Ilustrasi Mangrove |
Apa itu hutan mangrove? Hutan mangrove adalah suatu
tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut yang tergenang pasang, bebas dari
genangan pada saat surut, dan komunitas tumbuhannya tidak akan tercemar oleh
garam. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas lingkungan
biotik dan abiotik yang saling berinteraksi di dalam suatu habitat mangrove. Lingkungan
biotik didefiniskan sebagai salah satu jenis lingkungan yang dihuni oleh makhluk
hidup yang beraneka ragam di antaranya adalah manusia, hewan dan tumbuhan;
sementara lingkungin abiotik dihuni oleh benda mati yang terbagi menjadi 2
jenis, yaitu benda mati yang bisa dimanfaatkan dan benda mati yang tidak bisa
dimanfaatkan.
Mangrove berperan penting dalam perangkapan endapan
dan perlindungan terhadap erosi pantai. Mangrove bukan sekadar tumbuhan biasa
yang hidup di tempat-tempat pelumpuran tanah dan akumulasi bahan organik,
sebenarnya tumbuhan ini sangat penting dalam pengelolaan sumber daya di sebagian
besar wilayah di Indonesia. Selain itu, mangrove juga mempunyai fungsi terpenting
bagi daerah pantai, yaitu sebagai penyambung daratan dan memiliki fungsi
ekologis, serta ekonomis yang sangat penting bagi manusia.
Hutan mangrove berfungsi sebagai pelindung daratan
dari gempuran gelombang, tsunami, angin topan, perembesan air laut dan
gaya-gaya dari laut lainnya. Secara umum, hutan mangrove mempunyai tiga fungsi
utama bagi kelestarian sumber daya, yakni: (1) fungsi fisik, hutan mangrove
secara fisik menjaga dan menstabilkan garis pantai serta tepian sungai,
pelindung terhadap hempasan gelombang dan arus, mempercepat pembentukan lahan
baru serta melindungi pantai dari erosi laut atau abrasi; (2) fungsi kimia,
sebagai tempat terjadinya proses daur ulang yang menghasilkan oksigen, penyerap
karbondioksida, dan sebagainya; (3) fungsi biologis, mangrove sebagai tempat
asuhan (nursery ground), tempat mencari makanan (feeding ground),
tempat berkembang biak (spawning ground), sebagai penghasil serasah atau
zat hara yang memiliki produktivitas yang tinggi, dan habitat berbagai satwa
liar antara lain, reptilia, mamalia, hurting
dan lain-lain; (4) fungsi ekonomi, yakni kawasan hutan mangrove berpotensi
sebagai tempat rekreasi (ecotourism) dan penghasil devisa dengan produk
bahan baku industri. Fungsi-fungsi
tersebut di atas sering tidak tampak atau tidak banyak orang yang tahu.
Sementara itu, secara khusus hutan mangrove juga berguna sebagai perangkap
zat-zat pencemar dan limbah, mempercepat perluasan lahan, mengolah limbah
organik, dan sebagainya.
Apabila ingin melihat potret ekosistem yang beragam,
maka lihatlah mangrove. Mangrove dapat dikatakan sebagai miniatur ekosistem
yang memiliki keanekaragaman hayati di dalamnya. Sebenarnya, hutan mangrove
mempunyai banyak manfaat yang dapat mendukung kelangsungan kehidupan manusia
jika manusia melakukan pengamatan dan memiliki pemahaman dengan baik. Namun,
segudang manfaat itu seolah-olah dilupakan karena manusia selalu merasa belum
puas, dan ingin mendapatkan lebih banyak keuntungan, sehingga menggunakan
segala upaya untuk memperoleh keuntungan yang besar walaupun harus
“menumbalkan” ekosistem hutan mangrove itu sendiri dengan merusaknya. Sebagian
besar hutan mangrove di Indonesia rusak karena ulah manusia, ada yang mengonversi
mangrove menjadi pemukiman, industri, rekreasi, tambak, dan sebagainya
Pengalihan fungsi lahan hutan mangrove kini semakin
marak terjadi. Salah satu contoh pengalihan fungsi lahan hutan mangrove menjadi
tambak masyarakat dan dikonversi kembali menjadi lahan kelapa sawit yang terjadi
di daerah Sumatera Utara. Kasus pengalihan fungsi lahan hutan mangrove tidak
hanya terjadi di Sumatera Utara, melainkan di beberapa daerah termasuk DKI
Jakarta, dan Tahura di Ngurah Rai Bali yang juga digunakan untuk kepentingan
tambak. Akibat yang dilahirkan adalah terganggunya peranan fungsi kawasan
mangrove sebagai habitat biota laut, perlindungan wilayah pesisir, dan
terputusnya mata rantai makanan bagi biota seperti burung, reptil, dan berbagai
kehidupan lainnya.
