Ilustrasi Ditikam |
SETIAP
aku melihat kotak hitam di pojok ruangan rumahku yang menampilkan gambar serta
tangisan para TKI di negeri orang, aku selalu teringat akan kejadian yang
membuat batinku berkecamuk. Kejadian yang tidak akan pernah aku lupakan seumur
hidupku. Kejadian yang menyadarkanku bahwa ego hanya akan menjatuhkanmu dengan
kasar ke jurang kesengsaraan. Kejadian yang seolah memukuliku hingga aku
berjanji tak akan mengulanginya lagi. Aku masih ingat dengan jelas bagaimana
cerita, alur, setting, tokoh-tokoh yang terlibat di dalam kejadian itu.
Kejadian yang terjadi 3 tahun yang lalu itu saat usiaku 17 tahun rupanya masih meninggalkan jejak yang cukup
dalam pada batinku.
“Nek kowe ra gelem bayar, kowe bakal tak lebokke kantor polisi!”, ucap Pak Hendry dengan volume tinggi, seorang
rentenir yang tidak punya hati sama sekali. Bagaimana tidak, keluargaku hanya
meminjam 2 juta rupiah untuk biaya adik-adikku opname di rumah sakit sebulan
yang lalu, tapi kini sudah beranak menjadi 4 juta rupiah.
“Tapi
Pak, maaf kami belum ada uang pak. Untuk makan saja kami susah, bagaimana bisa
kami membayar utang kami berikut bunga yang mencekik itu. Kami minta sedikit
waktu lagi, pasti kami bayar”. Ayahku memohon sambil menundukkan kepalanya di
kaki rentenir tak punya hati itu.
“Baiklah.
Tapi aku hanya memberikan kalian waktu selama 2 minggu. Jika kalian tidak mampu
melunasi utang-utang kalian, polisi akan siap membawa sampeyan ke jeruji besi.
Ingat HANYA 2 MINGGU!”. Pak Hendry pun melangkahkan kakinya pergi meninggalkan
gubuk kami tanpa meminum kopi hitam hangat buatan ibuku. Seketika itu juga
wanita yang telah melahirkanku dengan susah payah menangis. Mungkin karena
terlalu banyak beban dalam hatinya.
Dari
balik pintu kamarku ini, aku melihat dengan jelas bagaimana gurat kebingungan
yang luar biasa terpancar dari wajah kedua orang tuaku. Dari balik pintu
kamarku ini pula, aku hanya bisa terdiam sambil memikirkan bagaimana cara
membayar utang-utang kedua orangtuaku. Aku sendiri belum bekerja, masih
tercatat sebagai salah satu siswi di sebuah sekolah rakyat, yang tidak perlu
mengeluarkan rupiah sepeser pun. Kebingunganku membuatku ingin mencari udara
segar di luar rumah, siapa tahu ada solusi bagi permasalahan ini pikirku. Apalagi
mendadak suasana di dalam rumah membuatkan panas.
Saat
aku berjalan-jalan di pinggiran sawah dekat rumahku, aku bertemu dengan Pak
Kasim dan Bu Ainun. Mereka adalah agen penyalur TKW yang sangat terkenal di
desaku, dan mereka adalah teman baik kedua orangtuaku. Aku diajak berbincang
dengan mereka, dan aku pun menceritakan permasalah yang sedang menimpa
keluargaku. Mereka menawariku bekerja di Hongkong, dengan upah yang sangat
menggiurkan. Bagaimana tidak, kata mereka upah bekerja sebulan di Hongkong
kalau dirupiahkan sekitar 15 juta. Tidak hanya itu, mereka juga mau membayar
lunas utang-utang orangtuaku jika aku mau ke Hongkong bersama mereka besok. Aku
yang sangat kalut, tidak tahu harus mencari uang ke mana untuk menyelamatkan
kedua orangtuaku, langsung saja mengiyakan dan menandatangi perjanjian
bermaterai.
***
MALAM
harinya, seperti biasa kami sekeluarga berkumpul untuk menyantap hidangan
seadanya yang dengan tulus dibuatkan oleh ibuku. Menu kami malam ini adalah
singkong. Maklum saja, penghasilan ayah yang seorang petani menggarap sawah milik
tetangga hanya cukup untuk membeli singkong ini. Tidak seperti biasanya, ayah
dan ibuku hanya diam sambil menyantap singkong rebus ini, tanpa mengeluarkan
sepatah kata pun. Aku yang tidak tenang melihat prilaku kedua orangtuaku ini,
membuka kekakuan ini dengan sebuah pertanyaan. “Pak, Bu.. Tadi aku bertemu
dengan Pakde Kasim dan Bude Ainun.”
“Lantas?”
ucap ibuku pelan. “Mereka menawariku bekerja menjadi TKW di Hongkong, dan akan
melunasi utang-utang kita. Ini uangnya.” Kataku sambil memperlihatkan uang 4
juta rupiah itu.
“Bapak
tidak setuju kamu pergi, Ratih. Bapak tidak mau membebanimu. Pokoknya besok
kamu kembalikan uang itu ke mereka. Biar Bapak yang mencari uang.”
“Tapi
Pak???”, bantahku.
“Sudahlah,
turuti perintah Bapakmu ini. Sana lekas tidur!”, ucap bapak dengan nada tinggi.
Aku masuk ke kamar, tapi aku tidak tidur. Aku mengepak baju-bajuku. Aku ingin
pergi ke Hongkong untuk membahagiakan keluargaku. Aku menulis surat yang isinya
permohonan maafku karena aku tidak menuruti perintah bapakku. Dalam amplop itu,
aku juga memasukkan uang 4 juta rupiah untuk melunasi utang ke rentenir itu.
