Ilustrasi Teks Pembukaan UUD 1945 |
Janji itu sudah mulai dilunasi tetapi hanya
untuk sebagian rakyat, sementara sebagian rakyat yang lain masih menunggu
dengan setia pelunasan janji itu. Apakah benar janji itu belum dilunasi untuk
seluruh rakyat Indonesia? Jika ragu, tengoklah potret pendidikan Indonesia
kini. Sudahkah segala permasalahannya terobati?
Saat ini
pendidikan di Indonesia masih terserang penyakit kronis karena masih banyak
anak bangsa yang belum mendapatkan pendidikan yang layak sebagaimana mestinya, bahkan
masih banyak anak bangsa yang sama sekali belum mencicipi bangku sekolah. Hal
ini dapat dikatakan sebagai suatu ironi karena ternyata cita-cita kemerdekaan
untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang tertuang dalam isi Pembukaan UUD 1945
belum dapat dilunasi kepada seluruh rakyat Indonesia.
Pendidikan yang
layak dari dulu hingga sekarang hanya boleh dicicipi oleh kaum-kaum kelas atas
yang punya duit (bangsawan, priyayi,
jutawan, dan lain-lain). Sementara kaum-kaum marjinal, seperti anak-anak
jalanan, anak-anak pengemis, dan sebagainya dianggap “tidak mampu” atau “tidak pantas” menggunakan pensil, pena,
dan mendapatkan berbagai pengetahuan. Mereka dipaksa bertekuk lutut pada
ketidakmampuan finansial. Keinginan untuk mengenyam pendidikan seolah dipenjara
karena ketidakadilan. Padahal, kaum-kaum marjinal juga mempunyai hak yang sama untuk
mendapatkan pendidikan yang layak. Pendidikan merupakan hak setiap warga
negara, namun masih ada dari beberapa mereka yang belum mendapatkan hak
tersebut. Hingga saat ini, peluang terbesar untuk memperoleh akses pendidikan
yang baik atau layak hanya bagi orang yang memiliki kemampuan finansial yang
mumpuni.
Sebenarnya hal
tersebut tidak boleh terjadi. Hal ini sungguh memprihatinkan karena ternyata
pendidikan yang layak masih terkesan “eksklusif”. Pemerintah dipandang belum
berhasil menyingkirkan “sekat” tersebut. Berbagai upaya memang telah dilakukan
oleh pemerintah, tetapi hasilnya belum dapat menuai hasil yang diharapkan.
Padahal, arah bangsa nantinya ada pada tangan anak-anak bangsa (tanpa memandang
kaya atau miskin) karena seluruh anak bangsa inilah yang nantinya akan menjadi
penerus perjuangan bangsa dan kemajuan negara.
Pendidikan di Indonesia
semakin melenceng dari cita-cita bangsa. Selain ada kecenderungan pendidikan
yang semakin tidak terjangkau oleh rakyat miskin, kurangnya orientasi pendidikan
terhadap pembangunan moral juga menjadi suatu permasalahan yang serius. Hal ini
dapat dibuktikan dengan melihat realita anak-anak yang bertindak amoral, seperti
melakukan tindak kekerasan kepada teman sebaya, melakukan tindak kekerasan
seksual, dan sebagainya. Pola pemikiran guru-guru (pengajar) saat ini juga
semakin jauh dari kesan ngayah.
Dewasa ini, banyak guru (pengajar) yang membagikan ilmu mereka dengan “pamrih”
sehingga label sosial guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa dapat dikatakan
mulai tergerus. Indonesia mengalami krisis pengajar yang mau diintruksikan
untuk mengajar di daerah-daerah terpencil, apalagi tanpa bayaran. Padahal,
banyak anak bangsa di daerah terpencil yang belum tersentuh. Apabila seluruh daerah
di Indonesia disentuh, maka cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa (seluruh
bangsa tanpa terkecuali) tidaklah menjadi cita-cita yang masih menggantung.
Permasalahan-permasalahan
inilah yang seharusnya menjadi perhatian pemerintah, mengingat pendidikan dapat
dikatakan sebagai eskalator pembentukan kesadaran bangsa, peningkatan taraf
ekonomi, dan pengangkat status sosial. Pendidikan tidak hanya mampu
mengembangkan potensi manusia secara individu, tetapi juga dapat mengembangkan
potensi masyarakat. Tidak hanya pemerintah, pelunasan janji kemerdekaan ini
haruslah menjadi perhatian dan tanggung jawab moral setiap anak bangsa,
terutama anak bangsa atau pemuda-pemudi yang sudah dapat mengenyam pendidikan
yang baik. Berbagai cara dapat dilakukan, salah satunya membuat
organisasi/komunitas yang bergerak di bidang pendidikan. Pemuda-pemudi sebagai
tonggak perubahan bangsa seyogyanya ikut turun tangan melunasi janji
kemerdekaan, agar negara ini tidak terus terbelenggu dalam lilitan hutang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar