Tampilkan postingan dengan label Opini. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Opini. Tampilkan semua postingan

Rabu, 18 Juni 2014

Peran Empat Pilar dalam Persatuan dan Kesatuan Bangsa (Opini)


             

Empat Pilar Kebangsaan

   
  Indonesia merupakan sebuah negeri yang dianugerahi Tuhan bermacam-macam keunikan, dari kekayaan alam hingga kekayaan budaya. Indonesia membentang luas dari ujung barat Sabang hingga ujung timur Merauke. Apabila Indonesia dibentangkan pada peta Eropa, maka Indonesia akan menutupi hampir seluruh Eropa, dari London hingga Istanbul. Indonesia juga merupakan salah satu negara dengan komposisi multikultural yang besar. Di Indonesia terdapat hampir 760 bahasa dengan sekitar 500 etnis. Selain itu, hampir semua agama besar ada di Indonesia, dari Islam, Hindu, Kristen, Katholik, Buddha, hingga Konfusianis. Kenanekaragaman merupakan anugerah Tuhan yang diberikan kepada negeri ini. Namun, keanekaragaman ini juga memiliki potensi perpecahan karena perbedaan horizontal maupun vertikal yang mewarnai negeri ini. Sebagai bangsa yang besar, Indonesia menghadapi berbagai tantangan dalam ekistensinya sebagai sebuah bangsa dalam percaturan politik dunia.

     Bangsa Indonesia dalam menghadapi tantangan tersebut harus memiliki sebuah wawasan kebangsaan yang menjadi pegangan dalam menghadapi tantangan zaman. Wawasan kebangsaan ini tidak bersifat sempit (seperti atas dasar SARA), melainkan atas dasar Empat Pilar Kebangsaan. Empat Pilar Kebangsaan ini merupakan suatu konsep wawasan kebangsaan yang dicetuskan oleh guru bangsa, yaitu Alm. Dr (HC.) Taufik Kiemas. Empat Pilar kebangsaan ini menurut beliau terdiri atas: Pancasila, Undang Undang Dasar 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Pilar adalah tiang penyangga suatu bangunan agar bisa berdiri secara kokoh. Apabila tiang ini rapuh, maka bangunan akan mudah roboh.
    Empat tiang penyangga ini dapat disebut sebagai soko guru yang kualitasnya terjamin, sehingga pilar ini akan memberikan rasa aman dan tentram. Empat pilar itu pula yang menciptakan terwujudnya kebersamaan dalam hidup bernegara. Rakyat akan merasa aman terlindungi sehingga merasa tentram dan bahagia. Empat pilar tersebut juga fondasi atau dasar untuk membuat suatu bangunan yang kokoh. Dasar atau fondasi bersifat tetap (statis), sedangkan pilar bersifat dinamis.
    Dari empat pilar tersebut, menurut penulis yang paling utama, yaitu Bhinneka Tunggal Ika karena semboyan tersebut berfungsi sebagai perekat semua rakyat dan semua kepulauan yang ada di Indonesia. Frasa Bhinneka Tunggal Ika berasal dari bahasa Jawa Kuna dan seringkali diterjemahkan dengan kalimat “berbeda-beda tetapi tetap satu”. Kalimat ini merupakan kutipan dari sebuah kakawin Jawa Kuna, yaitu kakawin Sutasoma karangan Mpu Tantular semasa kerajaan Majapahit sekitar abad ke-14 yang mengajarkan toleransi antara umat Hindu Siwa dengan umat Buddha. Kutipan ini berasal dari pupuh 139 bait 5. Kemudian, bait ini diterjemahkan: “Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda. Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali? Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal”. Artinya, walapun bangsa Indonesia mempunyai latar belakang yang berbeda, baik dari suku, ras, maupun agama, tetapi tetap bangsa Indonesia. Pengukuhan ini telah dideklarasikan semenjak tahun 1928 yang terkenal dengan nama "sumpah pemuda". Namun, sekarang Bhineka Tunggal Ika pun ikut luntur, banyak anak muda yang tidak mengenalnya, banyak orang tua lupa akan kata-kata ini, banyak birokrat yang pura-pura lupa, sehingga ikrar yang ditanamkan jauh sebelum Indonesia merdeka memudar, seperti pelita kehabisan minyak. Kehawatirannya adalah akibat lupa, semuanya akan menjadi petaka, nanti akan muncul kembali kata-kata "saya orang Ambon", "saya orang Jawa", dan sebagainya atau kalimat “karena saya yang menonjol maka saya harus menjadi pemimpin”.

Empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai wawasan kebangsaan dibutuhkan oleh bangsa Indonesia dalam menghadapi tantangan zaman. Empat Pilar ini semestinya harus dijaga, dipahami, dihayati, dan dilaksanakan dalam pranata kehidupan sehari-hari. Pancasila yang menjadi sumber nilai menjadi idealogi, UUD 45 sebagai aturan yang semestinya ditaati, NKRI adalah harga mati, dan Bhineka Tunggal Ika yang merupakan perekat semua rakyat, harus dilaksanakan dengan baik. Dalam bingkai 4 pilar tersebut yakinlah tujuan yang dicita-citakan bangsa ini akan terwujud. Namun, sangat disayangkan empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara ini kini telah dihapuskan oleh Mahkamah Konstitusi pada awal April 2014. Alasan empat pilar tersebut dihapus karena empat pilar dianggap akan mengaburkan posisi Pancasila sebagai dasar negara yang disamakan dengan posisi Bhinneka Tunggal Ika dan posisi yang lainnya. Walaupun sebenarnya hal tersebut merupakan sebuah alasan yang cukup konyol untuk sesuatu yang merupakan jati diri perekat kesatuan dan persatuan bangsa.

Sudahkah Janji Kemerdekaan Itu Dilunasi? (Opini)