Setelah itu aku merebahkan tubuhku di kasur, berharap mimpiku kali ini akan
lebih indah dan esok menjadi awal kesuksesanku.
***
SEBELUM
orangtuaku terbangun dari tidurnya, kira-kira pukul 4 pagi, aku keluar pergi ke
rumah Pakde Kasim dan Bude Ainun. Setibanya di sana, ternyata tak hanya aku
yang bercita-cita sukses di Hongkong, ada Lastri, Surti, dan Tini. Bedanya
keluarga mereka mengizinkan mereka menjadi TKW, sedangkan aku tidak.
Setelah
diberikan pengarahan sekitar 25 menit oleh Pakde Kasim, kami pun berangkat
menuju Hongkong. Rencananya, kami akan dijadikan pembantu rumah tangga di sana.
Semula aku tak sedikitpun menaruh curiga, karena Pakde Kasim dan Bude Ainun sangat
baik padaku. Selama perjalanan, mereka mengajari kami sedikit bahasa Cina
dialek Hokkian dan memberi kami kamus bahasa itu. Setibanya di Hongkong perlakuan
mereka masih tetap sama bahkan cenderung memanjakan kami. Kami diajak makan ke
sebuah restoran ternama, berbelanja beberapa pakaian dan kosmetik mahal. Kami
tidak langsung disuruh bekerja, sudah 3 hari kami di Hongkong, hanya
kegiatan-kegiatan itu saja yang kami lakukan.
Sampai
pada akhirnya, aku, Lastri, Surti, dan Tini diajak Pakde Kasim dan Bude Ainun
menemui seseorang bernama Lee, pria berusia sekitar 40 tahun dengan perawakan
yang gemuk dan putih. Saat berkenalan dengannya pertama kali, tidak ada hal
buruk, ia sangat sopan. Pakde dan Bude pun berbincang dengan Lee, membicarakan
sesuatu yang aku tidak mengerti karena terbatasnya kosakata bahasa Cina dialek
Hokkien yang aku kuasai. Dari raut mereka bertiga sepertinya mereka sangat
senang, terlihat dari tawa yang mengemuka di raut wajah mereka. Usai
berbincang, Pakde Kasim, Bude Ainun, dan Lee berjabat tangan. Entah apa maksud
jabatan tangan itu. Tiba-tiba saja Pakde dan Bude berbicara kepada aku, Lastri,
Surti, dan Tini. Mereka menyuruh kami untuk ikut bersama Lee, pria yang baru 30
menit aku mengenalnya. Semula kami menolak, tapi Pakde dan Bude membujuk kami
dengan rayuan-rayuan maut. Mereka bilang Lee adalah majikan kami. Kami setuju
dan ikut dengan Lee.
Namun
alangkah tragisnya nasib kami, aku, Lastri, Surti, dan Tini malah diajak ke salah satu tempat prostitusi terbesar di
Hongkong bersama Lee. Parahnya lagi, kami ternyata dijual oleh Pakde Kasim dan
Bude Ainun. Tega sekali Pakde Kasim dan Bude Ainun pikirku. Orang yang aku kira
baik ternyata berhati iblis. Aku seperti ditikam saudara sendiri, sama-sama
orang Indonesia tapi kejam. Pakde Kasim dan Bude Ainun yang awalnya sangat baik
dan seolah-olah ingin membantu, ternyata mereka meludahi mukaku. Di sisi lain,
aku sangat menyesal telah tidak mengindahkan perintah kedua orangtuaku yang
melarangku untuk menjadi TKW. Di tempat
prostitusi itu, kami gadis-gadis lugu dari desa dijadikan budak pemuas nafsu
laki-laki hidung belang di Hongkong, kami tidak boleh menolak 1 ajakan
berkencan dengan lelaki manapun. Aku pernah menolak berhubungan intim dengan
salah seorang lelaki Hongkong, dan aku langsung dihajar oleh anak-anak buah
Lee. Tubuhku penuh lebam sangat sakit, namun tidak sesakit hatiku karena aku
dijual oleh orang yang aku kira berhati malaikat. Entah sudah berapa lelaki
yang meniduri ranjangku, meskipun tidak suka, aku harus mau menuruti nafsu-nafsu
mereka.
Sampai akhirnya di suatu malam, tepat hari ke-21
aku di tempat prostitusi ini aku berhasil kabur, karena aku sudah tidak kuat
lagi melayani nafsu-nafsu bejat itu. Sore harinya, aku membeli obat tidur di
apotek dekat tempat prostitusi itu. Aku buatkan Lee dan beberapa anak buahnya
jus pisang kesukaan mereka, dan saat itulah aku masukkan obat tidur itu. Saat
mereka tertidur lelap, aku mengemasi barang-barangku. Aku mengajak Lastri,
Surti, dan Tini, dan mereka bersedia. Kami bergegas mencari taksi dan menuju
Bandara. Dengan uang seadanya, kami membeli tiket penerbangan menuju Indonesia.
Setibanya di Indonesia, kami langsung menuju desa yang sangat kami cintai. Aku
mencari kedua orangtuaku, dan langsung meminta maaf kepada mereka, menyesal
karena aku tidak mengindahkan larangan mereka. Aku juga melaporkan Pakde Kasim
dan Bude Ainun ke polisi atas tindakan memperdagangkan manusia, dan mereka
dijebloskan ke jeruji besi yang dingin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar