Ilustrasi Goresan Pena |
“Bang
Ridho, istirahat dulu Bang. Daritadi sepandang mata saya memandang, abang tidak
henti-hentinya membawa karung beras di punggung abang. Jangan terlalu diporsir.”
Kata Pak Ragil kepada Pak Ridho, ia adalah sahabat Pak Ridho sejak dulu di
sekolah rakyat.
“Tidak
apa, ini demi Anto putraku. Dia ingin bersekolah di tempat yang bagus, jadi aku
harus bekerja lebih keras lagi,”
“Ya
sudah bang, kalau begitu. Tapi jangan dipaksa bang, kalau capek istirahatlah.”
Tidak
terasa hari sudah menunjukkan pukul 17.45, senja telah menampakkan dirinya,
menghipnotis setiap mata dengan pencampuran warnanya yang indah. Dengan nafas
yang tersengal-sengal dan peluh bercucuran membanjiri sekujur tubuh Pak Ridho pulang
dengan membawa uang 45 ribu rupiah dan satu kotak martabak manis kesukaan
anak-anaknya, termasuk Anto, berharap hati anaknya itu akan luluh dan tidak
marah lagi.
Sesampainya
di rumah, sebuah gubuk sederhana beralaskan tanah, Pak Ridho langsung
memberikan martabak manis itu ke Anto, namun Anto seakan tidak sudi untuk
mencicipinya. Pak Ridho hanya dapat mengelus dada, ia tidak sedikit pun kesal
dengan perilaku anaknya itu. Karena martabak manis itu tidak mau dicicipi Anto,
Pak Ridho pun memberikannya ke istri dan kedua adik Anto. Untunglah, tawa canda
kedua anaknya yang lain mampu menghibur hatinya.
***
Keesokan
harinya, pagi-pagi sekali bahkan sebelum ayam jantan berkokok, Pak Ridho sudah
berangkat kerja. Ia berjalan kaki menuju pasar. Seperti biasa, ia memang rutin
bekerja menjadi kuli di pasar, kadang kalau ada proyek pembuatan rumah, ia
biasa menjadi kuli bangunan. Tapi entah mengapa, hari itu kondisi pasar sedang
sepi, hanya terlihat beberapa orang pembeli yang lalu lalang, mungkin karena
harga-harga di pasar pada meroket tajam. Bukan salah pedagang sebenarnya karena
kendali bukan di tangan mereka.
Pak
Ridho hanya bisa terduduk lemas dengan tatapan menerawang. Dalam otaknya
kebingungan menyelimuti karena kalau kondisi pasar seperti ini terus bagaimana
nasib keluarganya. Saat dirinya sedang asik bergelut dengan kebingungannya, Pak
Abil mengagetkannya. Pak Abil merupakan teman semasa dulu di bangku sekolah,
tapi ia jauh lebih sukses dari Pak Ridho karena ia bekerja di Malaysia sebagai
TKI. Pak Abil mengajak Pak Ridho untuk menjadi TKI dengan iming-iming
penghasilan yang besar dan lingkungan kerja yang sangat nyaman.
Awalnya
Pak Ridho terasa berat untuk meninggalkan keluarganya, namun setelah ia
berpikir cukup lama, ia pun bersedia. Setelah mereka berbincang cukup lama,
mereka melangkahkan kaki menuju tempat penyalur TKI yang sebelumnya sudah
memberangkatkan Pak Abil dengan selamat sentosa.
Sesampainya
disebuah rumah beralaskan keramik berwarna merah, mereka langsung menuju ke
sebuah ruangan dengan minim penerangan, bahkan udara pun seakan sulit untuk
berlalu lalang. Di sana Pak Ridho berjumpa dan berbicara membuat perjanjian
hitam di atas putih dengan bos agen penyalur TKI itu.
***
Tidak
terasa sudah seminggu sejak penandatangan surat perjanjian kerja itu disepakati,
kini tiba saatnya Pak Ridho berangkat menuju Hongkong. Istri dan kedua anaknya
meneteskan air mata berat melepaskan keberangkatan sosok yang mereka cintai.
Namun anehnya, Anto malah enggan mengantarkan bapaknya meskipun hanya di depan
rumah. Meskipun demikian, Pak Ridho tidak berkecil hati, ia tetap semangat
untuk mendapatkan uang yang banyak supaya bisa memberikan nafkah finansial
kepada istri dan anak-anaknya.
Setelah
perjalanan yang melelahkan, Pak Ridho dan beberapa TKI lainnya akhirnya sampai
di Bandara. Mereka diajak ke sebuah rumah sederhana dan di sana mereka
diberikan pengarahan oleh Suri, penanggung jawab agen penyalur TKI. Mereka juga
diajarkan sedikit bahasa Cina dialek Hokkian. Usai diberikan pengarahan dan
pengajaran, Pak Ridho dan beberapa TKI lainnya langsung didistribusikan ke
rumah-rumah orang-orang Hongkong untuk menjadi pembantu. Pak Ridho sendiri
bekerja sebagai tukang kebun dan pembantu di sebuah rumah besar dengan majikan
yang kaya raya. Namun kehidupan Pak Ridho tidak berjalan mulus.
Majikan
Pak Ridho yang bernama Tan Tjoen An meskipun kaya raya, kelakuannya sangat
tidak manusiawi, bahkan istri dan anak semata wayangnya juga demikian.
Bayangkan saja, Pak Ridho hanya diberikan makan 1x sehari itupun tanpa lauk,
hanya kuah sop. Tidur pun, Pak Ridho tidak di kamar dengan alas kasur yang
semestinya, ia tidur di lantai dapur. Gaji juga tidak seberapa, hanya 150ribu
apabila dirupiahkan. Kekejaman dan penganiayaan sering diterima Pak Ridho. Pak
Ridho yang sangat sabar hanya dapat menahan rasa sakit yang diterimanya, baik
fifik maupun mental.
***
Sampai
suatu ketika, saat Pak Ridho menunaikan ibadahnya yaitu sholat. Ia dilarang, kitab
sucinya diambil secara paksa dan diinjak-injak. Pak Ridho yang tidak terima
akan perlakuan keji majikannya itu lantas mengambil sikap. Ia merasa terhina
akibat perlakuan kasar sang majikan, seakan-akan harga dirinya diinjak. Ketika
itu terpasang sebuah samurai milik majikannya di dinding berwarna putih
menyala. Pak Ridho lantas mengambil pedang Tiongkok itu dan langsung menebas
leher sang majikan hingga berlumuran darah.
Setelah
kejadian yang berlangsung singkat tersebut, Pak Ridho tersadar akan
perbuatannya yang sangat keji dengan membunuh majikannya. Pandangan matanya
terus tertuju pada tubuh Tuan Tan yang telah terbujur kaku dan bersimbah darah.
Rasa bersalah dan berdosa mengahantui benaknya, sesaat ia teringat akan
keluarganya di kampong. Seketika ia mengambil secarik kertas yang tergeletak di
atas meja, ia pun kemudian menulis surat permintaan maaf kepada keluarga Tuan
Tan dan keluarganya di kampong. “Maafkan saya atas perbuatan keji yang telah
saya lakukan ini. Saya terpaksa melakukannya karena untuk membela harga diri
dan keyakinan saya….
Anto anakku, maafkan ayah… Ayah tidak bisa membahagiakan dirimu, ayah
ingin kau menjadi anak yang berguna. Jaga keluargamu, terutama Ibu dan
adik-adikmu..
Selamat tinggal
Ayahmu-Ridho”
Setelah
menulis surat tersebut, Pak Ridho kembali mengambil pedang yang telah ia
gunakan untuk membunuh Tuan Tan. Seketika ia menghujamkan pedang itu ke dirinya
sendiri sebagai rasa bersalah dan berdosanya.
SEKIAN