Hal tersebut terjadi karena beberapa sebab, antara
lain: (1) krisis ekonomi yang melahirkan tekanan penduduk untuk memenuhi kebutuhan
ekonomi yang tinggi sehingga permintaan konversi mangrove juga semakin tinggi. Penduduk
lebih mementingkan kebutuhan pribadi daripada keseimbangan ekologis dan
keberlangsungan alam; (2) pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab yang meminta
untuk mengkonversi lahan mangrove. Setelah dikonversi, lahan tersebut malah
dibiarkan. Di pikiran pihak-pihak tersebut hanya uang, uang, dan uang. Mereka
lebih paham bahwa manfaat dengan dikonversinya hutan mangrove menjadi tambak
dan lahan kelapa sawit akan lebih menguntungkan, padahal jika ditinjau secara
keuntungan jangka panjang hutan mangrove akan lebih bermanfaat; (3) perencanaan
dan pengelolaan sumber daya pesisir di masa lalu bersifat sangat sektoral. Hal
inilah yang akan mengakibatkan terjadinya perusakan hutan mangrove skala berat
yang dapat berdampak pada masa yang akan
datang. (4) rendahnya kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang konversi dan
fungsi ekosistem mangrove. Masyarakat seakan “masa bodo” dan menganggap
kelestarian mangrove sebagai hal yang tidak penting dan tidak menjanjikan
keuntungan bersifat materi. Padahal mangrove sangat memiliki manfaat tidak
hanya dari segi ekonomis, jauh lebih dalam adalah manfaat bagi kelangsungan
hidup seluruh makhluk hidup (tidak hanya manusia; (5) hutan rawa dalam
lingkungan yang asin dan anaerob di daerah pesisir selalu dianggap daerah yang
yang marginal atau sama sekali tidak cocok untuk pertanian dan akuakultur.
Namun karena kebutuhan lahan pertanian dan perikanan yang semakin meningkat,
maka hutan mangrove dianggap sebagai lahan alternatif.
Reklamasi telah memusnahkan ekosistem mangrove secara
kejam dan mengakibatkan efek-efek yang negatif terhadap perikanan di perairan
pantai sekitarnya. Dampak ekologis yang ditimbulkan dari berkurangnya dan
kerusakan ekosistem mangrove adalah hilangnya berbagai spesies flora dan fauna
yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove, yang dalam jangka panjang akan
mengganggu keseimbangan ekosistem mangrove khususnya, dan ekosistem pesisir
umumnya. Selain itu, menurunnya kualitas dan kuantitas hutan mangrove telah
mengakibatkan dampak yang sangat mengkhawatirkan, seperti abrasi yang selalu
meningkat, penurunan tangkapan perikanan pantai, intrusi air laut yang semakin
jauh ke arah darat, malaria dan lainnya. Akibat-akibat ini seolah-olah tidak
dipedulikan oleh oknum-oknum perusak lingkungan dan pecinta reklamasi, padahal
akibat-akibat ini sangat mengancam kehidupan makhluk hidup.
Sebuah pertanyaan menggelitik mengemuka. Lantas apakah
uang lebih berharga daripada akibat-akibat yang ditimbulkan dari tindak
“pelecehan lingkungan” yang dilakukan pada hutan mangrove? Jika ada yang
mengatakan uang lebih berharga daripada kelestarian hutan mangrove dan
ekosistemnya, maka sudah dipastikan mata hatinya telah disilaukan dengan
gelimangan materi. Padahal hal itu salah besar. Bukan keuntungan jangka pendek
yang seharusnya diharapkan (dalam hal ini uang), tetapi keuntungan jangka
panjanglah yang lebih bermanfaat bagi kehidupan manusia dan keseimbangan alam. Gunakanlah
produk yang ramah lingkungan agar polusi air berkurang, tidak merusak hutan mangrove
dengan cara menanam pohon mangrove, berhenti melakukan “pelecehan lingkungan”
hanya untuk mendapatkan keuntungan materi, serta mengadakan penyuluhan kepada
masyarakat agar mengetahui pentingnya mangrove bagi kehidupan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar