungai, pelindung terhadap hempasan gelombang dan arus, mempercepat pembentukan lahan baru serta melindungi pantai dari erosi laut atau abrasi; (2) fungsi kimia, sebagai tempat terjadinya proses daur ulang yang menghasilkan oksigen, penyerap karbondioksida, dan sebagainya; (3) fungsi biologis, mangrove sebagai tempat asuhan (nursery ground), tempat mencari makanan (feeding ground), tempat berkembang biak (spawning ground), sebagai penghasil serasah atau zat hara yang memiliki produktivitas yang tinggi, dan habitat berbagai satwa liar antara lain, reptilia, mamalia, hurting dan lain-lain; (4) fungsi ekonomi, yakni kawasan hutan mangrove berpotensi sebagai tempat rekreasi (ecotourism) dan penghasil devisa dengan produk bahan baku industri.  Fungsi-fungsi tersebut di atas sering tidak tampak atau tidak banyak orang yang tahu. Sementara itu, secara khusus hutan mangrove juga berguna sebagai perangkap zat-zat pencemar dan limbah, mempercepat perluasan lahan, mengolah limbah organik, dan sebagainya.
Apabila ingin melihat potret ekosistem yang beragam, maka lihatlah mangrove. Mangrove dapat dikatakan sebagai miniatur ekosistem yang memiliki keanekaragaman hayati di dalamnya. Sebenarnya, hutan mangrove mempunyai banyak manfaat yang dapat mendukung kelangsungan kehidupan manusia jika manusia melakukan pengamatan dan memiliki pemahaman dengan baik. Namun, segudang manfaat itu seolah-olah dilupakan karena manusia selalu merasa belum puas, dan ingin mendapatkan lebih banyak keuntungan, sehingga menggunakan segala upaya untuk memperoleh keuntungan yang besar walaupun harus “menumbalkan” ekosistem hutan mangrove itu sendiri dengan merusaknya. Sebagian besar hutan mangrove di Indonesia rusak karena ulah manusia, ada yang mengonversi mangrove menjadi pemukiman, industri, rekreasi, tambak, dan sebagainya
Pengalihan fungsi lahan hutan mangrove kini semakin marak terjadi. Salah satu contoh pengalihan fungsi lahan hutan mangrove menjadi tambak masyarakat dan dikonversi kembali menjadi lahan kelapa sawit yang terjadi di daerah Sumatera Utara. Kasus pengalihan fungsi lahan hutan mangrove tidak hanya terjadi di Sumatera Utara, melainkan di beberapa daerah termasuk DKI Jakarta, dan Tahura di Ngurah Rai Bali yang juga digunakan untuk kepentingan tambak. Akibat yang dilahirkan adalah terganggunya peranan fungsi kawasan mangrove sebagai habitat biota laut, perlindungan wilayah pesisir, dan terputusnya mata rantai makanan bagi biota seperti burung, reptil, dan berbagai kehidupan lainnya.
Hal tersebut terjadi karena beberapa sebab, antara lain: (1) krisis ekonomi yang melahirkan tekanan penduduk untuk memenuhi kebutuhan ekonomi yang tinggi sehingga permintaan konversi mangrove juga semakin tinggi. Penduduk lebih mementingkan kebutuhan pribadi daripada keseimbangan ekologis dan keberlangsungan alam; (2) pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab yang meminta untuk mengkonversi lahan mangrove. Setelah dikonversi, lahan tersebut malah dibiarkan. Di pikiran pihak-pihak tersebut hanya uang, uang, dan uang. Mereka lebih paham bahwa manfaat dengan dikonversinya hutan mangrove menjadi tambak dan lahan kelapa sawit akan lebih menguntungkan, padahal jika ditinjau secara keuntungan jangka panjang hutan mangrove akan lebih bermanfaat; (3) perencanaan dan pengelolaan sumber daya pesisir di masa lalu bersifat sangat sektoral. Hal inilah yang akan mengakibatkan terjadinya perusakan hutan mangrove skala berat yang dapat  berdampak pada masa yang akan datang. (4) rendahnya kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang konversi dan fungsi ekosistem mangrove. Masyarakat seakan “masa bodo” dan menganggap kelestarian mangrove sebagai hal yang tidak penting dan tidak menjanjikan keuntungan bersifat materi. Padahal mangrove sangat memiliki manfaat tidak hanya dari segi ekonomis, jauh lebih dalam adalah manfaat bagi kelangsungan hidup seluruh makhluk hidup (tidak hanya manusia; (5) hutan rawa dalam lingkungan yang asin dan anaerob di daerah pesisir selalu dianggap daerah yang yang marginal atau sama sekali tidak cocok untuk pertanian dan akuakultur. Namun karena kebutuhan lahan pertanian dan perikanan yang semakin meningkat, maka hutan mangrove dianggap sebagai lahan alternatif.
Reklamasi telah memusnahkan ekosistem mangrove secara kejam dan mengakibatkan efek-efek yang negatif terhadap perikanan di perairan pantai sekitarnya. Dampak ekologis yang ditimbulkan dari berkurangnya dan kerusakan ekosistem mangrove adalah hilangnya berbagai spesies flora dan fauna yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove, yang dalam jangka panjang akan mengganggu keseimbangan ekosistem mangrove khususnya, dan ekosistem pesisir umumnya. Selain itu, menurunnya kualitas dan kuantitas hutan mangrove telah mengakibatkan dampak yang sangat mengkhawatirkan, seperti abrasi yang selalu meningkat, penurunan tangkapan perikanan pantai, intrusi air laut yang semakin jauh ke arah darat, malaria dan lainnya. Akibat-akibat ini seolah-olah tidak dipedulikan oleh oknum-oknum perusak lingkungan dan pecinta reklamasi, padahal akibat-akibat ini sangat mengancam kehidupan makhluk hidup.
Sebuah pertanyaan menggelitik mengemuka. Lantas apakah uang lebih berharga daripada akibat-akibat yang ditimbulkan dari tindak “pelecehan lingkungan” yang dilakukan pada hutan mangrove? Jika ada yang mengatakan uang lebih berharga daripada kelestarian hutan mangrove dan ekosistemnya, maka sudah dipastikan mata hatinya telah disilaukan dengan gelimangan materi. Padahal hal itu salah besar. Bukan keuntungan jangka pendek yang seharusnya diharapkan (dalam hal ini uang), tetapi keuntungan jangka panjanglah yang lebih bermanfaat bagi kehidupan manusia dan keseimbangan alam. Gunakanlah produk yang ramah lingkungan agar polusi air berkurang, tidak merusak hutan mangrove dengan cara menanam pohon mangrove, berhenti melakukan “pelecehan lingkungan” hanya untuk mendapatkan keuntungan materi, serta mengadakan penyuluhan kepada masyarakat agar mengetahui pentingnya mangrove bagi kehidupan.

Rabu, 14 Agustus 2013

Ditikam Saudara Sendiri (Cerpen)

Ilustrasi Ditikam
 SETIAP aku melihat kotak hitam di pojok ruangan rumahku yang menampilkan gambar serta tangisan para TKI di negeri orang, aku selalu teringat akan kejadian yang membuat batinku berkecamuk. Kejadian yang tidak akan pernah aku lupakan seumur hidupku. Kejadian yang menyadarkanku bahwa ego hanya akan menjatuhkanmu dengan kasar ke jurang kesengsaraan. Kejadian yang seolah memukuliku hingga aku berjanji tak akan mengulanginya lagi. Aku masih ingat dengan jelas bagaimana cerita, alur, setting, tokoh-tokoh yang terlibat di dalam kejadian itu. Kejadian yang terjadi 3 tahun yang lalu itu saat usiaku 17 tahun  rupanya masih meninggalkan jejak yang cukup dalam pada batinku.
“Nek kowe ra gelem bayar, kowe bakal tak lebokke kantor polisi!”, ucap Pak Hendry dengan volume tinggi, seorang rentenir yang tidak punya hati sama sekali. Bagaimana tidak, keluargaku hanya meminjam 2 juta rupiah untuk biaya adik-adikku opname di rumah sakit sebulan yang lalu, tapi kini sudah beranak menjadi 4 juta rupiah.
“Tapi Pak, maaf kami belum ada uang pak. Untuk makan saja kami susah, bagaimana bisa kami membayar utang kami berikut bunga yang mencekik itu. Kami minta sedikit waktu lagi, pasti kami bayar”. Ayahku memohon sambil menundukkan kepalanya di kaki rentenir tak punya hati itu.
“Baiklah. Tapi aku hanya memberikan kalian waktu selama 2 minggu. Jika kalian tidak mampu melunasi utang-utang kalian, polisi akan siap membawa sampeyan ke jeruji besi. Ingat HANYA 2 MINGGU!”. Pak Hendry pun melangkahkan kakinya pergi meninggalkan gubuk kami tanpa meminum kopi hitam hangat buatan ibuku. Seketika itu juga wanita yang telah melahirkanku dengan susah payah menangis. Mungkin karena terlalu banyak beban dalam hatinya.
Dari balik pintu kamarku ini, aku melihat dengan jelas bagaimana gurat kebingungan yang luar biasa terpancar dari wajah kedua orang tuaku. Dari balik pintu kamarku ini pula, aku hanya bisa terdiam sambil memikirkan bagaimana cara membayar utang-utang kedua orangtuaku. Aku sendiri belum bekerja, masih tercatat sebagai salah satu siswi di sebuah sekolah rakyat, yang tidak perlu mengeluarkan rupiah sepeser pun. Kebingunganku membuatku ingin mencari udara segar di luar rumah, siapa tahu ada solusi bagi permasalahan ini pikirku. Apalagi mendadak suasana di dalam rumah membuatkan panas.
Saat aku berjalan-jalan di pinggiran sawah dekat rumahku, aku bertemu dengan Pak Kasim dan Bu Ainun. Mereka adalah agen penyalur TKW yang sangat terkenal di desaku, dan mereka adalah teman baik kedua orangtuaku. Aku diajak berbincang dengan mereka, dan aku pun menceritakan permasalah yang sedang menimpa keluargaku. Mereka menawariku bekerja di Hongkong, dengan upah yang sangat menggiurkan. Bagaimana tidak, kata mereka upah bekerja sebulan di Hongkong kalau dirupiahkan sekitar 15 juta. Tidak hanya itu, mereka juga mau membayar lunas utang-utang orangtuaku jika aku mau ke Hongkong bersama mereka besok. Aku yang sangat kalut, tidak tahu harus mencari uang ke mana untuk menyelamatkan kedua orangtuaku, langsung saja mengiyakan dan menandatangi perjanjian bermaterai.
***
MALAM harinya, seperti biasa kami sekeluarga berkumpul untuk menyantap hidangan seadanya yang dengan tulus dibuatkan oleh ibuku. Menu kami malam ini adalah singkong. Maklum saja, penghasilan ayah yang seorang petani menggarap sawah milik tetangga hanya cukup untuk membeli singkong ini. Tidak seperti biasanya, ayah dan ibuku hanya diam sambil menyantap singkong rebus ini, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Aku yang tidak tenang melihat prilaku kedua orangtuaku ini, membuka kekakuan ini dengan sebuah pertanyaan. “Pak, Bu.. Tadi aku bertemu dengan Pakde Kasim dan Bude Ainun.”
“Lantas?” ucap ibuku pelan. “Mereka menawariku bekerja menjadi TKW di Hongkong, dan akan melunasi utang-utang kita. Ini uangnya.” Kataku sambil memperlihatkan uang 4 juta rupiah itu.
“Bapak tidak setuju kamu pergi, Ratih. Bapak tidak mau membebanimu. Pokoknya besok kamu kembalikan uang itu ke mereka. Biar Bapak yang mencari uang.”
“Tapi Pak???”, bantahku.
“Sudahlah, turuti perintah Bapakmu ini. Sana lekas tidur!”, ucap bapak dengan nada tinggi. Aku masuk ke kamar, tapi aku tidak tidur. Aku mengepak baju-bajuku. Aku ingin pergi ke Hongkong untuk membahagiakan keluargaku. Aku menulis surat yang isinya permohonan maafku karena aku tidak menuruti perintah bapakku. Dalam amplop itu, aku juga memasukkan uang 4 juta rupiah untuk melunasi utang ke rentenir itu. Setelah itu aku merebahkan tubuhku di kasur, berharap mimpiku kali ini akan lebih indah dan esok menjadi awal kesuksesanku.
***
SEBELUM orangtuaku terbangun dari tidurnya, kira-kira pukul 4 pagi, aku keluar pergi ke rumah Pakde Kasim dan Bude Ainun. Setibanya di sana, ternyata tak hanya aku yang bercita-cita sukses di Hongkong, ada Lastri, Surti, dan Tini. Bedanya keluarga mereka mengizinkan mereka menjadi TKW, sedangkan aku tidak. 
Setelah diberikan pengarahan sekitar 25 menit oleh Pakde Kasim, kami pun berangkat menuju Hongkong. Rencananya, kami akan dijadikan pembantu rumah tangga di sana. Semula aku tak sedikitpun menaruh curiga, karena Pakde Kasim dan Bude Ainun sangat baik padaku. Selama perjalanan, mereka mengajari kami sedikit bahasa Cina dialek Hokkian dan memberi kami kamus bahasa itu. Setibanya di Hongkong perlakuan mereka masih tetap sama bahkan cenderung memanjakan kami. Kami diajak makan ke sebuah restoran ternama, berbelanja beberapa pakaian dan kosmetik mahal. Kami tidak langsung disuruh bekerja, sudah 3 hari kami di Hongkong, hanya kegiatan-kegiatan itu saja yang kami lakukan.
Sampai pada akhirnya, aku, Lastri, Surti, dan Tini diajak Pakde Kasim dan Bude Ainun menemui seseorang bernama Lee, pria berusia sekitar 40 tahun dengan perawakan yang gemuk dan putih. Saat berkenalan dengannya pertama kali, tidak ada hal buruk, ia sangat sopan. Pakde dan Bude pun berbincang dengan Lee, membicarakan sesuatu yang aku tidak mengerti karena terbatasnya kosakata bahasa Cina dialek Hokkien yang aku kuasai. Dari raut mereka bertiga sepertinya mereka sangat senang, terlihat dari tawa yang mengemuka di raut wajah mereka. Usai berbincang, Pakde Kasim, Bude Ainun, dan Lee berjabat tangan. Entah apa maksud jabatan tangan itu. Tiba-tiba saja Pakde dan Bude berbicara kepada aku, Lastri, Surti, dan Tini. Mereka menyuruh kami untuk ikut bersama Lee, pria yang baru 30 menit aku mengenalnya. Semula kami menolak, tapi Pakde dan Bude membujuk kami dengan rayuan-rayuan maut. Mereka bilang Lee adalah majikan kami. Kami setuju dan ikut dengan Lee.
Namun alangkah tragisnya nasib kami, aku, Lastri, Surti, dan Tini malah diajak ke  salah satu tempat prostitusi terbesar di Hongkong bersama Lee. Parahnya lagi, kami ternyata dijual oleh Pakde Kasim dan Bude Ainun. Tega sekali Pakde Kasim dan Bude Ainun pikirku. Orang yang aku kira baik ternyata berhati iblis. Aku seperti ditikam saudara sendiri, sama-sama orang Indonesia tapi kejam. Pakde Kasim dan Bude Ainun yang awalnya sangat baik dan seolah-olah ingin membantu, ternyata mereka meludahi mukaku. Di sisi lain, aku sangat menyesal telah tidak mengindahkan perintah kedua orangtuaku yang melarangku untuk menjadi TKW.  Di tempat prostitusi itu, kami gadis-gadis lugu dari desa dijadikan budak pemuas nafsu laki-laki hidung belang di Hongkong, kami tidak boleh menolak 1 ajakan berkencan dengan lelaki manapun. Aku pernah menolak berhubungan intim dengan salah seorang lelaki Hongkong, dan aku langsung dihajar oleh anak-anak buah Lee. Tubuhku penuh lebam sangat sakit, namun tidak sesakit hatiku karena aku dijual oleh orang yang aku kira berhati malaikat. Entah sudah berapa lelaki yang meniduri ranjangku, meskipun tidak suka, aku harus mau menuruti nafsu-nafsu mereka.
Sampai akhirnya di suatu malam, tepat hari ke-21 aku di tempat prostitusi ini aku berhasil kabur, karena aku sudah tidak kuat lagi melayani nafsu-nafsu bejat itu. Sore harinya, aku membeli obat tidur di apotek dekat tempat prostitusi itu. Aku buatkan Lee dan beberapa anak buahnya jus pisang kesukaan mereka, dan saat itulah aku masukkan obat tidur itu. Saat mereka tertidur lelap, aku mengemasi barang-barangku. Aku mengajak Lastri, Surti, dan Tini, dan mereka bersedia. Kami bergegas mencari taksi dan menuju Bandara. Dengan uang seadanya, kami membeli tiket penerbangan menuju Indonesia. Setibanya di Indonesia, kami langsung menuju desa yang sangat kami cintai. Aku mencari kedua orangtuaku, dan langsung meminta maaf kepada mereka, menyesal karena aku tidak mengindahkan larangan mereka. Aku juga melaporkan Pakde Kasim dan Bude Ainun ke polisi atas tindakan memperdagangkan manusia, dan mereka dijebloskan ke jeruji besi yang dingin.

Selasa, 12 Maret 2013

Permohonan (Puisi)


1 kali
2 kali
3 kali
4 kali
5 kali
Cukup sudah!
Jangan lagi kau tambah
deretan luka dihatiku.
Jangan lagi kau percikan cuka
di atas luka mengangaku.
Aku ingin kau rawat diri ini.
Bukan malah kau ludahi!
Agar tak lagi penuh lebam.
Agar tak lagi berlumuran darah segar.
Agar tak lagi air sungai membanjiri Jakarta!
Maukah kau berjanji?
Tak akan lagi beradu kasih
dengan pelacur manapun.
Sekalipun ia rela tubuhnya
Kau cicipi tanpa perlu kau lunasi.

Senin, 18 Februari 2013

Rindu Akan Rasa Ikan Penggoyang Lidah (Puisi)

Ilustrasi Ikan


Satu-satunya ikan yang aku punya.
Telah diamah habis olehnya.
Tak ada sisanya.
Bahkan tumpukan tulang sedikit pun.
Aku lapar!
Rindu akan rasa ikan penggoyang lidah.
Tapi ke mana harus aku mencari.
Mengais tong sampahkah?
Atau
Pergi ke rumah saudagar kaya untuk menjadi pengemis?
Hah..
Entahlah.
Aku rasa tak mungkin.
Mana ada harimau
yang mau berbagi hidangannya
 untuk kucing kampung sepertiku.

-DT