Ilustrasi Teks Pembukaan UUD 1945
Cita-cita kemerdekaan negara atau tujuan negara Republik Indonesia selama ini tertuang dalam isi pembukaan UUD 1945. Akan tetapi, cita-cita itu dapat pula dikatakan sebagai sebuah janji. Janji adalah kesediaan, kesanggupan untuk berbuat, memenuhi, dan mencapai. Janji melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Negara Republik Indonesia telah berjanji kepada seluruh rakyat Indonesia dan janji itu haruslah dilunasi.
Janji itu sudah mulai dilunasi tetapi hanya untuk sebagian rakyat, sementara sebagian rakyat yang lain masih menunggu dengan setia pelunasan janji itu. Apakah benar janji itu belum dilunasi untuk seluruh rakyat Indonesia? Jika ragu, tengoklah potret pendidikan Indonesia kini. Sudahkah segala permasalahannya terobati?
Saat ini pendidikan di Indonesia masih terserang penyakit kronis karena masih banyak anak bangsa yang belum mendapatkan pendidikan yang layak sebagaimana mestinya, bahkan masih banyak anak bangsa yang sama sekali belum mencicipi bangku sekolah. Hal ini dapat dikatakan sebagai suatu ironi karena ternyata cita-cita kemerdekaan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang tertuang dalam isi Pembukaan UUD 1945 belum dapat dilunasi kepada seluruh rakyat Indonesia.
Pendidikan yang layak dari dulu hingga sekarang hanya boleh dicicipi oleh kaum-kaum kelas atas yang punya duit (bangsawan, priyayi, jutawan, dan lain-lain). Sementara kaum-kaum marjinal, seperti anak-anak jalanan, anak-anak pengemis, dan sebagainya dianggap “tidak mampu”  atau “tidak pantas” menggunakan pensil, pena, dan mendapatkan berbagai pengetahuan. Mereka dipaksa bertekuk lutut pada ketidakmampuan finansial. Keinginan untuk mengenyam pendidikan seolah dipenjara karena ketidakadilan. Padahal, kaum-kaum marjinal juga mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Pendidikan merupakan hak setiap warga negara, namun masih ada dari beberapa mereka yang belum mendapatkan hak tersebut. Hingga saat ini, peluang terbesar untuk memperoleh akses pendidikan yang baik atau layak hanya bagi orang yang memiliki kemampuan finansial yang mumpuni.
Sebenarnya hal tersebut tidak boleh terjadi. Hal ini sungguh memprihatinkan karena ternyata pendidikan yang layak masih terkesan “eksklusif”. Pemerintah dipandang belum berhasil menyingkirkan “sekat” tersebut. Berbagai upaya memang telah dilakukan oleh pemerintah, tetapi hasilnya belum dapat menuai hasil yang diharapkan. Padahal, arah bangsa nantinya ada pada tangan anak-anak bangsa (tanpa memandang kaya atau miskin) karena seluruh anak bangsa inilah yang nantinya akan menjadi penerus perjuangan bangsa dan kemajuan negara.
Pendidikan di Indonesia semakin melenceng dari cita-cita bangsa. Selain ada kecenderungan pendidikan yang semakin tidak terjangkau oleh rakyat miskin, kurangnya orientasi pendidikan terhadap pembangunan moral juga menjadi suatu permasalahan yang serius. Hal ini dapat dibuktikan dengan melihat realita anak-anak yang bertindak amoral, seperti melakukan tindak kekerasan kepada teman sebaya, melakukan tindak kekerasan seksual, dan sebagainya. Pola pemikiran guru-guru (pengajar) saat ini juga semakin jauh dari kesan ngayah. Dewasa ini, banyak guru (pengajar) yang membagikan ilmu mereka dengan “pamrih” sehingga label sosial guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa dapat dikatakan mulai tergerus. Indonesia mengalami krisis pengajar yang mau diintruksikan untuk mengajar di daerah-daerah terpencil, apalagi tanpa bayaran. Padahal, banyak anak bangsa di daerah terpencil yang belum tersentuh. Apabila seluruh daerah di Indonesia disentuh, maka cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa (seluruh bangsa tanpa terkecuali) tidaklah menjadi cita-cita yang masih menggantung.
Permasalahan-permasalahan inilah yang seharusnya menjadi perhatian pemerintah, mengingat pendidikan dapat dikatakan sebagai eskalator pembentukan kesadaran bangsa, peningkatan taraf ekonomi, dan pengangkat status sosial. Pendidikan tidak hanya mampu mengembangkan potensi manusia secara individu, tetapi juga dapat mengembangkan potensi masyarakat. Tidak hanya pemerintah, pelunasan janji kemerdekaan ini haruslah menjadi perhatian dan tanggung jawab moral setiap anak bangsa, terutama anak bangsa atau pemuda-pemudi yang sudah dapat mengenyam pendidikan yang baik. Berbagai cara dapat dilakukan, salah satunya membuat organisasi/komunitas yang bergerak di bidang pendidikan. Pemuda-pemudi sebagai tonggak perubahan bangsa seyogyanya ikut turun tangan melunasi janji kemerdekaan, agar negara ini tidak terus terbelenggu dalam lilitan hutang.

Sabtu, 14 Juni 2014

Etika Komunikasi Media Massa di Era Reformasi

         
         
Ilustrasi Media di Indonesia
         Era reformasi identik dengan era media. Tanpa media, baik media cetak maupun media elektronik, sebaran informasi dan komunikasi tidak akan terjadi. Berbagai informasi yang disebarkan itu dikemas sedemikian rupa dan diwujudkan dalam berbagai bentuk, baik tulisan, suara, gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, elektronik, dan segala jenis jalur yang tersedia. Dalam bab II pasal 3 ayat 1 UU No. 40 Tahun 1999 tentang pers disebutkan bahwa “pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.” Sedangkan pada ayat 2 disebutkan bahwa “Pers Nasional dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi”. Fungsi media massa (pers) sebagai media informasi menunjukkan bahwa pers adalah sebagai sarana untuk menyampaikan informasi secepatnya kepada masyarakat luas. Berbagai keinginan, aspirasi, pendapat, sikap, perasaan, manusia dapat disebarkan melalui pers. 
    Sebagai lembaga ekonomi, pers memang dituntut berorientasi komersial untuk memperoleh keuntungan finansial. Namun, orientasi dan misi komersial ini sama sekali tidak boleh mengurangi apalagi meniadakan fungsi pers dan tanggung jawab sosial pers, di antaranya ikut mencerdaskan generasi bangsa guna menjalankan fungsinya sebagai media pendidikan (edukasi). Namun, yang terjadi di negeri ini adalah prinsip-prinsip tanggung jawab sosial pers seakan-akan hilang oleh makin besarnya orientasi komersial yang semakin hari semakin menggerogoti dunia pers di era reformasi ini. 
       Timbulnya para konglomerat media ini disinyalir sebagai faktor utama terjadinya hal tersebut. Sebut saja Surya Paloh dengan Media Groupnya (Metro TV, Bisnis Indonesia, Media Indonesia, dll), Chairul Tanjung dengan CT Corpnya (Trans TV, Trans 7, Detik.com), Abu Rizal Bakrie dengan Viva Grupnya (TVONE, ANTV,Vivanews.com), Dahlan Iskan dengan jaringan Jawa Posnya (yang meliputi jaringan berita seluruh Indonesia) dan lainnya. Para konglomerat media ini tentunya memiliki berbagai motivasi komersial dalam menjalankan bisnis pers ini, salah satunya ialah motivasi politik. Motivasi ini timbul ketika banyaknya para konglomerat media terjun ke dalam dunia ini, sebut saja Surya Paloh (Ketua Umum Partai Nasdem/Pendiri Nasdem), Abu Rizal Bakrie (Ketua Umum Golkar/Capres Golkar), Dahlan Iskan (Anggota Partai Demokrat dan Peserta Konvensi Capres Demokrat 2014), dan lainnya. Motivasi ini sedikit banyaknya membuat pers yang ada dalam naungannya menjadi tidak netral dalam memberikan suatu informasi. 
   Kita bisa melihat contoh pada kasus Metro TV, kemarin (23/4) Metro TV ini memberitakan bahwa para pedagang asongan yang merugi akibat tidak dibayar oleh Partai Gerindra pada kampanye akbar partai tersebut di GBK. Dalam pemberitaan tersebut seakan-akan Metro TV menelanjangi bahwa Partai Gerindra tidak menepati janji untuk membayar  para pedagang asongan yang habis barangnya pada kampanye tersebut. Padahal kenyataannya di lapangan (menurut sumber yang bisa dipercaya) Partai Gerindra telah membayar para pedagang tersebut dengan lunas. Tidak hanya itu, jika kita memperhatikan porsi iklan kampanye partai politik yang ditayangkan di Metro TV, iklan kampanye Partai Nasdem mengisi hampir di setiap waktu tayang Metro TV dengan durasi yang cukup lama. Sedangkan iklan partai lain sangat sedikit yang ditayangkan dengan durasi yang cukup singkat. Padahal menurut KPU media harus adil dalam memberikan ruang bagi partai politik untuk melakukan ‘kampanye udara’ dengan durasi waktu maksimal 30 detik.
        Pelanggaran yang dilakukan Metro TV cukup disayangkan. Namun, ketika kita melihat sang pemilik yaitu, Surya Paloh (Pemilik Metro TV dan Ketua Umum Nasdem) hal tersebut merupakan sebuah ironi. Dalam wawancaranya dengan Aiman Witjaksono dalam acara ‘Aiman dan..’ (edisi Surya Paloh, yang ditayangkan di Kompas TV)  pada pertengahan Februari lalu, Surya Paloh mengatakan bahwa ia akan menggunakan segala hal yang ia miliki untuk tujuan pribadinya (ambisi politiknya), walaupun itu bertabrakan dengan nilai-nilai etika pers.
     Hal tersebut sungguhlah menjadi suatu pelecehan terhadap etika komunikasi media massa. Pers (media massa) haruslah menerapkan prinsip-prinsip etika komunikasi dalam menjalankan tugasnya sebagai pewarta informasi bagi masyarakat. Di mana dalam pelaksanaannya, pers (media massa) harus memegang prinsip dasar etika komunikasi, yakni: informasi yang disampaikan harus benar dan jujur sesuai fakta sesungguhnya; berlaku adil dalam menyajikan informasi, tidak memihak salah satu golongan; serta menggunakan bahasa yang bijak, sopan dan hindari kata-kata provokatif. Apabila etika komunikasi dipegang dengan teguh oleh para insan pers, saya yakin masyarakat sebagai penikmat dan penerima informasi akan menerima informasi yang benar dari pers sebagai ujung tombak demokrasi di Indonesia, serta “pembodohan publik” tidak akan terjadi. (Ida Ayu Putu Novinasari)